Akad Nikah di 'Era Corona', Bisakah Dilakukan Secara Online?

Suasana akad pada nikah massal di Bandung. Foto: Irfan Adi Saputra/ kumparan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi global. Pemerintahan beberapa negara, termasuk Indonesia, telah menetapkan protokol kesehatan dalam upaya pencegahan penyebaran COVID-19. Salah satu cara yang dinilai paling efektif adalah physical distancing (jaga jarak kontak fisik).

Kebijakan ini telah mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan, termasuk kehidupan keagamaan. Karakteristik ajaran Islam yang elastis memungkinkan terjadinya perubahan beberapa hukum agama dalam situasi terjadi wabah covid-19. الفتوى تتغير بتغير الزمان والمكان والأحوال والعوائد, begitu kaidahnya.

Fatwa terbaru para ulama, baik secara individu maupun lembaga, telah dikeluarkan. Mulai dari terkait penyelenggaraan ibadah seperti salat jemaah dan Jumat hingga pengurusan jenazah (tajhiz al-janazah).

Meski kebijakan physical distancing diterapkan, layanan publik terkait hajat masyarakat tetap diberikan pemerintah. Salah satunya pelayanan pencatatan nikah oleh KUA. Tentu dengan memperhatikan protokol kesehatan. Biasanya dihadiri, paling tidak, oleh kedua mempelai, dua orang saksi dan wali, serta kerabat keluarga.

Dengan demikian, petugas pencatat rentan tertular wabah Covid-19, sebab bersinggungan langsung dengan warga masyarakat. Di situ ada kerumunan masa, meski terbatas. Bahkan, jabat tangan dalam prosesi ijab kabul antara mempelai laki-laki dengan wali juga berpotensi menjadi media penyebaran virus.

Pencatatan peristiwa nikah tidak bisa ditangguhkan. Tetapi, keselamatan petugas pencatat nikah dan para pihak juga perlu diperhatikan. Apakah dimungkinkan prosesi akad nikah dan pencatatannya dilakukan secara online, melalui sambungan telepon atau aplikasi yang bisa menghadirkan para pihak dalam satu majelis dalam jaringan (online), seperti Skype atau zoom dan lainnya?

Fikih klasik belum pernah membahasnya. Teknologi informasi dan komunikasi saat itu blm secanggih sekarang. Di kalangan ulama fikih kontemporer terjadi perbedaan pendapat antara yang membolehkan dan yang melarangnya.

Akademi Internasional Fikih Islam (IIFA), sebuah lembaga fatwa di bawah OKI yang berpusat di Jeddah, dalam sidang ke-6 tahun 1410 H/1990 M, tentang transaksi/akad menggunakan teknologi komunikasi modern, membolehkan akad dilakukan tidak dalam satu majelis, di mana para pihak tdk saling melihat, selama komunikasi dilakukan dengan tulisan, isyarat, dan utusan. Ini berlaku juga untuk faksimile, komputer, dan lainnya. Akad tersebut dinilai telah memenuhi syarat ‘dilakukan dalam satu majelis’ (Ittihad al-majlis).

Meski demikian, ulama fikih IIFA tidak membolehkan untuk dilakukan pada akad nikah. Menurutnya, syarat kesaksian tidak terpenuhi dengan baik. Dalam fatwa tersebut dikatakan,

وباستحضار ما تعرّض له الفقهاء بشأن إبرام العقود بالخطاب وبالكتابة وبالإشارة وبالرسول، وما تقرر من أن التعاقد بين الحاضرين يشترط له اتحاد المجلس – عدا الوصيـة والإيصاء والوكالة – وتطابق الإيجاب والقبول، وعدم صدور ما يدل على إعراض أحد العاقدين عن التعاقد، والموالاة بين الإيجاب والقبول بحسب العرف.

قرر ما يلي:

أولاً: إذا تم التعاقد بين غائبين لا يجمعهما مكان واحد، ولا يرى أحدهما الآخر معاينة، ولا يسمع كلامه، وكانت وسيلة الاتصال بينهما الكتابة أو الرسالة أو السفارة ( الرسول )، و ينطبق ذلك على البرق والتلكس والفاكس وشاشات الحاسب الآلي (الحاسوب)، ففي هذه الحالة ينعقد العقد عند وصول الإيجاب إلى الموجَّه إليه وقبوله.

ثانياً: إذا تم التعاقد بين طرفين في وقت واحد وهما في مكانين متباعدين، وينطبق هذا على الهاتف واللاسلكي، فإن التعاقد بينهما يعتبر تعاقداً بين حاضرين، وتطبق على هذه الحالة الأحكام الأصلية المقررة لدى الفقهاء المشار إليها في الديباجة.

ثالثاً: إذا أصدر العارض، بهذه الوسائل، إيجاباً محدّد المدة يكون ملزماً بالبقاء على إيجابه خلال تلك المدة، وليس له الرجوع عنه.

رابعاً: إن القواعد السابقة لا تشمل النكاح لاشتراط الإشهاد فيه، ولا الصرف لاشتراط التقابض، ولا السلم لاشتراط تعجيل رأس المال.

Alasan ini boleh jadi bisa diterima 30 tahun yang lalu. Tetapi kini, dengan semakin canggihnya teknologi, kesaksian itu mudah sekali dipastikan. Apalagi bila para pihak (kedua mempelai, wali, dan saksi) telah saling mengenal. Suara dan gambar tampak jelas. Bahkan, tanpa jeda waktu dalam mengucapkan ijab-kabul.

Dalam fikih klasik ada jenis akad yang hampir mirip, seperti dijelaskan Imam al-Nawawi, yaitu akad jual beli antara dua orang yang berada di kejauhan tetapi saling mendengar suara meski tidak melihatnya. Dalam kitab al-Majmu (9/181) dikatakan, “jika keduanya saling berteriak dari kejauhan dalam akad jual beli maka sah hukumnya.”

“لو تناديا وهما متباعدان وتبايَعا، صحَّ البيع بلا خلاف"

Saat ini, tidak perlu ‘berteriak’ dalam akad, meski berjauhan. Teknologi komunikasi mendekatkan dan menyatukan yang berjauhan dalam satu majelis.

Dari sini, ulama sekaliber Musthafa Zarqa, Yusuf al-Qaradhawi, pendiri dan pemimpin tertinggi Persatuan Ulama Dunia Islam, dan Wahbah al-Zuhaili, membolehkan akad nikah dilakukan melalui sambungan telepon atau video call, atau lainnya, selama bisa dipastikan tidak ada penipuan/pemalsuan (melalui gambar atau suara), para pihak disatukan dalam satu majelis meski berjauhan secara fisik, sehingga shighat ijab-kabul didengar dengan baik dan para saksi mendengar dan melihat peristiwa akad antara wali dan calon suami.

Meski dibolehkan, kehati-hatian tetap diperlukan. Kebolehan ini tidak bisa diberlakukan seluas-luasnya. Al-dharuuratu tuqaddaru biqadriha. Hanya diperkenankan dalam situasi yang tidak memungkinkan para pihak untuk bertemu dalam satu majelis.

Penyebaran wabah Covid-19 dan kebijakan physical distancing dalam pencegahan bisa dipertimbangkan menjadi alasan untuk tidak melakukan akad nikah dalam satu majelis secara fisik. Bisa digantikan secara digital atau elektronik, sehingga bisa disebut e-nikah. Pencatat nikah berada di kantor, calon suami, wali dan para saksi berada di rumah masing-masing. Allah menghendaki kemudahan dlm beragama (QS. Al-Baqarah/2: 185), dan tidak ingin hamba-Nya membiarkan diri terjerumus dalam kebinasaan (QS. Al-Baqarah/2: 195). Simpel bukan? Selamat mencoba. Demikian, wallahualam.