Konten dari Pengguna

Kontradiksi Posisi Seni di Mata Politik

Febby Sofiana Azharani
Mahasiswa Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Mulawarman.
30 September 2024 14:29 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Febby Sofiana Azharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
bagaimana seni dan politik berhubungan? cr: desain pribadi penulis
zoom-in-whitePerbesar
bagaimana seni dan politik berhubungan? cr: desain pribadi penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Agustus 2024 lalu, Indonesia digemparkan dengan kondisi politik yang kacau, terutama akibat munculnya revisi UU Pilkada oleh DPR terhadap putusan MK yang menimbulkan huru-hara di media sosial. Akibat hal ini, postingan berupa poster biru bertuliskan “Peringatan Darurat” dengan gambar Garuda Pancasila di bawahnya menjadi viral. Dimulai oleh Jurnalis Senior Najwa Shihab hingga pengguna-pengguna Instagram lainnya, postingan poster ini juga diikuti dengan hashtag berupa #KawalPutusanMK dan #TolakPolitikDinasti. Harapannya, dengan munculnya postingan ini mampu menjadi salah satu bentuk perlawanan dari masyarakat Indonesia terhadap pemerintah yang dianggap seenaknya membentuk peraturan demi keuntungan mereka.
ADVERTISEMENT
ANTARA SENI, MUSISI, DAN POLITISI
Ikut meramaikan seruan perlawanan ini, beberapa musisi Indonesia juga turut menyuarakan peringatan darurat di atas panggung musik. Beberapa di antara mereka ialah Hindia, Kunto Aji, Juicy Luicy, Isyana Sarasvati, GIGI, Nadin Amizah, hingga Baale alias Iqbaal Ramadhan. Hal ini menjadi gambaran bahwa musisi-musisi tanah air ikut khawatir mengenai kondisi politik Indonesia dan ingin menyuarakan mengenai perlawanan ini seluas-luasnya di kalangan masyarakat. Sayangnya, ternyata ada tindak pelarangan dari berbagai sumber bagi para musisi tanah air dalam menyuarakan peringatan darurat di atas panggung musik. Seperti yang diperlihatkan oleh Fiersa Besari melalui postingannya yang menunjukkan screenshot pesan dari panitia acara kepada manajernya yang meminta agar para performer tidak diperkenankan menampilkan unsur politik selama acara. Pelarangan ini kemudian memicu riuh protes dari para musisi.
ADVERTISEMENT
“Untuk memisahkan seni dari politik dan politik dari seni adalah upaya yang represif dan bodoh.” Begitu ungkap Nadin Amizah pada Instagram storynya bulan Agustus lalu terkait tindakan pelarangan tersebut. Lalu, mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa musisi-musisi tanah air mengalami represi terkait dengan krisis ini? Apakah memang seni dari politik mesti dipisahkan?
Padahal, sudah seringkali seni, terutama musik, digunakan untuk hal-hal berbau politik. Sebut saja seperti yang terjadi pada awal tahun 2024 lalu dimana kampanye-kampanye ketiga calon presiden dan wakil presiden digema-gemakan oleh musik-musik dari para musisi tanah air. Seperti Slank yang membuat lagu khusus berjudul “Salam Metal” sebagai bentuk dukungannya terhadap pasangan calon nomor urut 3, yakni Ganjar-Mahfud, hingga perubahan lagu koplo milik Abah Lala yang berjudul “Ojo Dibandingke” menjadi “Yo Musti Menang” sebagai hadiah untuk mendukung pasangan calon nomor urut 2, Prabowo-Gibran. Jika memang perlu adanya pemisahan antara aktivitas seni dan politik, lalu mengapa seringkali kampanye menggunakan musik dilakukan oleh para calon pejabat?
ADVERTISEMENT
Faktanya, seni memiliki kekuatan yang besar sebagai media penyampaian pesan karena kebolehannya dalam menggugah emosi dan menarik perhatian banyak orang. Seringkali, politisi menggunakan seni, terutama musik, sebagai alat kampanye karena dinilai efektif untuk mengumpulkan pendukung. Salah satu kelebihan seni yang membuat banyak politisi suka sekali menggandeng musisi atau membuat musik sebagai bentuk kampanye adalah karena cara penyampaiannya yang ringan dan mudah diterima. Sebut saja lagu Mars Perindo yang dulu seringkali tayang di televisi, bukankah lagunya begitu terngiang-ngiang? Bahkan, meski sudah lama tidak tayang, bisa saja masih ada yang ingat dengan melodi lagunya karena sudah melekat di kepala mereka. Atau seperti lagu kampanye Oke Gas Prabowo Gibran yang memiliki lirik catchy sehingga gampang melekat pada masyarakat yang mendengar lagu tersebut. Inilah kemudian yang menjadi kontradiksi dalam politik Indonesia mengenai seni, ketika masa kampanye, seni dan musik dipuji serta dipakai terus-menerus, akan tetapi ketika musisi hendak menyuarakan hal-hal yang bersifat kritis terhadap politik Indonesia, mereka malah direpresi dan dibungkam.
ADVERTISEMENT
SENI SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI POLITIK
Dalam konteks komunikasi dan meninjau melalui teori framing, seni seringkali digunakan oleh politisi sebagai media penyampaian pesan kepada masyarakat dengan cara yang lebih sederhana dan memikat emosi sehingga mudah diterima oleh masyarakat. Pesan-pesan politik yang rumit, ketika disampaikan ke dalam lirik lagu yang sederhana tentu mampu mempermudah masyarakat untuk memahami apa yang ingin disampaikan oleh politisi. Terlebih dalam lagu-lagu kampanye seringkali menggunakan irama yang membangkitkan rasa-rasa harapan dan persatuan sehingga menggugah emosi masyarakat yang mendengarnya. Inilah yang kemudian menjadi cara bagi para politisi untuk membentuk citra positif melalui seni sekaligus menjangkau khalayak yang lebih luas.
Penggunaan musisi sebagai ‘gandengan’ para politisi juga memungkinkan hadirnya pendukung baru yang berasal dari fans musisi tersebut. Meski tidak semua, tapi kecenderungan fans untuk mengikuti idola mereka tentu menjadi satu poin keuntungan lagi bagi politisi. Sayangnya, kembali pada kontradiksi antara seni dan politik, ketika seniman atau musisi mulai dianggap sebagai ancaman karena mengkritisi pemerintah, maka seni tidak lagi dianggap sebagai media yang membantu, melainkan sesuatu yang berbahaya bagi pemerintah.
ADVERTISEMENT
SENI SEBAGAI MEDIA KRITIK
Seniman, terutama musisi, memiliki peran yang mumpuni dalam menyuarakan ketidakpuasan hingga kritik sosial. Mulai dari munculnya lagu-lagu berisi protes terhadap kebijakan pemerintah dan fenomena yang terjadi, hingga munculnya lukisan-lukisan satir yang menyenggol pemerintah. Kritik berupa karya dari seniman-seniman ini kemudian berhasil membuat pemerintah jadi khawatir karena kekuatan seniman yang mampu memengaruhi persepsi dari banyak orang. Terutama ketika seniman tersebut telah memiliki platform dan komunitas mereka sendiri, tentu ini akan sangat mengganggu bagi para pemerintah.
Hal-hal ini kemudian bisa berujung pada terjadinya aksi represi dari pemerintah atau pihak-pihak lain terhadap kebebasan berkarya dari para seniman. Terdapat beberapa alasan mengapa pemerintah seringkali membungkam seniman yang melakukan kritik terhadap mereka melalui seni, antara lain:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
DAMPAK REPRESI UNTUK SENIMAN BAGI DEMOKRASI DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI
Indonesia merupakan negara dengan sistem pemerintahan demokrasi, yang artinya kebebasan berbicara di ruang diskusi atau ruang publik merupakan salah satu fondasi yang mesti diberikan kepada masyarakat untuk menciptakan sistem demokrasi yang sehat. Ketika pemerintah melakukan represi pada seniman yang tengah menyuarakan kritik, maka hal ini bukan lagi hanya sekadar soal seni, tapi pemerintah juga telah melukai fondasi dari demokrasi itu sendiri. Karena ketika represi atau tekanan itu dilakukan, maka pemerintah sama seperti tengah membatasi kebebasan masyarakat untuk berdiskusi serta berpendapat secara terbuka.
Selain melukai demokrasi, aksi represi oleh pemerintah ini juga dapat merugikan kebudayaan kebebasan berekspresi yang dimiliki oleh para seniman. Kebudayaan yang dimaksud di sini adalah keseluruhan ekspresi, nilai serta karya kreatif yang mencakup ide-ide kritis dari seniman. Apabila represi terus dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat, maka hal ini bisa menimbulkan ketidakbebasan bagi seniman untuk berkarya. Ini bisa berdampak pada hasil karya seniman yang dangkal, lebih ‘aman’, dan tidak merepresentasikan realitas sosial.
ADVERTISEMENT
KESIMPULAN
Kontradiksi yang melibatkan seni sebagai suatu media untuk menyampaikan pesan politik seringkali terpampang begitu jelas di politik Indonesia. Ketika masa kampanye, seni, terutama musik, banyak digema-gemakan sebagai media untuk menaikkan citra dan menyampaikan pesan politik dari politikus atau pemerintah kepada masyarakat. Namun ketika seni digunakan sebagai media untuk melakukan kritik, pemerintah cenderung menganggap seni sebagai ancaman yang bisa menjatuhkan citra mereka. Oleh karena itulah, pemerintah seringkali melakukan aksi represi pada seniman sebagai tindakan untuk menjaga citra dan mengendalikan persepsi publik terhadap mereka. Padahal, tindakan ini berpotensi mengorbankan budaya kebebasan berekspresi para seniman serta melukai demokrasi di Indonesia.
Menilik hal ini, maka seharusnya seni tetap memiliki ruang yang bebas dari tekanan politik dimana seniman memiliki hak untuk melakukan kritik terhadap pemerintah melalui karya mereka. Terlebih menjelang Pilkada serentak tahun 2024 ini, diharapkan tidak ada lagi kontradiksi terkait penggunaan seni, baik itu sebagai media komunikasi yang menaikkan citra pemerintah maupun sebagai media kritik dari seniman terhadap pemerintah.
ADVERTISEMENT