Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Lika-liku Penyelesaian KDRT di Indonesia
14 Desember 2022 20:43 WIB
ยท
waktu baca 3 menitTulisan dari Tya Iswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah salah satu kekerasan yang ada di sekitar kita, namun agaknya kurang mendapatkan perhatian serius untuk mengurangi jumlahnya. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), kasus KDRT per Oktober 2022 sudah terlapor 18.261 kasus dengan 16.745 korban yang merupakan perempuan (Metrotvnews.com). Data tersebut menurut Komnas Perempuan, menurun dibandingkan dengan dengan jumlah kasus terlapor pada tahun 2021 yaitu sebanyak 338.496. Bukan sesuatu yang patut kita rayakan karena jumlahnya masih banyak, dan kasus-kasus tersebut adalah kasus terlapor. Dengan kata lain, bisa jadi kasus KDRT jumlahnya masih sama banyak, hanya saja korban yang melaporkan semakin sedikit. Apa yang menyebabkan penurunan tersebut? KDRT adalah suatu bentuk kekerasan fisik, seksual maupun psikologis yang dilakukan oleh pasangan. KRDT bukan merupakan perilaku yang terjadi hanya sekali, namun bersifat siklus (Rodriguez dkk., 1999). Artinya perilaku KDRT berpotensi akan terjadi secara berulang kali pada korban. Namun, yang kerap membuat kita bertanya-tanya adalah mengapa korban KDRT yang telah disakiti berulang kali bisa tetap bertahan?
ADVERTISEMENT
Perlu kita pahami bersama bahwa proses manusia dalam mengambil keputusan sangatlah kompleks karena manusia adalah makhluk yang kompleks. Manusia memiliki faktor kognitif/pemikiran dan afektif/perasaan yang digerakkan oleh faktor internal (biologis, psikis) dan faktor eksternal (lingkungan sosial) di sekitarnya. Pertama-tama, jika ditinjau dari sisi individual atau internal, kondisi kita dan korban KDRT jelas berbeda. Kita adalah manusia yang tidak sedang mendapatkan kekerasan fisik/verbal/psikis/seksual, namun korban KDRT menerima satu atau lebih dari jenis kekerasan tersebut, terlebih dari orang yang mereka sayangi. Tentu muncul rasa tidak percaya terhadap apa yang sedang terjadi pada dirinya. Bagaimana mungkin orang yang mereka sayangi tega untuk melakukan hal tersebut pada mereka?
Di tengah-tengah peliknya rasa sakit dan pengkhianatan yang mereka rasakan, akankah mungkin bagi mereka untuk berpikir rasional secara langsung dan cepat? Kemungkinannya sangat kecil! Sederhananya, ketika kita sedang bersedih dan berduka, kita pasti tidak akan mampu memikirkan solusi yang tepat untuk menghadapi perasaan tersebut kecuali menangis, marah dan tidak terima. Kita akan melalui proses-proses emosional terlebih dahulu sebelum akhirnya dapat berpikir. Begitu pula dengan korban KDRT. Ada proses-proses yang harus mereka lewati dalam memahami apa yang sedang terjadi pada diri mereka. Suatu prinsip yang kurang lebih sama ketika seseorang sedang berduka ketika ditinggal pergi oleh orang yang mereka sayangi.
ADVERTISEMENT
Selain melihat dari sisi individual, kita juga harus memperhatikan faktor sosial di sekitar korban. Jangan-jangan ada suatu normalisasi dan tindakan yang mewajarkan KDRT sehingga korban akan merasa hal tersebut adalah hal yang wajar mereka dapatkan ketika berumah tangga? Lagi-lagi dalam hal ini, kita tidak bisa menyamakan lingkungan sosial yang ada di sekitar kita dan korban. Setiap manusia tumbuh dan berkembang dalam lingkungan sosial yang berbeda-beda. Bisa saja, korban KDRT sedari kecil melihat fenomena KDRT yang terjadi pada orangtuanya dan langkah kedua orangtuanya dalam menghadapi fenomena tersebut adalah membiarkan, mewajarkan dan menganggap hal tersebut adalah sebuah dinamika rumah tangga. Selain keluarga, lingkungan sosial lainnya seperti teman-teman, rekan kerja, tetangga dll, harus ditinjau juga. Mewajarkan perilaku KDRT membuat korban menganggap perasaan sakit dan terlukanya berlebihan, sehingga mereka kemungkinan akan menerima perilaku tersebut atau enggan untuk melaporkan perilaku KDRT kepada pihak berwajib. Sebuah ironi bagi suatu masyarakat dan negara yang mengaku menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan kolektivitas.
ADVERTISEMENT
Referensi :
Komnas Perempuan (2022, Maret 8). Bayang-bayang Stagnansi: Daya Pencegahan dan Penanganan Berbanding Peningkatan Jumlah, Ragam dan Kompleksitas Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan. Diakses pada 1 November 2022, dari https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/peringatan-hari-perempuan-internasional-2022-dan-peluncuran-catatan-tahunan-tentang-kekerasan-berbasis-gender-terhadap-perempuan
Metrotvnews.com (2022, Oktober 4). KemenPPPA Rilis Data Jumlah Kasus KDRT di Indonesia hingga Oktober 2022. Diakses pada 1 November 2022, dari https://www.metrotvnews.com/play/b2lCrdXL-kemenpppa-rilis-data-jumlah-kasus-kdrt-di-indonesia-hingga-oktober-2022#:~:text=Menurut%20data%20dari%20KemenPPPA%2C%20hingga,laki%20sebanyak%202.948%20menjadi%20korban.
Rodriguez, M. A., Bauer, H. M., McLoughlin, E., & Grumbach, K. (1999). Screening and intervention for intimate partner abuse. JAMA, 282, 468-474.