Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Urip Iku Urub: Merayakan Peter Carey, Bule yang Ziarah Kubur
5 Januari 2020 19:20 WIB
ADVERTISEMENT
Oleh: As’ad Arifin, Jurnalis
Terkadang, seorang dengan enteng berkata: ah, jangan percaya dengan sejarawan asing, mereka hanya menulis versi asing. Subjektif. Mengapa menulis sejarah Indonesia harus mengandalkan orang atau sumber asing? Itu hanya mengaburkan sejarah nasional kita!.
ADVERTISEMENT
Benarkah pernyataan di atas? Tentu tidak semua membalikkan telapak tangan untuk menjawab pernyataan tersebut. Tetapi, percayalah, di balik sikap skeptis kita tentang ‘sejarawan asing’, ada sosok Peter Carey yang dengan tulus memberi sumbangan besar pada sejarah Indonesia.
Magnum opus Peter Carey tentu saja buku berjudul ‘The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the End of Old Order in Java, 1785-1855 (Leiden: KITLV Press, 2007). Biografi Pangeran Diponegoro paling lengkap tersebut kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855.
Peter Carey, menjadi satu di antara banyak sejarawan asing yang getol meneliti sejarah Indonesia (biasa disebut Indonesianis). Karya-karya Peter Carey menjadi rujukan utama bagi para penulis Pangeran Diponegoro, juga tentang Jawa abad 17 dan 18. Tidak salah, sebab Peter Carey sudah memulai petualangan meneliti Diponegoro dan sejarah Jawa sejak 1969 silam.
ADVERTISEMENT
Peter Carey, Bule yang Ziarah Kubur
Dedikasi panjang Peter Carey mewarnai sejarah Indonesia tersebut kemudian mendapat ‘hadiah’ dari koleganya. Bermula dari ide sejarawan muda: F.X Domini B.B Hera [Francis Hera] lahirlah buku Urip Iku Urub [selanjutnya ditulis UIU]. Buku ini merupakan hadiah perayaan ulang tahun ke-70 Peter Carey.
Lazimnya, dalam sebuah buku persembahan, tulisan di dalamnya akan berisi puja dan puji bagi sang tokoh. Namun, tidak dengan buku UIU. Dari 23 tulisan, hanya terdapat tiga tulisan saja yang secara khusus membahas Peter Carey. Kecuali, tulisan langsung Peter Carey dan pengantar sang editor, Francis Hera. Selebihnya, buku ini membahas tema seputar Pangeran Diponegoro dan Jawa pada tatanan lama. Tidak ada kesan meng-kultus-kan seorang Peter Carey pada buku yang terbit untuk merayakan dirinya.
ADVERTISEMENT
Satu catatan menarik dari buku UIU adalah tata urut tulisan. Buku ini dibagi dalam lima bagian utama dan 24 bab. Pada bagian pertama, kita akan mendapat banyak informasi tentang Peter Carey, termasuk autobiografi singkatnya. Peter Carey dengan sangat teliti menuliskan awal mula dia berkenalan dengan Pangeran Diponegoro, perjuangan untuk datang ke Indonesia pertama kali pada 1970 dengan menaiki KM Sam Ratulangi, hampir meninggal karena usus buntu di Teluk Betung, kembali ke Oxford untuk menjadi dosen hingga kemudian memilih menetap di Indonesia sejak 2008 silam.
Dari 24 bab yang ada, bab ke-9 merupakan yang paling unik dan berbeda. Sebab, alih-alih sebuah tulisan serius dengan sumber data bejibun, bab ini salah satunya diisi dengan komik dari Aji Prasetyo yang berjudul Ingat Ronggo, Ingat Sentot, Ingat Peter Carey (hal: 147-166). Aji Prasetyo menceritakan pengalaman lapangannya melakukan penelitian dengan Peter Carey di Madiun.
ADVERTISEMENT
Goresan Aji Prasetyo memberi nuansa segar di tengah buku 608 halaman ini. Aji Prasetyo menceritakan kisahnya bersama Peter Carey yang berkunjung di Makam Ronggo Prawirodirjo III di Gunung Bancak. Terdapat satu dialog unik dalam komik Aji Prasetyo.
“Mas juru kunci, ini ada seorang peneliti yang ingin melihat makam, tolong sampeyan buka biliknya, ya?” Kata Aji Prasetyo.
“Oh, peneliti? Pantes. Saya pikir aneh saja, ada bule kok mau ziarah kubu,” jawab sang juru kunci.
“Hehe, bule kok ziarah kubur. Berarti dia bule NU! Aha,,,” sahut Aji Prasetyo.
Sebenarnya, Peter Carey bukan sekali itu saja ziarah. Dia sudah mengunjungi dan berziarah ke makam Pangeran Diponegoro di Makassar, begitu juga dengan makam keluarga dan para Laskar Diponegoro di berbagai daerah. Salah satu momen itu diabadikan Ki Roni Sodewo [halaman 114] pada tulisan di buki ini pada bab 7. Ki Roni Sodewo mengajak Peter Carey berziarah ke makam Pangeran Joyokusumo di Kabupaten Kulon Progo.
ADVERTISEMENT
Komik dari Aji Prasetyo akan memberi energi baru untuk melanjutkan halaman demi halaman, bab demi bab pada buku UIU. Termasuk tulisan Ahmad Athoillah pada bab 17 dengan judul Aktor dan Jaringan Pesantren di Jawa Tengah-Selatan Pasca-Perang Jawa. Pangeran Diponego, pada bab ini, disebut tumbuh menjadi seorang santri.
Pangan Diponegoro sejak kecil mendapat pengetahuan Islam yang memadai dari banyak guru dan berbagai pesantren. Dia menjadi santri lelono. Pangeran Diponegoro belajar tentang yurisprudensi Islam, teologi skolastik, nahwu saraf, dan tafsir Al Qur’an. Nantinya, jaringan pesanren yang dibangun Pangeran Diponegoro punya kontribusi besar sebelum, ketika, dan sesudah perang Jawa.
Ahmad Athoillah [halaman 360] menuliskan bahwa Pangeran Diponegoro mendapat dukungan besar dari para kiai pada Perang Jawa. Tidak kurang dari 108 kiai, 38 haji dan 15 syekh. Bahkan, jejaring keagamaan Pangeran Diponegoro juga melibatkan orang-orang Arab, Tionghoa Muslim. Tidak heran jika kemudian Perang Jawa juga disuarakan sebagai Perang Sabil.
ADVERTISEMENT
Tatkala Perang Jawa usai, yang ditandai dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro secara khianat oleh Jenderal Henderik Merkus de Kock pada Minggu 28 Maret 1930 di Magelang, tidak serta merta jaringan Islam Pangeran Diponegoro terputus. Mereka tetap menjalin jejaring, walau secara sembunyi-sembunyi. Salah satu pertanda yang dipakai sebagai ‘bahasa kode’ yakni pohon Sawo Kecik.
Bukan hanya di Jawa Tengah, pengaruh Pangeran Diponegoro, kata Peter Carey dalam sebuah diskusi di Malang (11 Oktober 2019), juga sampai ke Jawa Timur. Dari sisi budaya, ada Reog Bulkio di Nglegok [Blitar]. Lalu, dari sisi agama, ada sejumlah pesantren terkait dengan Pangeran Diponegoro yang tersebar di daerah Blitar dan Kediri.
Sumbangsih besar Peter Carey pada sejarah Indonesia akan dikenang dengan tinta emas. Peter Carey telah mendedikasikan hidupnya untuk ‘menghidupkan’ Pangeran Diponegoro lewat berbagai buku yang sudah ditulisnya. Jadi, kembali pada awal paragraph tulisan ini, tak layak kita melakukan gebyah uyah anti asing dalam literasi sejarah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Identitas Buku:
Judul: Urip Iku Urub: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey
Penerbit: Penerbit Buku Kompas (2019)
Editor: FX. Domini B.B Hera