Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
ADVERTISEMENT
oleh: Sakban Rosidi*
Postingan retorik, yang diajukan dan dijawab sendiri, seorang sahabat pembaharu pendidikan, Nafik Palil, telah menarik perhatian saya. Mengapa? Karena berpuluh tahun lalu, saya mendapat pertanyaan mirip, tetapi dari seorang aktivis dan pengrajin sosial, Win El Kinanti. Topiknya tentang pentingnya sanad keilmuan.
ADVERTISEMENT
Win El Kinanti, mengajukan pertanyaan dalam bahasa Inggris, "Who are your giants, Sir?" Saya pun menjawab dengan lugas pertanyaan ini, dengan mengurutkan dari siapa saja saya belajar, mulai kedua orangtua hingga mereka yang saya bahkan tidak pernah bertemu, kecuali dalam buku dan karya mereka. Sementara itu, Nafik Palil, mengajukan pertanyaan, "Kenapa orang keberatan menyebut sanad keilmuan?" Dia pun mengajukan sejumlah alasan seseorang tidak mau menyebut sanad keilmuannya.
Kendati terkesan sangat mirip, sebenarnya ada perpedaan mendasar di antara dua pertanyaan tersebut. Jawaban penjernihnya, tak cukup sederhana, karena harus bertolak dari pemahaman akan tipologi ilmu, sebagaimana disiratkan dalam Al-Qur'an, yang ternyata membawa implikasi aksiologis, ontologis, dan epistemologis.
Sandaran (Sanad) Ilmu Ghaib
Ketika membaca "Wallahul ladzi lailaha ila huwa, 'alimul ghaybi wassyahadah, huwar rahmanur rahim" tersirat ada dua macam ilmu menurut Al Qur'an, yakni: ilmu ghaib dan ilmu sahadah (non-empirical and empirical knowledge). Tentu saja, Allah SWT yang maha rahman dan maha rahim, adalah yang mahatahu tentang kedua macam ilmu tersebut.
ADVERTISEMENT
Ilmu ghaib, tidak lain adalah pengetahuan agama yang benar, yang sekurang-kurangnya mencakup sistem keyakinan, sistem peribadatan, dan sistem nilai-nilai etika pribadi dan sosial, yang mustahil manusia peroleh bila sekadar bermodal nalar, indra dan bahasa. Karena itu, ilmu ghaib diwahyukan langsung oleh Allah SWT, dan tergolong sebagai ilmu yang bukan diperoleh (non-acquired knowledge), tetapi diwahyukan dan dihidayahkan.
Ilmu syahadah, tidak lain adalah segala pengetahuan yang mencakup semua cabang ilmu selain pengetahuan agama yang benar, yang bisa dihasilkan dan diperoleh manusia dengan potensi khas dan uniknya. Karena itu, ilmu syahadah tidak diwahyukan tetapi difirmankan dalam wujud sunatullah, dan tergolong sebagai ilmu yang bisa diperoleh dan dikembangkan manusia bermodal tiga karunia terpenting bagi manusia, yaitu: nalar, indra dan bahasa.
ADVERTISEMENT
Belajar ilmu agama, sebagaimana sumber-sumber terpercaya menegaskan, harus bersanad tak terputus hingga ke sumber asli, Rasulullah SAW. Bila tidak bersanad, sangat mungkin akan salah dan tersesat. Pesan-pesan seperti ini sangat jelas disampaikan oleh Syeihk Az-Zarnuji dalam Ta'lim Muta'alim, dan juga KH Hasyim Asy'ari dalam Adabul 'alim wal Muta'allim. Sanad sendiri, secara harfian berarti menjadi sandaran, yang dapat dipegangi, atau dapat dipercaya. Secara terminologis, berarti rangkaian urut tak terputus orang-orang yang menjadi sandaran atau penghubung tanpa putus suatu hukum atau ajaran hingga Rasulullah SAW.
Kedudukan yang dapat dirunut dari para ustadz, para ulama', para tabiut tabi'in, para tabi'in, hingga para sahabat Rasulullah adalah sandaran (sanad) yang dapat dipercaya saat kita belajar ilmu-ilmu ghaib, ilmu-ilmu kewahyuan, atau ilmu agama. Selain demi kesahihan dan menghindari ketersesatan, ajaran agar dalam mencari ilmu agama memperhatikan sanad keilmuan, adalah agar pencari ilmu agama juga mendapat keberkahan ilmu.
ADVERTISEMENT
Pijakan (Shoulders) Ilmu Syahadah
Belajar ilmu syahadah, terbukti perlu berpijak pada bangunan pengetahuan sebelumnya, tanpa meninggalkan kebernalaran yang lurus, pengindaraan yang cermat, dan pembahasaan yang jernih. Ilmu syahadah bisa berkembang dan maju justru karena para ilmuwan dan para pelajar, berani mempertanyakan, meragukan, menguji dan bahkan membatalkan teori dan pemikiran para pendahulu atau para gurunya. Para guru ilmu syahadah adalah orang-orang besar (giants), yang dengan ikhlas menjadi pundak yang kokoh, walau harus tenggelam, bagi para muridnya, agar mereka bisa melihat lebih jauh ke depan.
Bagaimana dengan kedudukan kedudukan ilmuwan dan para guru ilmu-ilmu syahadah? Tangkapan layar facebook berikut, memberikan gambaran kedudukan ilmuwan dan para guru ilmu-ilmu syahadah sebagai pundak berpijak (shoulders) para pelajar agar bisa melihat lebih jauh.
Sikap rendah hati seperti ini yang digambarkan oleh Newton, dalam sambutannya saat menerima penghargaan dari Royal Society, dengan mengatakan: "If I've seen further; it is by standing on the shoulders of the giants". Artinya, "Kalau saya bisa melihat lebih ke depan; itu karena berdiri di atas pundak para tokoh terdahulu". Tafsir filsafat ilmu atas pernyataan ini tak hanya memperjelas kerendah-hatian dan penghargaaan Newton kepada para ilmuwan pendahulu dan para gurunya, tetapi juga menggambarkan logika penemuan ilmiah (the logic of discovery) sekaligus tugas para ilmuwan, untuk tidak hanya mengajukan teori, tetapi juga menguji (verification) atau kalau meminjam istilah Karl Popper, menyalahkan (falsification) teori melalui penelitian ilmiah. Ilmu maju melalui proses penghilangan kesalahan (error elimination) oleh sesama ilmuwan.
ADVERTISEMENT
Saat seorang peneliti atau penulis menjawab permasalahan, dengan terlebih dulu melakukan telaah pustaka dan penelitian terdahulu, sebenarnya dia sedang berusaha berdiri di atas pundak para pendahulu, membangun dugaan terdidiknya berdasarkan bangunan pengetahuan yang sudah ada. Kegiatan ini dilakukan secara logik-deduktif, hingga menghasilkan jawaban sementara (tentative answer) atau hipotesis. Bila hipotesis nihil gagal disalahkan, maka hipotesis ini akan diterima, sedangkan hipotesis alternatif akan ditolak. Namun, bila hipotesis nihil berhasil disalahkan, maka hipotesis ini akan ditolak, sedangkan hipotesis alternatif akan diterima. Penerimaan ini sebenarnya juga bersifat sementara (provisional), sampai mendapatkan pengujian yang lebih ketat. Walhasil, kegiatan ilmiah tidak lain adalah proses penghampiran (approximation) kepada kebenaran, melalui proses penyalahan dan penghapusan kesalahan, sedikit demi sedikit dari bangunan pengetahuan manusia.
ADVERTISEMENT
Begitulah, ilmu syahadah maju semakin mendekat kepada kebenaran rasional-empirik (true) melalui proses mempertanyakan, meragukan, menguji, menyalahkan, dan bahkan membatalkan teori atau pemikiran yang ada. Cara pandang demikian meyakini bahwa sama sekali tidak berguna apabila manusia memiliki timbunan segunung pengetahuan, tetapi campur-aduk, campur-baur antara pengetahuan yang benar dengan pengetahuan yang salah.
Petikan Hikmah
Pengetahuan yang benar akan perangai air, telah membantu manusia untuk membuat keputusan untuk: (1) membuat sumur, (2) membuat bendungan, (3) membuat saluran irigasi, (4) merekayasa hujan buatan, (5) membuat es, (6) membuat pompa air, (7) membangun PLTA, (9) memproduksi air kemasan, (10) membuat lapangan ice-skating di negara tropis, dan lain-lain.
Hanya pengetahuan yang benar yang memberikan kemanfaatan, dengan cara membantu manusia dalam mengambil keputusan dan tindakan. Ini tercermin dalam besaran peluang (probability). Memang mendung tak berarti hujan. Tetapi, tidak ada hujan tanpa didahului mendung. Mendung dengan intensitas dan karakteristik tertentu, berpeluang lebih besar menjadi hujan.
ADVERTISEMENT
Begitulah, kebenaran ilmu-ilmu syahadah senantiasa bersifat probabilistik, bukan kepastian tetapi keberpeluangan. Dengan peluang lebih dari 95% akan hujan, maka anda bisa membuat keputusan untuk sedia payung sebelum hujan. Dengan peluang lebih dari 95% tidak akan hujan, maka ada bisa membuat keputusan melenggang-kangkung tanpa payung hujan.
Ilmu syahadah yang bermanfaat, selain memenuhi kriteria kebenaran rasional-empirik, juga harus menjawab kebutuhan praktik-pragmatik. Pembelajaran dan belajar ilmu syahadah harus tidak berhenti pada pengetahuan (ma'arif, knowledge), tetapi juga berlanjut menjadi pelajaran (hikmah, lesson), yang bermakna dan berguna bagi peserta didik untuk tidak hanya menggapai penghidupan yang baik (good living), tetapi juga mewujudkan kehidupan yang baik (good life).
*Sakban Rosidi adalah pengampu perkuliahan filsafat dan metodologi penelitian Sekolah Pascasarjana, IKIP Budi Utomo Malang, dan pembaca filsafat pada Sekolah Indonesia Bernalar.
ADVERTISEMENT