Konten Media Partner

Thowaf dalam Kajian fikih dan Sufi

19 Juli 2019 20:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Suasana Thowah di Mekkah, Arab Saudi. Foto : Pixabay.Com
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Thowah di Mekkah, Arab Saudi. Foto : Pixabay.Com
Oleh Abdul Adzim Irsad*
Salah satu ciri khas orang menunaikan ibadah haji dan umrah adalah banyak melaksanakan ‎thowaf. Thowaf berarti mengelilingi Baitullah tujun putaran yang di mulai dari hajar aswad, ‎dan di akhiri di hajar aswad. Siapa yang melaksanakan thowaf secara rutin, berarti telah ‎menghidupkan syiar islam dan sunnah Rasulullah SAW di Kota Makkah.
ADVERTISEMENT
Sunnah bagi setiap orang yang memasuki masjidil haram adalah “thowaf”, ketika ‎tidak melaksanakan thowaf digantikan dengan dua rakaat sholat tahiyatul masjid. Ketika ‎tidak bisa melaksanakan sholat dua rakaat karena terlambat, maka disunnahkan membaca ‎tasbih tiga kali. Begitu pentingnya ibadah thowaf, sampai diberikan alterlatif penggantinya ‎bagi yang tidak melaksanakan thowaf dan sholat tahiyatul masjid.‎
Syarat ibadah thowaf itu sama dengan sholat, suci dari hadas kecil dan besar. Yang ‎membedakanya adalah ketika sedang thowaf namun diselingi dengan berbincang-bincang ‎dengan teman, maka thowafnya tidak batal (sah). ‎
Ulama sepakat bahwa thowaf itu dikatakan karena “buang angin”. Bagi seorang yang ‎sedang thowaf, kemudian batal ketika putaran ke-2, maka setelah berwudhu (bersuci) ‎dilanjutkan pada putaran ketiga. Adapun bersentuhan dengan lawan jenis, para ulama ‎berbeda pendapat. ‎
ADVERTISEMENT
Bagi pengikut madzab Al-Syafii, bersentuhan dengan lawan jenis karena tidak sengaja atau ‎disengaja, apalagi besahwat, jelas membatalkan wudhu. Sehingga thowafnya tidak sah. ‎Bersentuhan dengan istri sendiri, juga membatalkan wudhu, karena istri itu aslinya adalah ‎‎“ajanibyah”. ‎
Namun, para ulama syafi'i juga ada yang berpendapat, bahwa kondisi berjubel, berdesak-‎desakan yang tidak memungkinkan wudhu berkali-kali, selama bersentuhan dengan lawan ‎jenis tidak ada unsur sengaja, maka whudunya tetap sah. Sehingga thowafanya juga sah. ‎Kondisi saat thowaf itu dikatekorikan darurat. Namun, jika tetap khawatir (kurang sreg), ‎maka diperbolehkan pindah ke madzhab Abu Hanifah, atau Maliki.‎
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa menyentuh wanita bukan muhrim (ajnabiyah) tidak ‎membatalkan wudhu secara mutlak. Sementara, madzhab Imam Hambali dan Maliki ‎berpendapat bahwa bersentuhan dengan wanita lain (Ajnabiyah) bias membatalkan wudhu, ‎dengan catatan saat bersengtuhan diiringi dengan syahwat. ‎
ADVERTISEMENT
Maka, alterlatif yang paling afektif dalam masalah thowaf ini adalah pindah madzahb ‎‎(talfiq). Talfiq (pindah madzhab) itu boleh dengan catatan, tidak berpindah-pindah. Dalam ‎hal Thowaf, talfiq (pindah madzhab) dari Syafii ke Imam Abu Hanifah, harus diawali dengan ‎tata cara wudhu, membasuh muka, kedua tangan, telinga, hingga dua kaki hingga mata ‎kaki. Dalam hal, ini orang awam sangat kesulitan. Maka, yang lebih aman adalah “taqlid” ‎kepada ulama yang sudah mumpuni di bidang fikih Al-Syafii.‎
ADVERTISEMENT
Memaknai Thowaf
Setiap langkah kaki menjadi pelebur dosa-dosa, dan mengangkat derajat lebih tinggi di sisi ‎Allah SWT. Pada hakekatnya, thowaf itu sebenarnya sebuah usaha dari seornag hamba yang ‎bergelimang dosa, yang ingin menyatakan diri ketikda berdayaannya dihadapan Allah SWT ‎bertaubat, dan mengakui kebesaran Allah SWT.‎
Ketika sedang keliliang Baitullah, dengan diiringi doa, sejatinya sedang interaksi dengan ‎Allah SWT. Mereka tidak pernah berfikir kaki atau tangan bersentuhan dengan lawan ‎jenisnya, melaikankan ingin mendapatkan ridho Allah SWT. Maka, tidaklah aneh, jika ‎sepanjang thowafnya keringat membahasi sekujur tubuhnya tidak dirasakan, justru yang ‎dirasakan adalah nikmat. Kaki terinjak-injak hingga bengkak, kadang dada terkena sikutan, ‎justru thowafnya semakin nikmat. Itulah hakekat thowaf yang sebenarnya.‎
ADVERTISEMENT
Kadang air mata mengalir deras membahasi pipi, juga membahasi dinding Baitullah semua ‎dinikmati senikmat-nikmatnya. Keringat dan air mata, seolah-olah menjadi saksi di hadapan ‎Allah SWT, bahwa dirinya dating ke Baitullah bukan apa-apa, tetapi bentuk pengabdikan ‎seorang hampa pendosa kepada Allah SWT. Tidak salah jika ada sebuah pernyatan “thowaf ‎itu ibadah yang paling nikmat, tidak akan merasakan kenikmatan thowaf, kecuali yang ‎setiap hari melakukannya”‎
Kenikmatan thowaf itu karena banyaknya manusia yang thowaf, mulai dari orang-orang ‎sholih, kekasih Allah, dan juga para pendosa. Bahkan, bangsa Jin juga melaksanakan ibadah ‎thowaf. Malaikat-pun, juga turut serta mengelilingi Baitullah. Itulah dahsyatnya ibadah ‎Thowaf.‎
Memaknai Thowaf dari Segi Sunnah ‎
Secara khusus, Rasulullah SAW menyebutkan keutamaan ibadah thowaf sunnah dalam ‎berbagai hadis-nya. ‎
ADVERTISEMENT
Rasulullah SW pernah berkata. "Barangsiapa melaksanakan thowaf, tiap-tiap langkah ‎adalah kebaikan, dan menjadi pelebur dosa, dan mengangkat derajat. (HR Abu Dawud). ‎Dalam hadis lain, Rasulullah SAW berkata “ barangsiapa melaksanakan thowaf, kemudian ‎sholat dua rakaat, maka pahalanya sama dengan memberdakan budak (HR.Ibnu Majah). ‎Thowaf ini merupakan tradisi pada nabi, wali, dan orang-orang sholih, dengan tujuan ‎mendekatkan diri kepada Allah SWT.‎
Allah SWT memberikan keistimewaan yang luar biasa bagi kaum muslimin yang bermukim ‎di Makkah atau menjadi tamu-nya, baik ketika sedang umrah atau menunaikan ibadah haji ‎untuk melaksanakan ritual Thowaf. Tidak ada pekerjaan suatu ibadah, jika dilakukan ber-‎ulang, semakin senang dan dirindukan. Itulah Thowaf, mengelilingi Baitullah dengan tujuh ‎putaran. Thowaf, bukan hanya dikerjakan manusia, Jin dan Malaikat-pun Thowaf.‎
ADVERTISEMENT
Baitullah adalah salah satu tempat ibadah tertua di dunia yang berada di pusaran bumi. ‎Islam menjadikan Baitullah tempat berputar (thawaf) sepanjang masa, sejak Adam AS. ‎diturunkan sampai saat ini. Rasulullah juga menjelaskan dalam beberapa hadits yang ‎diriwayatkan oleh para muhaddisin perihal pahala thowaf, seperti Imam al-Bukhari, ‎Muslim, Abu Dawud dan Nasai serta Ibnu Majah. Dalam hadits tersebut dijelaskan, setiap ‎langkah kaki di dalam putaran thowaf mampu menghapus kesalahan dan dosa manusia, ‎serta mengangkat derajat manusia di sisi Tuhan-Nya,.‎
Nabi Muhammad SAW menyatakan dalam sebuah hadis, bahwasan-nya Thowaf itu mampu ‎menjadikan manusia terhapus dari dosa-dosanya. Setiap orang yang mengerjakan Thowaf, ‎Allah SWT melebur dosa-dosanya. Jika usai melaksanakan Thowaf, kemudian dilanjutkan ‎melaksanakan sunnah dua rakaat (Rakatal Thawaf) di belakang maqomIbrahim atau Hijir ‎Ismail diibaratkan memerdekakan budak. Begitu besar pahala thowaf, sampai-sampai ‎Nabimemberitakan kepada semua pengikutnya dengan redaksi yang berbeda-beda.‎
ADVERTISEMENT
Dalam kitab Syifa’ul Gharam, Syeh al-Fasi menukil sebuah Rosulullah SAW yang isinya ‎memberitakan bahwa orang yang melaksanakan thawaf seminggu tujuh puluh kali, maka ‎akan terhapus semua dosanya seperti bayi yang baru dilahirkan. Begiitu dasyatnya pahala ‎melaksanakan ibadah Thowaf, hingga banyak jin dan Malaikat senantiasa hadir di Baitullah, ‎karena tempat ini begitu luar biasa dan penuh dengan kesakralan.‎
Di waktu-waktu tertentu thawaf juga mempunyai fadhilah dan pahala yang sangat agung, ‎seperti pada saat bulanpuasa atau malam Lailatul Qodar. Thowaf yang dilakukan setelah ‎shalat Shubuh dan Ashar juga sangat bagus, sebagaimana dikutip dari sebuah hadis yang ‎diriwayatkan oleh Anas bin Malik dan Sa’id bin Musayyab, Rasulullah bersabda, “Ada dua ‎thawaf yang jika dilakukan tidak diragukan lagi bahwa seorang hamba muslim pasti sudah ‎terhapus seluruh dosa-dosanya. Pertama adalah thawaf setelah shalat shubuh yang ‎selesainya menjelang matahari mulai terbit. Kedua adalah thawaf setelah shalat ashar yang ‎selesainya menjelang maghrib.”‎
ADVERTISEMENT
Salah satu ciri khusus Baitullah adalah thawaf, sehingga tidak ada tempat yang lebih ‎istimewa di muka bumi ini selain Baitullah. Sepanjang zaman, mulai nabi Adam AS. Sampai ‎sekarang -bahkan yang akan datang-, tidak henti-hentinya dikelilingi oleh ribuan, bahkan ‎jutaan insan.
Tujuannya mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang yang datang ‎disunnahkan untuk mengelilingi Baitullah sebagai tanda kemulyaan Baitullah. Begitu juga ‎Haji, tidak sempurna haji danumrah seseorang tanpa disertai thowaf, sebagaimana dalam ‎QS. al-Hajj 29 yang artinya, “… dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah ‎yang tua itu (Baitullah)…”.‎
Dijelaskan dalam QS al-Baqarah 25, yang artinya, “Dan sucikanlah rumahku (Baitullah) bagi ‎orang-orang yang selalu thawaf”.
Allah SWT memuliakan penduduk bumi -termasuk ‎manusia, jin serta binatang- dengan thawaf ke Baitullah. Sedangkan kemuliaan bagi ‎penduduk langit yaitu thawaf mengelilingi Baitul Ma’mur di langit. Sebelumnya, yang ‎pertama kali mengelilingi Baitullah adalah Malaikat, kemudian Adam AS. Barulah Allah ‎mengatakan kepada Adam, “Mintalah?” Adam menjawab, “Ampunilah dosa-dosaku dan ‎anaku.” Allah menjawab, ‘Aku telah mengampuni dosa-dosamu.”‎
ADVERTISEMENT
Kejadian yang sama juga dikutip dalam ‎sebuah buku sejarah, bahwa ada seekor burung yang hinggap di salah satu pundak orang ‎sedang thawaf. Burung itu mengikuti thawaf sampai tujuh putaran lalu terbang. Buku ‎tersebut juga menceritakan tentang jin yang sedang melaksanakan thawaf di Baitullah, lalu ‎dilanjutkan dengan shalat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim. Tapi ada seorang ‎pemuda dari Bani Sahm mendekatinya dan membunuhnya, sehingga terjadi fitnah besar ‎dan permusuhan antara kelompok jin dan Bani Sahm.‎
Di sisi lain, memandang Ka’bah juga menjadi nilai ibadah tersendiri. Setiap hari, Allah SWT. ‎menurunkan 120 rahmat yang terbagi menjadi tiga bagian di Masjidil Haram (Makkah). ‎Bagi yang senang memandangi Baitullah, maka akan mendapatkan dua puluh rahmat-Nya. ‎Dan, bagi yang melaksanakan thowaf sunnah, maka akan mendapatkan enam puluh ‎rahmat-Nya. Sedangkan yang hanya melaksanakan sholat sunnah, maka hanya akan ‎mendapatkan empat puluh rahmat-Nya. Baik thowaf, sholat, dan memandangi Baitullah ‎harus dengan niat ibadah serta penuh pengghayatan, ta’zhim dan takrim atas kebesaran ‎Allah SWT ‎
ADVERTISEMENT
Malang, Juli 2019.
Penulis adalah cendekiawan Muslim, tinggal di Malang.