Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Oleh: Sugeng Winarno - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
ADVERTISEMENT
Resensi Buku:
Judul: Komunikasi Empati Dalam Pandemi Covid-19
Penulis: Vinda Maya, dkk
Editor: Nurudin, dkk
Penerbit: Aspikom Jatim kerjasama Buku Litera Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2020
Tebal: 338 Halaman
ISBN: 978-602-5681-70-7
Harga: Rp. 60.000
Peresensi: Sugeng Winarno (Dosen Ilmu Komunikasi UMM)
Komunikasi pemerintah dalam penanganan pandemi COVID-19 menuai kritik dari sejumlah kalangan. Telah terjadi erosi komunikasi. Bahkan ada yang menilai komunikasi krisis yang dilakukan pemerintah justru menjadi krisis komunikasi. Para akademisi Ilmu Komunikasi Jawa Timur turut gelisah melihat keadaan ini. Mereka mencoba urun rembug dan melakukan beragam kajian dan analisis. Komunikasi empati, itu sebuah solusi yang coba ditawarkan oleh para dosen Ilmu Komunikasi Jawa Timur melalui buku Komunikasi Empati Dalam Pandemi COVID-19.
ADVERTISEMENT
Komunikasi empati yang coba ditawarkan dalam buku ini untuk mengajak agar semua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi pandemi COVID-19 ini bisa mengedepankan empati. Artinya, siapa saja yang sedang terlibat komunikasi dituntut mampu menempatkan diri pada posisi orang lain. Komunikasi empati mengedepankan bagaimana diri kita seperti sedang merasakan apa yang sedang diderita oleh orang lain. Komunikasi empati berusaha lebih banyak memperhatikan apa yang menjadi keluhan dan kesulitan orang lain.
Dalam buku yang ditulis keroyokan oleh 45 dosen yang tergabung dalam Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (Aspikom) Jawa Timur ini dipilah dalam lima bagian. Bagian pertama berbicara tentang COVID-19 dan problem komunikasi elite politik. Bagian kedua mengulas tentang komunikasi empati, COVID-19, dan ketahanan masyarakat. Bagian ketiga membahas tentang peran media di era pandemi. Bagian keempat menjelaskan tentang pandemi dan tantangan dunia literasi. Bagian kelima membahas peran komunikasi pasca pandemi.
ADVERTISEMENT
Munculnya pandemi COVID-19 telah menyita perhatian banyak kalangan. Perhatian yang tertuju diantarannya terkait relasi antara pemerintah, masyarakat, dan media. Pemerintah dinilai tergagap menjalankan komunikasi publiknya. Media massa juga tak semuanya mampu membangun narasi yang bisa meredakan kepanikan. Apalagi media sosial, yang justru menampilkan realitas yang berlebihan (hiperrealitas) hingga memicu ketakutan yang semakin mencekam. Munculnya ketakutan yang berlebihan (phobia) banyak dipicu oleh narasi COVID-19 di media sosial yang tak semuanya terkonfirmasi benar.
Pentingnya literasi media dan literasi pandemi juga disuarakan oleh sejumlah penulis. Tak semua informasi tentang pandemi COVID-19 mampu dikomunikasikan dengan gamblang. Di sisi lain, beragam informasi virus di dapat masyarakat dari media sosial yang kebenaran informasinya sulit dilacak. Kondisi ini semakin diperburuk karena tingkat melek media digital masyarakat yang tergolong masih rendah. Tak jarang masyarakat pengguna media sosial termakan hoaks dan menjadi korban kabar palsu yang viral.
ADVERTISEMENT
Melalui buku setebal 338 halaman ini para penulis yang berasal dari beberapa kampus di Jawa Timur ini ingin pandemi COVID-19 bisa diambil sisi positifnya. Kebiasaan-kebiasaan baru seperti menjaga kesehatan, mencuci tangan, makan makanan bergizi, menggunakan masker, menjaga jarak sosial dan fisik dapat diteruskan sebagai sebuah perilaku new normal life. Pemanfaatkan teknologi komunikasi yang menunjang berbagai aktivitas manusia juga penting dilanjutkan.
Sejumlah kritik kepada pemerintah, pengelola media, dan masyarakat konsumen media juga disuarakan melalui buku ini. Kegagapan komunikasi yang dilakukan elite politik yang lebih sering membuat gaduh ketimbang bikin teduh. Peran juru bicara (jubir) yang idealnya punya kapasitas dan kapabilitas yang memadai hingga mampu menjadi corong informasi pemerintah ternyata tak berperan dengan baik. Akibatnya, tak jarang informasi berupa anjuran dan ajakan yang disampaikan pemerintah tak otomatis digugu dan ditiru masyarakat.
ADVERTISEMENT
Parahnya, sejumlah pihak juga memanfaatkan pandemi ini dijadikan ajang untuk bersolek memoles citra diri demi kepentingan politik praktisnya. Retorika politik yang muncul dari para politisi juga terdengar beraneka suara tergantung pada kepentingan politik pribadi dan kelompoknya. Telah terjadi politisasi pandemi oleh sejumlah pihak. Beberapa penulis juga melihat urgensi penguatan komunikasi spiritual saat pandemi. Penguatan relasi komunikasi keluarga juga menjadi agenda yang penting sehingga hal ini juga disuarakan oleh beberapa penulis.
Peran media massa juga menjadi perhatian serius sejumlah penulis. Bagaimana soal objektivitas pemberitaan media terkait pandemi COVID-19. Selain itu, beragam informasi tentang COVID-19 yang terus berdengung di media sosial juga menjadi bahasan dalam buku ini. Maraknya hoaks yang dipercaya sebagai kebenaran terus diviralkan melalui media sosial. Efek Echo Chamber yang melekat pada media sosial semakin sulit membendung laju kabar abal-abal. Justru tak jarang kabar bohong dipercaya sebagai sesuatu yang benar hanya gara-gara terlanjur viral.
ADVERTISEMENT
Buku ini merupakan sumbangsih akademisi Ilmu Komunikasi dalam turut berkontribusi menangani pandemi COVID-19. Sumbangsih pemikiran dan gagasan ini diharapkan mampu menjadi tawaran solusi terhadap kebuntuan komunikasi yang terjadi. Melalui buku ini pula diharapkan mampu menjadi penjernih di saat keruh informasi dalam lautan banjir informasi COVID-19. Melalui buku ini pula para penulis ingin mengurangi rasa takut yang berlebihan (phobia) yang dialami sekelompok masyarakat pada pandemi COVID-19.
Seperti umumnya buku kompilasi tulisan, maka buku ini bisa dibaca mulai dari mana saja, tak harus berurut dari depan. Walaupun buku ini berasal dari buah pikiran banyak kepala, namun buku ini punya kontiniti antar bagiannya dan dapat terkait erat. Buku ini dapat merelasikan antara agenda media, agenda publik, dan agenda pengambil kebijakan (policy maker). Buku ini hadir bisa menjadi kanal navigasi bagi pemerintah, masyarakat, dan media. Untuk itu buku ini sangat layak menjadi referensi yang bermutu bagi akademisi komunikasi, para pejabat publik dalam level manapun, para praktisi media, dan masyarakat umum.(*)
ADVERTISEMENT