Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Pembentukan Holding BUMN untuk Penguatan Sektor UMKM dalam Perspektif Hukum
18 Januari 2021 15:07 WIB
Opini: Anggota DPD RI 2014-2019, H Abdul Qodir Amir Hartono SE SH MH
ADVERTISEMENT
Posisi BUMN Dalam Konstitusi
ADVERTISEMENT
Sejak Indonesia merdeka, fungsi dan peranan perusahaan negara sudah menjadi perdebatan dikalangan founding fathers, terutama pada kata dikuasai oleh negara. Bung Karno menafsirkan bahwa, karena kondisi perekonomian masih lemah pasca kemerdekaan, maka negara harus menguasai sebagian besar bidang usaha yang dapat menstimulasi kegiatan ekonomi. Sedangkan, Bung Hatta memandang bahwa negara hanya cukup menguasai perusahaan yang benar-benar menguasai kebutuhan pokok masyarakat seperti listrik dan transportasi. Pandangan Hatta ini kemudian lebih sesuai dengan paham ekonomi modern, dimana posisi negara hanya cukup menyediakan infrastruktur yang mendukung proses pembangunan.
Dasar keberadaan BUMN adalah pasal 33 ayat 2 Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai egara. Dalam melaksanakan tugas konstitusional tersebut, negara melakukan penguasaan atas seluruh kekuatan ekonomi melalui regulasi sektoral yang merupakan kewenangan Menteri Teknis dan Kepemilikan Negara pada unit-unit usaha milik negara yang menjadi kewenangan Menteri BUMN. Sabagai turunan dari UUD 1945 tersebut, kebijakan pembinaan BUMN dituangkan dalam Undang-undang nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
ADVERTISEMENT
Secara normatif, ketentuan Pasal 33 UUD 1945, sering dipahami sebagai sistem ekonomi yang layak dipakai oleh bangsa Indonesia. Pada Pasal 33 misalnya, menyebutkan bahwa perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Asas ini dapat dipandang sebagai asas bersama (kolektif) yang bermakna dalam konteks sekarang yaitu persaudaraan, humanisme, dan kemanusian. Artinya ekonomi tidak dipandang sebagai wujud sistem persaingan liberal ala Barat, tetapi ada nuansa moral dan kebersamaannya, sebagai refleksi dari tanggung jawab sosial. Pasal ini dianggap menjadi dasar dari ekonomi kerakyatan.
Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), menunjukan bahwa negara masih mempunyai peranan dalam perekonomian. Peranan itu ada 2 (dua) macam, yaitu sebagai regulator dan sebagai aktor yang berupa BUMN. Ayat (2) menekankan peranan negara sebagai aktor yang berupa BUMN. Peranan negara sebagai regulator tidak dijelskan dalam rumusan yang ada dalam rumusan yang ada, kecuali jika istilah “dikuasai” diintepretasikan sebagai “diatur”, tetapi yang diatur disini adalah sumber daya alam yang diarahkan sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat. Hal ini kontroversial, muncul pada norma pada ayat(4). Ketentuan ini seharusnya menekankan dipakainya asas “pasar” atau pasar yang berkeadian. “Tapi agaknya istilah “pasar” ditolak dan yang dipakai adalah istilah “efisiensi”. Sayangnya efisiensi ini dibiarkan tanpa predikat.
ADVERTISEMENT
Penguasaan negara itu penting agar kesejahteraan rakyat dan rakyat banyak dapat menikmati sumber-sumber kemakmuran rakyat dari bumi, air, dan kekayaan alam. Hal ini merupakan posisi strategis bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Penguasaan negara tercermin dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 menyatakan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Holdingisasi BUMN
Sejalan dengan makin besarnya peran BUMN dalam pembangunan nasional maka perlu dilakukan peningkatan nilai, penguatan daya saing, perluasan jaringan usaha, dan kemandirian pengelolaan BUMN. Langkah strategis untuk mencapai hal tersebut antara lain dengan melakukan penguatan kelembagaan dan mekanisme kerja BUMN diantaranya melalui pembentukan perusahaan induk BUMN (holding BUMN). Pembentukan holding BUMN penting dilakukan karena infrastruktur belum terintegrasi dan merata, perlunya penciptaan nilai tambah untuk industri hilir, kebutuhan energi dalam negeri belum tercukupi, daya saing global belum optimal dan kurangnya ketersediaan rumah layak.
ADVERTISEMENT
Salah satu strategi pemerintah dalam pembentukan holding BUMN yaitu dengan melakukan Penyertaan Modal Negara yang bersumber dari pergeseran saham milik negara pada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas tertentu kepada BUMN dan/atau Perseroan Terbatas lainnya. Pemerintah tidak ingin selamanya BUMN hidup dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga BUMN diharapkan membuka investasi dalam negeri dan luar negeri agar dapat berdaya saing.
Berdasarkan paparan Menteri BUMN, saat ini sedang diselesaikan pembentukan 7 sektor holding BUMN, seperti sektor holding tambang, energi atau migas, perbankan, konstruksi dan jalan tol, perumahan, pangan dan kemaritiman. Sebelumnya, terdapat 4 holding BUMN yang telah dibentuk pemerintah, yaitu holding semen dan pupuk yang dibentuk pada tahun 2012, serta holding kehutanan dan perkebunan yang dibentuk pada tahun 2014. Riset dari Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang ditulis oleh Dr T Pranoto dan Dr Makaliwe menyatakan bahwa holding semen dan holding pupuk berdampak positif pada kinerja keuangan dan kapasitas produksi meningkat cukup signifikan.
ADVERTISEMENT
Pembentukan holding BUMN harus mempunyai payung hukum yang jelas. Ada beberapa peraturan perundang-undangan utama yang harus menjadi pertimbangan saat akan melakukan holding BUMN, seperti Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah Nomor44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN.
Pada tanggal 30 Desember 2016, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan Dan Penatausahaan Modal Negara Pada BUMN Dan Perseroan Terbatas. Peraturan Pemerintah tersebut pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005. Penyempurnaan aturan di Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 menegaskan bahwa tujuan pembentukan PP tersebut untuk membentuk holding BUMN.
ADVERTISEMENT
Polemik Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016
Sejak Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 terbit, polemik terjadi di masyarakat. Polemik tersebut berujung pada gugatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) kehadapan pengadilan negeri dan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) ke hadapan Mahkamah Agung pada akhir Februari 2017 untuk melakukan uji materi (judicial review) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 terhadap Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara.
Polemik tersebut bersumber pada permasalahan di Pasal 2A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016, yang disebutkan bahwa “Penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham miik negara pada BUMN atau Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (2) huruf d, kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme APBN”.
ADVERTISEMENT
Pendapat yang kontra menyatakan bahwa PP tersebut harus dicabut/dibatalkan karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20A ayat (1), Undang- undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Undang-undang Nomor17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang meniadakan kewenangan DPR dalam fungsinya sebagai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Pendapat yang kontra mengasumsikan bahwa ada upaya memisahkan kekayaan BUMN dari Keuangan Negara (APBN) sehingga berpotensi membuka peluang negara kehilangan aset-aset strategis. Anak perusahaan eks. BUMN dianggap sangat mudah dijual ke swasta dan/atau asing karena tanpa pengawasan DPR.
Sedangkan pendapat yang pro PP Nomor 72 Tahun 2016 mendalilkan bahwa PP tersebut bukan menjadi suatu masalah, sehingga dapat dijalankan, karena holding akan memperkuat struktur modal dan aset serta efisiensi sehingga BUMN dapat bermain di pasar global secara kompetitif untuk memperkuat sinergi dan daya saing.
ADVERTISEMENT
Kepemilikan saham negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas pada hakekatnya merupakan kekayaan negara yang sudah dipisahkan dari APBN sehingga tidak berdampak pada aset negara. Dimana hal ini sesuai dengan definisi BUMN di Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 Pasal 2A ayat 2, menyatakan bahwa negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar.
Yang dimaksud dengan “Hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar” antara lain hak untuk menyetujui (a) pengangkatan anggota Direksi dan anggota Komisaris; (b) perubahan anggaran dasar; (c) perubahan struktur kepemilikan saham; (d) penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pembubaran, serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain. Kemudian, pada Pasal 2A ayat (6) dan (7), menyatakan bahwa anak perusahaan BUMN juga diperlakukan sama dengan BUMN untuk mendapatkan penugasan pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum; dan/atau mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau pemerintah, termasuk dalam pengelolaan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, anak perusahaan BUMN tetap diperlakukan sama dengan BUMN, serta negara tetap menguasai dan mengendalikan anak perusahaan BUMN tersebut.
ADVERTISEMENT
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 menegaskan hak DPR untuk mengawasi BUMN tidak dihilangkan karena pemerintah tetap harus meminta persetujuan DPR jika anak perusahaan eks-BUMN akan dijual. Hal ini dikarenakan pemerintah memiliki kontrol terhadap anak perusahaan eks-BUMN melalui saham dwiwarna (kepemilikan satu saham) dan holding BUMN wajib memiliki mayoritas saham lebih dari 51 persen saham.
Menurut Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 9 yakni BUMN terdiri dari Persero dan Perum. Definisi Persero dan Perum menurut Undang-undang tersebut dijabarkan antara lain:
Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
ADVERTISEMENT
Jika anak perusahaan dijual atau inbreng maka proses inbreng tersebut harus tunduk pada Pasal 24 ayat (5) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu “Pemerintah pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah mendapat persetujuan DPR.”. Privatisasi/penjualan merupakan proses pemindahtanganan (inbreng) hak kepemilikan saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas yang diinbrengkan, dimana saham negara pada BUMN dimaksud beralih menjadi saham BUMN penerima inbreng. Jadi, jika pemerintah pusat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara tetap harus melalui persetujuan DPR. Hal ini tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Sebaliknya, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 memfokuskan pada holding BUMN yaitu restrukturisasi perusahaan dengan membentuk satu group yang menginduk pada salah satu perusahan BUMN. Sehingga, bila bentuk dari aksi korporasi yang dilakukan oleh BUMN tersebut tidak berupa privatisasi, namun masih dalams atu induk kepemilikan yang sama, maka Peraturan Pemerintah tersebut dapat dijalankan.
ADVERTISEMENT
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penjualan dan/atau privatisasi BUMN antara lain, pertama, revisi peraturan perundang-undangan terkait secara komprehensif sehingga menjadi dasar hukum yang kuat untuk pembentukan holding BUMN sehingga dapat dicegah terjadinya penjualan aset-aset strategis negara. Revisi ini akan menjadi payung hukum bagi pembentukan holding BUMN dan kontrol terhadap anak BUMN sebagai aset negara. Kedua, perlu adanya mekanisme kontrol/pengawasan terhadap anak BUMN dari DPR termasuk BPK sehingga penjualan aset negara tersebut dapat dicegah. Ketiga, memajukan BUMN tidak hanya melalui holdingisasi.
Rencana Pembentukan Holding BUMN untuk Penguatan Sektor UMKM
Selain holdingisasi, ada proses lain seperti proses penggabungan (holdingisasi), peleburan (merger), pemisahan, dan pembubaran serta pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain (akuisisi). Jadi tidak harus semua entitas BUMN disamakan untuk holdingisasi. Sebagai contoh, rencana pemerintah untuk penguatan sektor UMKM yaitu bank pemerintah (BRI), akan diholdingkan dengan Pegadaian dan PNM dengan BRI sebagai holdingnya. Hal ini berpotensi menjadi permasalahan baru yang akhirnya justru tidak menyehatkan BUMN itu sendiri dan juga berpotensi merugikan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jika rencana pembentukan holding atau akuisisi oleh BRI ini terwujud, secara hukum Pegadaian statusnya akan berubah menjadi perusahaan terbuka sebagaimana induk holdingnya. Pengelolaan Perusahaan akan menjadi tidak menguntungkan bagi Pegadaian dan juga rakyat kecil, karena akan lebih cenderung hanya mengejar optimalisasi kinerja dan laba perusahaan induk semata. Padahal Pegadaian dalam pendiriannya juga memiliki tujuan khusus yang diberikan oleh pemerintah untuk memerangi ijon, rentenir dan lintah darat yang sangat merugikan rakyat kecil.
Pegadaian merupakan rujukan dalam regulasi usaha pergadaian di Indonesia, dalam hal ini fungsi Pegadaian adalah sebagai penjaga kedaulatan negara. Jika kemandirian Pegadaian dihilangkan dengan adanya Holdingisasi dan atau Akuisisi maka negara menjadi tidak mempunyai lagi referensi utama dalam pengaturan Gadai di Indonesia,
ADVERTISEMENT
Saat ini Pegadaian merupakan perusahaan yang sehat dan tidak memiliki kesulitan likuiditas maupun penyediaan modal kerja yang murah, sehingga secara politik hukum tidak ada alasan BUMN ini harus digabung, diakusisi atau dibuat holding. Logika hukumnya perusahaan yang sehat tidak perlu diambil alih.
Keberadaan Pegadaian juga telah banyak memberikan kemudahan bagi kalangan rakyat kecil dalam sector pembiayaan. Pegadaian juga berfungsi sebagai komplementer layanan keuangan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya baik yang bersifat konsumtif maupun produktif.
Dari aspek legalitas aksi penggabungan atau akuisisi dengan skema holdingisasi tidak bertentangan dengan hukum, karena pemerintah melalui Menteri BUMN punya hak dan kewenangan untuk melakukan aksi korporasi terhadap perusahaan milik negara. Namun proses holdingisasi dan atau akuisisi ini harus memperhatikan ”azas legitimasi” dan peran dari masyarakat.karena kebijakan pemerintah yang baik akan senantiasa memperhatikan “azas legalitas” dan juga “azas legitimasi”.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu memperhatikan karakteristik usaha, profil risiko, visi/misi dari masing-masing entitas BUMN yang berbeda satu sama lain ini. Holdingisasi dan atau akuisisi khususnya untuk sektor yang akan memperkuat UMKM ini (BRI - Pegadaian - PNM) masih perlu dipertimbangkan dengan lebih matang, cermat dan tepat sehingga BUMN dapat menjadi entitas yang lebih kompetitif, efisien, mandiri dan memberikan kontribusi positif dan optimal untuk bangsa dan negara.