Sejarah Keraton Gunung Kawi Malang

Konten Media Partner
16 Februari 2021 10:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wisata Budaya Gunung Kawi. Foto: Rizal Adhi
zoom-in-whitePerbesar
Wisata Budaya Gunung Kawi. Foto: Rizal Adhi
ADVERTISEMENT
MALANG - 5 agama hidup berdampingan dan harmonis di Wisata Budaya Gunung Kawi, di Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang.
ADVERTISEMENT
Juru kunci Ciamsi Klenteng Dewi Kwan Im, Sholikin, menceritakan bahwa objek Wisata Budaya Gunung Kawi dulunya adalah tempat menimba ilmu yang didirikan oleh Eyang Djoego (Raden Mas Soeryo Koesmono atau Kiai Zakaria II) dan Eyang Iman Soedjono (Raden Mas Iman Soedjono).
"Eyang Djoego dan Eyang Iman Soedjono beliau adalah ulama atau Wali Allah yang berperan menyebarkan agama Islam pada masa Perang Diponegoro (1825-1830). Dan Eyang Djoego itu masih cicit dari Kanjeng Bendoro Pakubuwono yang di Solo, masih keturunan dari Diponegoro," ungkapnya, beberapa waktu lalu.
Juru kunci Ciamsi Klenteng Dewi Kwan Im. Foto: Rizal Adhi
"Kalau Eyang Iman Soedjono itu masih keturunan atau trah silsilah dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Jogjakarta. Beliau masih keturunan dari Hamengkubuwono I," sambungnya.
Kedua tokoh ini menyebarkan agama Islam dan ikut membantu mengusir penjajah di wilayah Gunung Kawi. Keduanya juga mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan agama tanpa memandang ras, suku, agama, dan bahasa.
ADVERTISEMENT
"Beliau (keduanya) selain mengajarkan agama Islam juga ikut membantu mengusir penjajah dari Bumi Nusantara. Dan mengumpulkan prajurit maupun pemuda-pemuda untuk menimba ilmu, tetapi beliau tidak membeda-bedakan ras, suku, agama, warna kulit dan bahasa," tuturnya.
Wisata Budaya Gunung Kawi. Foto: Rizal Adhi
Bahkan, setiap murid diwajibkan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka masing-masing. Tanpa harus terpaku kepada kepercayaan gurunya yang merupakan umat Islam.
"Setiap murid juga diwajibkan untuk sembahyang menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Yang Islam buatlah surau atau waqaf atau yang sekarang disebut langgar, yang Nasrani buatlah gereja, Hindu pura, Budha wihara, dan untuk orang Chinese membikin klenteng," ungkapnya.
"Makanya semua ada dari masjid, gereja, pura, wihara, sampai kelenteng yang merupakan akulturasi budaya tadi atau Bhinneka Tunggal Ika. Karena kita semua itu benar-benar minta kepada Tuhan yang Maha Esa menurut agama dan kepercayaan masing-masing, serta menimba ilmu Eyang Djoego dan Eyang Raden Mas Iman Soedjono," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Eyang Djoego dan Eyang Iman Soedjono wafat pada 1871 dan 1876, hanya berselang 5 tahun. "Eyang Djoego sendiri wafat pada 1871, sedangkan Eyang Iman Soedjono wafat pada 1876," beber Sholikin.
Hingga saat ini, makam keduanya yang berada di objek Wisata Budaya Gunung Kawi masih sering dikunjungi peziarah, mulai dari orang biasa sampai pejabat publik.
Lebih lanjut, pria asli Desa Wonosari ini mengatakan, hanya di objek Wisata Budaya Gunung Kawi terdapat akulturasi budaya dari 5 agama.
"Di Malang Raya akulturasi semua budaya agama cuman ada di Gunung Kawi sini. Di sini gereja ada, pura di atas ada, keraton, wihara, masjid, kelenteng," tegasnya.
"Bangunan (klenteng) ini juga termasuk akulturasi budaya seperti ukurannya dari Bali atau Hindu, tiangnya ini ada Jawa Mentaraman, di atas kita ini ada Papua," pungkasnya.
ADVERTISEMENT