Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten Media Partner
Perajin Tempe di Kampung Sanan Malang Tak Terimbas Naiknya Harga Kedelai Impor
5 Januari 2021 13:55 WIB
ADVERTISEMENT
MALANG- Melambungnya harga kedelai di pasaran tak membuat produsen tempe di Kota Malang berhenti berproduksi. Masa sulit pandemi rupanya membuat mereka untuk tetap bertahan. Tak seperti yang dilakukan para produsen tempe di Jakarta dan Jawa Barat yang melakukan mogok produksi.
ADVERTISEMENT
“Ya kalau kita ikutan mogok jadi gak bisa makan, Mas. Meski naik (harga kedelai,red) tetap disiasati. Yang penting tetep jalan (produksi),'' ujar Laili Afrida (58), salah satu perajin kripik tempe di Sentra Industri Tempe, Kampung Sanan, Kota Malang kepada reporter, Selasa (5/1/2021).
Perajin tempe di Kampung Sanan Malang itu bercerita ia dan perajin tempe lainnya tetap berjualan lantaran tidak terpengaruh dengan naiknya harga bahan baku kedelai impor. Karena kata dia, masing-masing perajin punya pelanggan sendiri dan siasat masing-masing agar biaya produksi tidak membengkak. Sebagian mengurangi isi, sebagian lain menaikkan harga.
“Harga di kita (olahan tempe,red) tidak bisa ikutan naik. Saya kan harus menjaga kualitas. Akhirnya ya mau gak mau mengurangi isi. Tapi kadang diikhlaskan saja. Jadi hanya omzet saja yang berkurang. Yang penting langganan tetap dijaga,'' akunya.
Hal senada juga dikatakan Ketua Paguyuban Sentra Industri Tempe Sanan, M Arif Sofyan Hadi, dari total sekitar 636 perajin tempe dan keripik tempe di Kampung Sanan memilih untuk tetap berproduksi. Hanya saja memang dampak penurunan produksi sudah dialami sejak pandemi merebak di Kota Malang.
ADVERTISEMENT
“Dari yang produksi sehari sekali, sekarang cuman seminggu sekali. Kadang juga hanya produksi waktu ada pesanan saja. Banyak juga perajin yang libur dan banting setir,” kata dia.
Seperti diketahui, kenaikan bahan baku kedelai ini sudah terjadi sejak sekitar Agustus 2020 silam. Dari yang semula Rp 6.500 per kilogram, tiap bulannya terus merangkak hingga mencapai Rp 9.200 hingga Rp 10.000 per kilogram.