Umsida Gelar Konferensi Internasional Responsif Gender dalam Dunia Pendidikan

Konten Media Partner
12 Juli 2022 8:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti. dok
zoom-in-whitePerbesar
Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti. dok
ADVERTISEMENT
SIDOARJO - Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), melalui Pusat Studi Gender Perempuan dan Anak (PGSPA) dan INOVASI, menginisiasi The International Conference on Gender Responsive Education, Rabu (6/7/2022). Inisiasi ini sebagai langkah Umsida membangun kemitraan antara Indonesia dengan Australia.
ADVERTISEMENT
Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu'ti mengatakan, pentingnya kesadaran akan setara gender sejak dari kecil.
Sebagai keynote speaker, Mu'ti menjelaskan, ada tiga isu yang menjadi concern bersama dalam gender responsive education. "Realitas dimana memang pendidikan kita ini dalam beberapa hal masih mengalami bias gender dalam pendidikan di Indonesia," ujarnya.
Menurutnya, bias gender ini disebabkan oleh empat hal. Pertama adalah pemahaman agama tentang laki-laki dan perempuan. Dimana di kalangan umat Islam atau komunitas pemeluk agama yang lain masih ada pemahaman bahwa perempuan itu adalah second class gender.
Rekonstruksi ini berasal dari pemahaman teks-teks agama itu dipahami ada pemahaman yang cukup kuat di masyarakat. Misalnya, wanita itu diciptakan untuk memenuhi hasrat laki-laki dan itu seringkali berkorelasi dengan relasi superioritas laki-laki atas perempuan.
ADVERTISEMENT
"Saya yang termasuk mempersoalkan tafsir yang bias gender ini, karena dalam al-quran disebutkan laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda tapi memiliki kedudukan yang sama dan kesempatan yang sama dan berperan sebagaimana tuntunan agama,'' kata Mu'ti.
Mu'ti lalu menyebut terkait kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan sudah ada dalam surat An Nahl. Sesungguhnya dalam surat An Nahl, menunjukkan equality antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi yang terbaik dan senantiasa berbuat baik.
''Namun yang seringkali muncul adalah konstruksi perempuan yang dianggap sebagai makhluk pembawa masalah, menjadi victim dari berbagai macam hal, dan perempuan juga menanggung beban ganda, selain menjadi korban kekerasan juga dipersalahkan atas kondisi yang menimpanya," jelasnya.
Kedua, bias budaya atau culture bias menempatkan masyarakat perempuan sebagai second clas society atau sebagai masyarakat kelas dua. Dimana laki-laki memiliki kesempatan yang lebih banyak di banding perempuan dalam pendidikan. Ini memang sesuatu yang berbanding terbalik dengan konstitusi dimana setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu, akan tetapi dalam realita ketika berbicara tentang kesempatan belajar, perempuan lebih di nomer duakan. Misal jika ada orang tua yang memiliki limited budget untuk menyekolahkan anaknya, dimana anaknya ada yang laki-laki dan perempuan, maka ia akan memilih anak laki-laki untuk melanjutkan sekolah dibandingkan dengan anak perempuan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, bias akademik terkait dengan kesempatan laki-laki dan perempuan dalam memilih jurusan untuk melanjutkan sekolah. misalnya, anak laki-laki cenderung memilih jurusan sains dan teknik sedangkan anak perempuan memilih ilmu sosial. "Padahal dalam ilmu psikologi tidak ada perbedaan kecerdasan antara laki-laki dan perempuan," imbuhnya.
Menurutnya perlu banyak pembenahan agar tidak terjadi bias dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. "Bagaimana murid mendapatkan kesempatan yang sama, tidak ada perbedaan laki-laki dan perempuan, kekerasan verbal yang kaitannya dengan physical violence dimana kelompok yang kuat cenderung melemahkan," ujarnya.