Kebijakan Perpajakan Dalam Upaya Pemulihan Ekonomi Nasional

Andriyan Kristianto
Mahasiswa UMM
Konten dari Pengguna
6 Agustus 2022 14:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Andriyan Kristianto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pajak telah menjadi salah satu sumber utama penerimaan negara. Oleh karena itu, di tengah pandemi Covid-19 negara telah meluncurkan berbagai kebijakan fiskal untuk menangani perekonomian. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang berusaha untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan daya saing, meningkatkan reputasi dan efisiensi APBN, meningkatkan kemudahan berbisnis di Indonesia dan menjadi motor penggerak efisiensi dalam pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
APBN 2021 difokuskan untuk mendorong pemulihan ekonomi. Seperti yang kita ketahui bersama, anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pada tahun 2021 akan meningkat sebesar 21%. Anggaran ini akan difokuskan pada efektivitas pemulihan ekonomi di lima bidang prioritas, yaitu kesehatan, perlindungan sosial, program prioritas, insentif usaha, serta dukungan bagi UMKM dan pembiayaan korporasi.
Ada tiga masalah besar di sektor perpajakan di Indonesia. Pertama, pada tahun 2020 tarif pajak Indonesia hanya 8,94%. Hal ini menyebabkan Indonesia menempati peringkat ketiga terendah di kawasan Asia-Pasifik.
Kedua, daya apung fiskal (elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi) selama satu dekade adalah 0,83%. Potensi pajak 2019 untuk perorangan sebesara 58% tidak tertagih.
Ketiga, masalah terakhir sejak 2009 hingga sekarang yaitu target pemungutan pajak tidak pernah tercapai.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, yang jauh lebih penting adalah kepastian hukum perpajakan. Banyak pertanyaan muncul, apakah insentif ini benar-benar diperlukan? Hal ini dianggap penting karena akan meningkatkan kepercayaan investor ketika ingin berinvestasi. Ketika kita melanjutkan reformasi perpajakan, kepastian hukum perpajakan harus disebutkan terlebih dahulu.
Berhasil atau tidaknya sistem perpajakan ditentukan antara para pemangku kepentingan dalam merancang sistem perpajakan yang tepat untuk memecahkan masalah ekonomi masing-masing negara. Tentu sangat memprihatinkan, padahal pajak menyumbang hampir 80% dari penerimaan APBN.
Dari perspektif penegakan pajak, pemerintah memiliki ruang untuk tumbuh. Namun, jangan sampai kebijakan peningkatan penerimaan pajak berdampak negatif pada percepatan pemulihan ekonomi. Kritik dan saran terhadap pemerintah juga disorot. Pemerintah telah hadir dalam mengeluarkan insentif pajak selama pandemi. Namun, implementasinya dinilai kurang optimal karena beberapa alasan.
ADVERTISEMENT
Diantaranya adalah seringnya perubahan kebijakan, informasi yang kurang masif/membingungkan, dan persyaratan yang membingungkan atau memberatkan Wajib Pajak (WP). Untuk itu, perlu adanya hotline bagi para pelaku ekonomi. Kesulitan utama bagi entitas ekonomi adalah likuiditas, yang menyebabkan keterlambatan pembayaran pajak. Menurut perkiraan pelaku ekonomi, sanksi tersebut sebaiknya dihapuskan karena keterlambatan kewajiban perpajakan selama masa pandemi Covid-19 atau akibat amandemen pajak.
Apalagi penerapan PPN tentu sangat memberatkan pelaku ekonomi karena margin keuntungannya sangat tipis dan tidak masuk akal. Di sisi lain, para pelaku usaha perlu menjaga harga jualnya agar tetap kompetitif secara online dan offline. Dari sudut pandang agen komersial, sektor ritel tidak boleh dikenakan PPN tetapi harus dibebankan sebagai persentase dari pajak penjualan final. Hal ini akan memudahkan pengusaha dalam menghitung pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak.
ADVERTISEMENT