Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Opini Ferry Anggriawan SH MH - Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang
ADVERTISEMENT
Gagasan kepastian hukum bukan hanya soalan hukum (undang-undang) yang disahkan oleh DPR. Tetapi juga pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembuatan hukum yang kelak berujung pada ketaatan masyarakat. Inilah sebenarnya hakikat dari kepastian hukum.
ADVERTISEMENT
Senin, 5 Oktober 2020 adalah hari di mana sumber daya di Indonesia dipertaruhkan, baik itu sumber daya alam dan sumber daya manusia. Pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR, mendapat reaksi keras oleh masyarakat baik di dunia maya ataupun di dunia nyata. Bagaimana tidak? Banyak kabar beredar yang dibagikan oleh beberapa akun media sosial benar-benar membuat suasana kacau balau. Khususnya para buruh, dibuat ketar-ketir.
Kabar yang beredar di sosial media, khususnya dari kanal twitter dan instagram itu berupa analisa-analisa ‘bertopeng hukum’. Ditampilkan tanpa melalui analisa hukum sesuai landasan disiplin ilmu hukum yang ketat.
Sebagai contoh, seperti salah satu kabar tentang penghapusan upah minimum misalnya. Padahal, jika diteliti, Pasal 88 huruf c, d dan e pada draft RUU itu sudah mengatur tentang upah minimum Provinsi yang wajib ditetapkan oleh Gubernur. Selanjutnya, upah minimum Kabupaten/Kota harus lebih tinggi dari upah minimum Provinsi serta pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum juga sudah diatur. Maka, tidaklah benar kabar tentang penghapusan upah minimum karena Pasal 88 huruf c, d dan e sudah mengatur terkait hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Adanya analisa-analisa tak valid bertopeng hukum serta bergolaknya penolakan masyarakat terhadap RUU ini bukanlah tanpa sebab. Jika kita melihat ke belakang pada tahap awal pembahasan RUU ini, terjadi adanya kejanggalan formil di sektor Parlemen yang berakibat fatal. Mengapa? Karena dalam proses pembahasan RUU tersebut, partisipasi publik tidak diikutsertakan. Padahal partisipasi publik telah dijamin oleh Konstitusi dan Undang-undang disetiap pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kosongnya partisipasi publik inilah yang menempatkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja termasuk dalam kategori cacat formil. Itu bukanlah representasi kepastian hukum.
Mulai dari pembahasan RUU secara senyap, beredarnya analisa-analisa hukum palsu di masyarakat, draft RUU disahkan dalam keadaan cacat formil, lambatnya respon sosialisasi dari Pemerintah hingga masyarakat yang enggan membaca 905 halaman dari draft RUU tersebut, mengakibatkan bola hanya bergulir di tengah lapangan tanpa tujuan. Seperti saat ini.
ADVERTISEMENT
Sehingga, menjadi hal wajar apabila masyarakat lebih percaya pada analisa-analisa hukum palsu yang dibuat ringkas dan seolah mewakili keluh kesah amarah masyarakat. Seandainya, Pemerintah sedari awal penyusunan RUU ini mengikutsertakan publik dalam pembahasannya, maka antipati masyarakat tidak akan terbentuk. Masyarakat bisa lebih tenang dan cerdas menghadapi situasi dan tidak mudah tersulut keadaan.
Kedaulatan rakyat dan negara hukum adalah amanat konstitusi. ‘Rakyat Indonesia’ adalah pemegang kedaulatan sebenarnya. Tetapi bagaimana bisa dikatakan berdaulat, jika dalam hal pembuatan hukum, partisipasi rakyatnya dibungkam. Pemikirannya dianggap ancaman. Dalam hal ini, rakyat seolah dianggap sebagai sumber daya mati. Bukan sumber daya manusia yang nyata dan utuh dimana hak-haknya dijamin penuh secara konstitusional.
RUU Omnibus Law Cipta Kerja, nyatanya hanyalah slogan kepastian hukum yang kering akan dimensi etis dan politis. Dibuat secara senyap, dibarengi dengan melubernya informasi tidak valid yang terlanjur ditelan mentah-mentah oleh masyarakat hingga berakibat munculnya mosi tidak percaya. Hingga berakhir dengan stigma buruk, bahwa RUU ini bersifat melanggengkan kekuasaan yang positivitis, mengorbankan kemerdekaan individual dan mencederai keadilan. Akhir kata, sekali lagi saya tegaskan, ‘RUU Omnibus Law Cipta Kerja bukan representasi dari kepastian hukum’. Tabik.(*)
ADVERTISEMENT
Referensi
E.Fernando M. Manullang, Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum, PT Fajar Interpratama Mandiri, Jakarta 2016
Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Genta Publishings, Yogyakarta, 2011
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan; Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1998
John Rawls, Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, 1999
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1999