Surat dari Anjas : Disabilitas yang Menembus Batas

Konten Media Partner
30 Juni 2019 12:53 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anjas Pramono, penulis artikel. (foto dokumen).
zoom-in-whitePerbesar
Anjas Pramono, penulis artikel. (foto dokumen).

Tulisan ini viral diberbagai platform media sosial. Untuk menginspirasi lebih banyak orang lagi, tugumalang.id memuat tulisan ini, tentu saja, setelah mendapatkan izin dari penulis. Selamat menikmati.

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Salam damai sejahtera bagi kita semua.
Perkenalkan nama saya Anjas Pramono. Saya adalah mahasiswa program studi Teknik Informatika 2016, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya. Saat ini, sekarang saya mengabdikan diri di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Brawijaya.
Saya adalah seorang disabilitas Tuna Daksa. Semuanya, berawal dari sebuah cerita. Ketika saya lahir, saya lahir dalam keadaan normal. Anak kecil yang lahir 20 tahun lalu itu sama seperti anak kecil pada umumnya: mempunyai dua mata, dua tangan dan juga dua kaki. Saya lahir dari kota yang sangat terkenal dengan cukai-nya. Orang orang menyebutnya sebagai "Little Singapore" yaitu Kudus. Kota pelosok berada di kaki gunung Muria. Saya lahir diantara keluarga yang sederhana. Dan diantara lingkungan yang sangat welcome terhadap disabilitas.
ADVERTISEMENT
Awal dari diketahui saya adalah orang yang "spesial", adalah bermula ketika saya berumur 8 Bulan, bayi Anjas yang lucu tiba tiba menangis ketika sedang belajar duduk. Tangisan itu berlangsung lama dan tak wajar. Orang tua saya saat itu baru menyadari ternyata kaki saya patah ketika belajar duduk. Di usia saya balita saya sudah berkali-kali mengalami patah tulang kaki (baik kaki kanan ataupun kiri, baik betis ataupun paha) bertahun-tahun saya dikekang penyakit yang menyakitkan. Kaki patah berkali-kali hanya karena jatuh sedikit tertekuk sedikit. Dan ini terjadi hingga saya kelas 5 SD.
ADVERTISEMENT
Hingga di Bandung, saya diagnosis mengidap kelainan penyakit tulang bernama Osteo Genesis Imperfecta. Kelainan berupa pengeroposan tulang dan merapuhnya tulang ketika masih kanak-kanak. Penyakit ini sangat langka. Di Indoneaia hanya ditemukan 15.000 kasus, dari 260 Juta rakyat indonesia. Sangat sedikit hanya 0.0005% dari seluruh masyarakat total Indonesia, ini berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015.
Inilah yang membuat saya menyebut diri saya sebagai ’Anak Spesial’. Tulang kaki saya yang patah berkali-kali itu tumbuh bengkok karena sering patah tulang dan pertumbuhan tidak sempurna. Hanya ada solusi untuk menyembuhkan kaki saya yang bengkok itu, pada saat itu hanya ada dua negara yang benar-benar mampu. Jepang dan Amerika.
Saat itu saya kelas lima SD. Saya pun menolak keras jika orang tua harus merogoh kocek lebih dalam hanya untuk anak sulungnya ini. Toh, saya tak pernah mempermasalahkan kondisi kaki saya, saya masih bisa bergerak dan terus bergerak. Karena saya yakin, ini adalah sebuah skenario tuhan yang akan berakhir indah. Entah di dunia ataupun akhirat inshaAllah saya akan ikhlas.
ADVERTISEMENT
Tak terhitung berapa banyak saya mengalami patah tulang, saking banyaknya ketika saya tanya orang tua saya. Mereka tersenyum tipis dan berkata terlalu banyak hingga mereka lupa menghitung.
Saat terakhir saya patah tulang adalah ketika bulan november tanggal 21 tahun 2016. Saya ingat betul sebab, H-7 hari saya ulang tahun dan hendak berangkat ke kampus. Di lantai dasar kampus saat hujan tongkat penopang saya berjalan tergelincir. Sial memang tulang duduk saya patah. Saya absen kuliah 1 Bulan. Aneh memang, hanya 1 Bulan padahal biasanya butuh waktu pengembuhan 3 - 4 Bulan ketika patah tulang. Inilah sebuah kuasa Allah. 1 Bulan tulang yang patah itu menyambung sempurna. Hanya 1 bulan, dokter pun geleng-geleng melihat ini.
ADVERTISEMENT
Kondisi tubuh dengan keterbatasan ini tak membuat saya patah arang. Sedari kecil saya tak bisa pergi main bola, mengejar layang layang, atau bahkan bermain gundu dengan teman sekitar. Saya harus di rumah. Hal ini tak menjadi masalah. Saya terus membaca. Kebetulan ayah saya adalah seorang tenaga pendidik. Buku buku tebal jadi konsumsi saya setiap hari Buku Max Havelaar 480 lembar saya baca ketika saya duduk dikelas 5 SD. Saya setiap minggu langganan majalah bobo, koran, dan beberapa buku buku pelajaran sejarah dan pancasila. Benar, memang ayah saya adalah tenaga pendidik mata kuliah Pancasila. Pengetahuan dari buku membuat saya tergila-gila akan politik dan channel-channel berita.
ADVERTISEMENT
Ketika waktu pendaftaran saya ingat betul saya kesana bersama ayah dan ternyata kenyataan pait harus dihadapi. SMP favorit itu mempunyai dua lantai untuk bangunanya. Hingga ini jadi hal yang tidak mungkin, apalagi saya menggunakan kursi roda. Saya harus menciutkan niat saya untuk bersekolah di sekolah favorit. Kemudian ayah membawa saya di SMP terdekat dengan rumah, ketika nilai saya di inputkan saya mendapat peringkat pertama. Suatu saat ketika siang. Saya sedang duduk dikantin, saya mendapat kabar bahwa saya tidak bisa melanjutkan sekolah di sekolah itu.
Pihak sekolah saat itu ( beberapa guru dan guru BK) menolak kehadiran saya. Karena saya harus sekolah di SMPLB. Saya menangis melihat ayah saya cekcok dengan oknum guru itu. Saya minta pulang, saya pulang dan menangis mengurung diri di kamar. Bayangan kelam saya tidak bisa mwlanjytkan pendidikan akan terjadi. Setelah ayah saya mengambil sikap protes dan tegas kepada dinas pendidikan. Mediasi diberlakukan dan beejalan alot. Saya tetep kekeh meminta hak saya untuk sekolah di SMP terdekat rumah itu meskipun disabilitas.
ADVERTISEMENT
Berbagai kemampuan dikerahkan lobbying dan mediasi terus ditempuh. Hingga saya diterima. 3 tahun di SMP adalah masa yang berat. Pergaulan yang sangat terbatas. Disability awareness yang sangat kurang di pelajar kala itu sangat sedikit. Saya tak punya banyak teman. Tekanan mental, bullying dan berbagai kekerasan saya alami saya tak banyak mencolok disekolahan. Hanya saya seorang anak cacat yang membuat saya terkenal. Saat menulis ini pun saya ingin menangis dan tersenyum kecil mengingat memori masa lampau. Ketika ingat saya mengajukan diri untuk lomba matematika tingkat kabupaten saya harus dihalangi guru saya. Karena alasan sekolah tidak punya Mobil untuk mengajak saya lomba.
Saya lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan nilai yang biasa biasa saja saya tak ingat betul berapa nilainya yang pasti nilai matematika saya masih 9.5, saya mulai kumpulkan tekad saya ibgin masuk ke sebuah sekolah favorit dengan melanjutkan study di sebuah sekolah yang bekerja sama dengan surya institute (yayasan pendidikan yohannes surya) singkat cerita anak kampung bernama anjas lolos 75 orang pilihan dari ribuan orang pendaftar.
ADVERTISEMENT
Saya pun hampir 1 bulan jarang tidur unruk belajar matematika dan Allah memang sangat baik pada Anjas, Anjas lolos melengkapi tim indonesia bersama 19 orang lain yang tersebar di seluruh indonesia untuk mengikuti Olimpiade Internasional bernama Singapore Mathematic Olimpiade. Anak kampung itu pun lemas saya tak mengira saya akan naik pesawat dan begitu bangganya saya. Orang tua saya memeluk saya hangat pertanda saya telah berhasil membanggakan mereka. Singkat cerita saya berangkat bwrsama tim indonesia ke Singapura. The Lion City, negara yang saya impi impikan satangi saat kelas 3 SD itu berujung kenyataan. Ujian olimpiade pun dimulai singkatnya, saya gagal saya tak mendapatkan medali untuk Indonesia. Ibu saya pun menelepon saya dan kembali saya menangis dikamar hotel. Kegagalan setelah itu tak membuat patah arang. Cita-cita saya saya ingin membawa merah putih ke podium sebuah ajang perlombaan.
ADVERTISEMENT
Saya terus berproses singkat cerita saya mulai aktif di bebeeapa perlombaan di tingkat SMA mulai debat bahasa inggris hingga juara 1 Provinsi jateng pada tahun 2015. Dan juga lomba lomba karya ilmiah. Tapi saya belum peenah juara ketika lomva karya ilmiah saat SMA. Diterima di Universitas Brawijaya membuat saya tertantang saya mulai di geluti dunia riset dan bidang IT.
Sejak awal maba saya tertarik untuk membuat sebuah aplikasi. Saya mulai aktif menjadi pwnggiat disabilitas di kampus. Demonstrasi sana sini menuntut kesetaraan hingga berhadapan dengan polisi dijalanan tak membuat saya mundur. Tangan terkepal dan maju kemuka. Saya terus membela disabilitas dan memperjuangkan mereka di advokasi dan pembwrdayaan mereka di kampus. Saya juga membuat sebuah aplikasi bernama Difodeaf (Dicrionary for Deaf) saya nekatkan untuk mengikutkan aplikasi ini di sebuah ajang perlombaan si Malaysia.
ADVERTISEMENT
Modal nekat memang, uangpun saya tak punya. Saya bermodalkan nekat untuk bertemu wakil dekan di fakultas beliau mensupport penuh. Uang pun aman. Saya berangkat dengan uang saku pas pasan. Karena tak berani minta uang saku ke oeang tua. 3 hari disana dengan berbekal uang 500.000 dan sebuah tas ransel berisi baju ganti dan harapan besar bagi ibu pertiwi. Makan pun seadanya dan yang penting murah.
Foto ilustrasi difabel. (foto: kumparan.com).
Nasi lemak dan air putih makanan ku selama 3 hari. Disabilitas bernama Anjas sendirian berjarak ribuan kilometer dengan orang tua mengadu akal berlomba di negeri jiran. Tidak ada teman dan kenalan saya hanya bermodal bahasa inggria yang ala kadarmya. Menjelang pengumuman saya berdoa. Jika saya menang saya berjanji akan mengabdikan seluruh hidup saya untuk orang banyak dan bermanfaat bagi negara ini. Juri pun menyebut nama saya dikala saya sedang berdoa disudur ruangan. Saya mendapatkan medali emas. Aplikasi kamus bahasa isyarat itu mendapat juara emas. Aplikasi yang dihina oleh kaka tingkat dan anjas yang pernah dihina anak cacat ketika kecil naik ke podium. Bendera merah putih saya pegang erat erat. Aku kibarkan bendera itu didepan podium. Bersujud syukur medali emas itu saya gigit, layaknya Taufik Hidayat selesai menang All England.
ADVERTISEMENT
Saya pun mulai tekun mempelajari riset dan disabilitas saya, juga aktif beorganisasi bernama PMII. Organisasi pertama saya dan saya langsung jatuh cinta. Dengan tolerannya, Aswaja-nya dan nilai dasar pergerakan. Saya menjadi ketua rayon fakultas dan sekarang menjabat ketua komisariat (ketua PMII Se Universitas Brawijaya) mungkin mencatatkan rekor pertama dalam sejarah PMII di Indonesia di mana saya adalah ketua Komisariat Disabilitas pertama di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saat ini, saya juga fokus untuk mencari beasiswa dua minggu lalu, saya lolos interview beasiswa YSEALI, swbuah progeam Exchange Fully Funded di Amerika. Negara yang menjadi impian saya. Saya pun berjanji, Anjas tidak akan pernah diam melihat penindasan terhadap disabilitas. Anjas tidak akan berhenti memperjuangkan kemanusiaan dan Bangsa indonesia. Hingga nafas akhir kehidupan. Mencintai kemanusiaan dan berakhir dalam kedamaian. Catatlah Anjas di 10 tahun mendatang. Sang orator dan sang pemimpin masa depan abad 21.
Salam Pergerakan.
*Penulis adalah aktivis PMII dan Mahasiswa Disablitas di Universitas Brawijaya