Merawat Kenangan

Tyas Ary Lestyaningrum
ibu rumah tangga, lulusan S1 Teknik Informatika, hobi nonton dan menulis, tinggal di Kabupaten Bekasi
Konten dari Pengguna
2 Januari 2022 16:03 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tyas Ary Lestyaningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
menikmati Ranca Upas, Kabupaten Bandung (dok.pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
menikmati Ranca Upas, Kabupaten Bandung (dok.pribadi)
ADVERTISEMENT
Akhir Desember kami biasanya meluangkan waktu untuk berlibur sekeluarga. Bukan, bukan dalam rangka menyambut tahun baru, tapi memang sudah di gariskan oleh Tuhan bahwa tanggal-tanggal itu adalah waktu senggang yang bisa kami manfaatkan berlibur bersama. Selain lebaran tentu saja.
ADVERTISEMENT
Tujuan utama biasanya adalah kampung halaman, namun tak selalu. Ada kalanya libur kantor suami harus berbagi dengan kawan-kawannya untuk standby, alias libur tapi siaga. Siapa tahu pekerjaan memanggil kapan saja.
Jadi masa-masa sedemikian kami memilih membangun quality time dengan bepergian ke tempat yang dekat-dekat saja. Dan Bandung selalu menjadi tujuan yang tak pernah membosankan.
Mulai dari kebun binatang sampai hutan rayanya. Dago pakar hingga kawasan pegunungannya. Berbagai kuliner dan factory outlet-nya. Oya, Bandung untuk kami adalah Bandung seluas-luasnya, bukan hanya Bandung kota, namun juga kabupatennya.
Apakah karena selalu ada yang baru di kota ini? Mungkin itu yang dilakukan anak muda, ada FO baru, ada wisata baru, ada kuliner baru yuk mari diserbu. Tapi untuk kami (khususnya saya dan suami) yang kami tuju justru tempat-tempat bersejarah tempo dulu. Masa-masa menyelesaikan perkuliahan, dan awal bekerja yang penuh perjuangan.
ADVERTISEMENT
Kami tak perlu ribet-ribet mencari resto baru untuk makan, cukup ketik di google map kata “Ampera”, maka rumah makan Ampera mana yang terdekat, itulah yang akan kami tuju. Dan meski sejenak, kami luangkan waktu untuk napak tilas ke kampus putih biru, yang belakangan menjadi putih merah itu.
Ada kalanya memang kami ke tempat-tempat baru, namun itu justru selingan sambil lewat, mumpung dekat, atau mengikuti kemauan anak. Tapi yang berbau-bau kenangan masa pejuang tak pernah ketinggalan, atau lebih tepatnya selalu diagendakan.
“Kenapa di sini sih Bund? “
“iya di sini dulu pertama ayah bunda makan bersama di Bandung Ndhuk"
“Dulu makan apa?”
“Kadang Pepes dan kadang babat”
Dan kami serempak tertawa. Menertawakan betapa kami harus hitung-hitung dulu uang di kantong, apakah cukup untuk mengambil lauk tambahan. Dan yang lebih miris adalah menertawakan beberapa menu favorit termasuk babat yang harus mulai dibatasi. Usia sudah terlalu cepat berlari. Kolesterol harus tetap terkendali.
ADVERTISEMENT
“Kalian suatu hari nanti akan mengerti, kalau sudah tua akan kembali ke tempat-tempat yang dikunjungi terutama di masa-masa perjuangan”.
Kedua anak kami manggut-manggut sambil menghabiskan isi piringnya.
Sesekali pertanyaan iseng dan jahil penuh rasa kepo keluar dari mulut mereka.
Dan ini juga bonusnya, waktu semacam ini memberikan kesempatan berbincang tentang perjuangan yang mau tak mau harus ditempuh. Karena memang kenikmatan tidak ada yang gratis, di tengah kemauan berjuang yang semakin menipis.
Di Ranca Upas kami sekeluarga menggigil, menikmati perkebunan teh dan celoteh anak-anak kecil berebut memberi makan rusa. Kami nyaris batal ke penangkaran rusa melihat mendung menggantung, nyaris tumpah air hujan. Namun tekad sudah terlanjur bulat, hujan pun tak menjadi soal.
ADVERTISEMENT
"Akhirnya bisa juga kasih makan rusa. Dulu bunda tidak sempet pas diospek."
"Oh gitu bund?."
"Iya Ndhuk, dulu bunda cuma lihat rusanya dari jauh. Sudah cukup lega bisa lulus ospek. "
Pengen kasih makan rusa bisa kapan-kapan. Dan kapan-kapan itu baru terwujud 23 tahun kemudian. Satu lagi poin penting, hidup perlu kesabaran. Waktu terbaik kita serahkan pada Tuhan.
"Besok kita ke FO kan bund?."
"Iya insya Allah."
"FO yang mana?."
Yang terpikir adalah FO masa itu, yang sedang hits puluhan tahun silam.
"Kita coba ke FO ini aja katanya lebih oke." Pak Suami menyebut sebuah nama FO setelah ngintip dari ponselnya. Kami paham benar anak gadis kami sedang senang-senangnya memacak diri.
ADVERTISEMENT
Bergegaslah kami ke sana. Sesampainya di tujuan ternyata tutup, gelap. Bapak dan anak saling pandang.
Dalam hati saya bergumam, memang yang paling aman ke yang pasti-pasti saja. Tak urung kami menuju FO favorit yang bukan hanya memanjakan mata, namun sekalian merawat kenangan lama.
Suatu saat nanti, barangkali anak-anak juga akan sering kembali ke sini. Siapa tahu mereka mengikuti jejak ibunya (diam-diam saya berdoa mereka bisa berkuliah di kota ini, semoga Allah berkenan) atau sekadar mengingat pernah menghabiskan waktu bersama orang tuanya. Di Bandung, yang tak pernah kehilangan daya pikatnya.