Peneliti Kajian Budaya UM Bicara Soal Perubahan Konsep Ideal Representasi Gender

Konten Media Partner
26 Agustus 2020 10:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dr Evi Eliyanah, Direktur Hubungan Internasional UM dan dosen Sastra Inggris UM. (Foto: Dokumen)
zoom-in-whitePerbesar
Dr Evi Eliyanah, Direktur Hubungan Internasional UM dan dosen Sastra Inggris UM. (Foto: Dokumen)
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang peneliti kajian budaya (cultural studies), Dr Evi Eliyanah selalu tertarik untuk membahas topik gender. Bahkan, perempuan yang menjabat Direktur Hubungan Internasional (HI) di Universitas Negeri Malang (UM) dan juga dosen jurusan Sastra Inggris UM ini menorehkan prestasi mentereng dalam penelitian terkait gender.
ADVERTISEMENT
Ya, baru-baru ini Evi terpilih sebagai penerima Ann Bates Postgraduate Prize for Indonesian Studies tahun 2019 dari Australian National University (ANU) yang merupakan tempatnya menempuh pendidikan S3. Penghargaan ini ia peroleh melalui penelitian disertasinya mengenai representasi gender khususnya terkait konsep maskulinitas ideal yang ada di film Indonesia.
Evi mengungkapkan bahwa film tidak bisa dilihat sebagai suatu hiburan semata. Melainkan juga sebuah arena kontestasi ideologi untuk memenangkan persetujuan publik termasuk salah satunya konsep maskulinitas pada laki-laki.
Melalui penelitian ini, Evi mengulik bagaimana para pembuat film di Indonesia mencoba menggugat dan membongkar konsepsi maskulinitas yang ideal.
“Ada kesadaran yang muncul di antara para pembuat film ini untuk menggugat tatanan ideal dari maskulinitas yang ada saat ini. Di penelitian ini, saya menggambarkan bahwa di perfilman Indonesia sebelum tahun 2000 kita masih berpikir bahwa laki-laki yang ideal adalah mereka yang mengayomi, melindungi, dan mencari nafkah pada keluarga. Namun setelah tahun 2000 gambaran ini mulai bergeser, misalnya seperti munculnya sosok laki-laki yang digambarkan dalam konteks dapur,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Beragam faktor dapat menjadi penyebab pergeseran definisi maskulinitas ini seperti perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Evi juga menjelaskan bahwa masyarakat yang saat ini berada di masa transisi dalam dunia dengan keterbukaan informasi ini juga menginginkan adanya perubahan.
“Hidup di negara yang demokratis dan di era keterbukaan informasi ini membuat masyarakat memiliki media untuk mengekspresikan aspirasinya dengan beragam cara termasuk mengenai maskulinitas ini. Keberadaan Hollywood, K-pop, ataupun J-pop juga merupakan hal yang tidak bisa dicegah dan tentu berpengaruh tentang wacana maskulinitas yang akhirnya berkembang di masyarakat,” terangnya.
Lebih lanjut, Evi mengungkapkan bahwa ketertarikannya untuk mengangkat konsep maskulinitas didasarkan pada kenyataan kalau laki-laki dan perempuan juga dihadapkan pada tatanan gender yang sama.
ADVERTISEMENT
“Bahwa tidak semua orang bisa menjadi laki-laki yang ideal seperti standar yang ada di masyarakat. Kondisi dan isu dari mereka yang tidak ideal ini juga patut untuk dibahas. Apakah mereka juga tidak tertindas dengan kondisi ini? Jadi bagaimana mereka dalam menjalin kehidupan sosialnya dengan laki-laki yang ideal dan dengan perempuan. Saya yakin bahwa relasi mereka terhadap tatanan gender ini juga kompleks,” tuturnya.
Secara garis besar, Evi mengungkapkan bahwa konsep ideal pasti akan mengalami perubahan seiring dengan berubahnya zaman. Sesuatu yang dianggap ideal saat ini bisa menjadi tidak relevan lagi dalam 10 tahun mendatang.
Ia pun berpendapat bahwa membicarakan gender tidak bisa hanya mengangkat dari satu sisi, seperti perempuan saja. Kesetaraan gender menurutnya berarti keadilan bagi perempuan dan laki-laki.
ADVERTISEMENT
“Berikan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan untuk bisa berpartisipasi, menggunakan dan memanfaatkan sumber daya yang ada,” pungkasnya.
Reporter : Andita Eka Wahyuni