Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten Media Partner
Salman Subakat CEO PT Paragon Technology and Innovation
5 September 2022 12:37 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
”Santai,” imbuhnya.
Salman Subakat tampaknya pengecualian dari sejumlah hal yang lazim. Salman bukan seorang orator ulung. Bukan pula CEO yang parlente. Dia bukan seorang bos, yang sering kita imajinasikan sebagaimana yang ada di sinetron-sinetron.
Tampaknya, televisi juga mencuci otak kita soal seperti apa itu bos. Seperti apa pembantu. Salman, lebih senang memposisikan orang lain dengan setara. Karena Salman senang sharing, dan sharing akan plong jika orang lain merasa setara.
Sekali lagi, Salman adalah pengecualian dari sejumlah hal yang lazim. Dia tidak jarang beli mobil bekas. Pengakuan ini diperoleh saat saya dan tim dipinjami mobilnya untuk keliling Jakarta. Nissan Serena.
Pengakuan itu dia ucapkan secara spontanitas di depan Rumah Wijaya, Jakarta setelah sesi sharing dengan Salman.”Wah, nanti ditulis ini, sultan, beli mobil bekas,” kata Salman lalu terkekeh.
ADVERTISEMENT
Tak hanya senang beli mobil bekas, dalam beberapa kegiatan dia sering datang dengan menyetir mobil sendiri. Seperti saat dia datang ke Rumah Wijaya waktu itu. Dia menggeber mobil hitamnya sendirian. Tak tahu, mobil itu, mobil bekas juga atau tidak yang dibeli Salman.
Sulman memang sultan. Dia adalah CEO PT Paragon Technology and Innovation, perusahan yang membawahi sejumlah brand yakni Wardah, Kahf, Emina, Makeover, Tavi, Biodef, dan sejumlah brand lain.
Total karyawannya sekitar 10 ribu. Salman adalah generasi kedua. Paragon didirikan oleh ibunya Nurhayati Subakat. Sang ibu, kalau saya melihat, menjadi mentor ‘hati’ bagi seorang Salman.
Kebaikan Salman kepada anak-anak muda yang berada dalam ekosistem Paragon, adalah bagian dari hati yang ditularkan dari sang ibu itu. Untuk urusan thinking dan bagaimana mengelola perusahaan, tampaknya Salman lebih banyak dipengaruhi ayahnya, Subakat Hadi.
Salam sebuah obrolan, Salman membahas soal pentingnya coach atau panutan dalam hidup seseorang. Entah itu panutan dalam hal bisnis, karir, keluarga dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Karena obrolan itu membahas soal panutan, saya lantas bertanya siapa panutanbSalman. Dia menyebut sejumlah orang. Salah satunya adalah bapaknya, Subakat Hadi.
Kata Salman, kalau kita kagum dengan orang lain, kita harus tahu, orang lain itu mentornya siapa. Buku bacaannya apa. Kebiasannya apa. Dan lain-lain.
Ketika Salman membahas soal mentor itulah, membuat saya berpikir. Ternyata, begitu banyak orang yang saya kenal, tapi tidak banyak yang begitu dekat, sehingga orang itu sulit disebut mentor bagi saya. Kata kuncinya kurang intim.
Salman mengajar bukan mendikte. Dia membuat orang lain berpikir. Dan merefleksikan, apa yang kurang maksimal dari diri kita sendiri. Salman tidak memberi kesimpulan. Juga tidak suka memerintah. Dia lebih suka, memancing orang lain untuk berpikir. Ya, mungkin, itulah keahliannya, sebagai seorang coach.
ADVERTISEMENT
Berpikir Terus
Soal berpikir, Salman memang sangat suka berpikir. Hari-harinya diisi dengan berpikir, belajar, dan bekerja. Mari, kita bedah satu-satu, kenapa saya secara subjektif menyebut Salman seorang yang berpikir, belajar dan bekerja terus.
Soal berpikir, saya dapat cerita langsung dari orang terdekatnya, yakni istrinya, Mbak Dini Ardi. Di sela-sela pelatihan Neuro Linguistic Programming (NLP) di Jakarta beberapa waktu lalu, saya bertanya soal kebiasaan Salman.
Dengan yakin, Dini menyebut kalau Salman sangat suka berpikir. Pagi, Siang, Sore, Malam, diisi dengan berpikir. Lalu, hasil pikirannya itu, didistribusikan kepada timnya.
Karena terlalu banyak berpikir, Salman kadang lupa terhadap hal-hal sederhana. Misal, di mana kontak mobilnya. Di mana tasnya. Mungkin, sudah mandi atau tidak, Salman juga lupa.”Soal hal-hal yang short memory, dia suka lupa banget,” kata Dini.
ADVERTISEMENT
Belajar. Salman jagonya soal belajar. Saya mengamati saat di acara NLP, selama tiga hari, Salman selalu berada di kursi depan. Menurut mas Rico dari Pondok Inspirasi, Salman sangat senang ikut workshop dan choaching. Di Paragon Corp, minimal sebulan sekali, selalu ada proses belajar. Dan Salman, selalu ikut.
Lalu, bekerja. Dalam sebuah kesempatan, menjadi seorang pengusaha kata Salman, harus siap kerja, 40 jam dalam sehari. Artinya, setiap saat harus bekerja.”Pagi-pagi saya sudah bekerja, chatting dengan tim,” kata Salman.
Dalam bekerja, Salman mengibaratkan dengan orang bermain bola. Jika ada orang hobi bermain bola, dan bisa menghasilkan, kenapa kita tidak juga menjadikan bekerja sebagai hobi.
Tampaknya, tiga hal yang selalu dilakukan Salman itu, membuat dia menjadi salah seorang motor penggerak yang membesarkan Paragon Corp. Saat dia bergabung dengan Paragon pada 2002 silam, karyawan Paragon Corp masih sekitar 300 orang.”Waktu itu merasa terpanggil saja, bahwa ketika kuliah, saya dibuat enak dan terjamin karena ada perusahaan ini, makanya kayaknya saya lebih bermanfaat kalau ikut bantu perusahaan,” katanya.
ADVERTISEMENT
Salman Subakat dan Gus Dur
Berpikir terus, membuat Salman kadang sulit dimengerti mau-nya oleh orang-orang di sekitarnya. Kesimpulan dangkal ini, saya peroleh dari sejumlah orang yang sering berinteraksi dengan Salman.
Layaknya filosof yang kadang kebenaran versi mereka ‘mendahului’ zamannya, itulah yang dirasakan orang-orang yang berinteraksi dengan Salman.
Salah satunya soal strategi Wardah, mendekati komunitas-komunitas hijabers waktu itu. Menurut Salman, ini potensi yang luar biasa. Langkah Salman, waktu itu banyak disangsikan oleh orang-orang Paragon.”Eh, ternyata benar, hijabers meledak dan menjadi trend, dan ini mengangkat betul terhadap Wardah,” kata Ekosiswati, salah seorang karyawan Paragon Corp.
Ada lagi cerita soal Rumah Wijaya. Sebuah tempat di kawasan elit di Jakarta yang disewa oleh Salman. Waktu itu, banyak yang menyangsikan apa niat Salman menyewa rumah itu.
ADVERTISEMENT
Sekarang mulai terjawab. Rumah Wijaya sering disewa oleh kalangan menengah ke atas untuk berbagai kegiatan.”Owh ini maksutnya pak Salman waktu itu, yang dulu gak ada yang terbayang. Ternyata bisa ya tempat seperti ini disewakan, menjadi alternatif lain selain hotel,” kata Omar, salah seorang pengelola Rumah Wijaya.
Pikiran-pikiran Salman sering sulit dipahami oleh orang lain. Bahkan, kadang meloncat-loncat. Bagi sebagian orang, dia seperti Gus Dur, Presiden Republik Indonesia (RI) ke-empat. Pikirannya melampaui zamannya.
Atau, di kalangan pesantren, orang seperti Salman dan Gus Dur, biasa disebut sebagai jadzab. Yakni, orang yang bertindak di luar kewajaran, berbeda dengan teman sebayanya. Jadzab ada yang menyebut sebagai sebuah kelebihan bawaan dari seseorang. Karena inilah, makna Jadzab secara harfiah adalah jadzaba yang berarti menarik, memikat, menawan hati. Orang jadzhab, bisa dibilang mempunyai tiga kriteria tersebut.
ADVERTISEMENT
Salman Subakat University
Salman Subakat senang membina anak-anak muda dari lintas profesi dan keahlian. Umumnya, mereka bergerak yang linier dengan dua hal ini yakni Pendidikan dan Kepemimpinan.
Sejumlah lembaga yang dibina Salman itu, diantaranya adalah pemimpin.id, pondok inspirasi, Ganara Art, Rumah Wijaya, Maxima, Semua Guru Semua Murid, Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Rumah Amal Salman, Improva dan lain sebagainya.
Dalam sebuah obrolan chatting, Salman menyebut beberapa nama dari pimpinan lembaga itu, untuk terus didorong untuk menjadi tokoh yang memberi dampak.
Kolaborasi, adalah ruh dari sejumlah lembaga yang menjadi satu konsorsium. Dan kolaborasi, hanya bisa didapat jika kita berhati bersih. Saling support, dan senang ketika orang lain sukses.
Muara dari konsorsium ini, tentu saja adalah majunya pendidikan di Indonesia. Selain dari konsorsium, Salman juga bergerak melalui institusi yang dia pimpin yakni PT Paragon Technology and Innovation yang banyak membuat kegiatan dalam rangka memajukan pendidikan tanah air.”Enggak akan ada perusahaan yang sangat besar di Indonesia, yang kayak Toyota, kalau pendidikan di Indonesia tidak maju. Sulit sekali kita (bisa) punya Google-nya Indonesia, Toyota-nya Indonesia, perusahaan-perusahaan besar di Indonesia, kalau pendidikannya tidak maju,” kata Salman, dalam suatu perbincangan dengan belasan wartawan peserta Fellowship Jurnalisme Pendidikan yang digelar oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GJPP), pada medio Maret 2021.
ADVERTISEMENT
GWPP lahir juga atas dasar ide serta inisiasi oleh Salman Subakat. Ide itu, lantas diterjemahkan dengan sangat baik oleh Pemimpin Redaksi Tugu Media Group Noercholis MA Basyari yang menjadi Direktur Pelaksana GWPP.
Begitu banyak orang yang disupport oleh Salman. Bahkan, ada adagium, bahwa sejumlah konsorsium tersebut, merupakan perwujudan dari Salman Subakat University.
Ya, Salman adalah pengecualian dari sejumlah hal yang lazim.
*Penulis adalah CEO Tugu Media Group (tugumalang.id, tugujatim.id, tugubandung.id).