Konten dari Pengguna

Sekulerisme dalam Kehidupan Beragama Masyarakat Jepang di Masa Modern

Udyana Sanaya Mutya
Mahasiswa semester 3 jurusan Bahasa dan Sastra Jepang di Universitas Airlangga.
20 Oktober 2024 17:29 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Udyana Sanaya Mutya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Oleh:

Udyana Sanaya Mutya

Bahasa dan Sastra Jepang

Fakultas Ilmu Budaya

https://pixabay.com/photos/temple-pagoda-japanese-japan-1841296/
Jepang termasuk salah satu negara yang memiliki sejarah panjang serta kaya akan tradisi terutama yang bernilai spiritual. Seperti kepercayaan Shinto dan Budha yang telah mengakar kuat dalam sejarah dan budaya Jepang. Meskipun kepercayaan yang berdiri secara dominan adalah Shinto dan Budha, rupanya banyak pula masyarakat Jepang yang mengaku dirinya tidak beragama. Namun, mereka tetap menjalankan tradisi dan ritual yang tidak lepas dari kehidupan mereka. Dalam artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana ritual dan tradisi Shinto dan Budha dalam kehidupan sehari-hari orang Jepang terlebih bagaimana penerapannya dalam masa modern saat ini.
ADVERTISEMENT
Shinto merupakan kepercayaan asli yang dimiliki oleh orang Jepang sejak dulu. Awalnya, kepercayaan tersebut tidak memiliki nama dan hanya berupa keyakinan yang berkonsep bahwa terdapat roh-roh yang bersemayam dalam setiap benda-benda yang berasal dari alam semesta ini. Masyarakat juga meyakini adanya suatu zat lebih besar yang menciptakan alam semesta, mereka percaya bahwa mereka harus menjaga kemurnian alam sebagai bentuk menghormati dan menghargai sang pencipta agar selalu diberi perlindungan. Selain Shinto, ada pula agama Budha sebagai sesama kepercayaan yang dominan dianut orang Jepang.
Meskipun agama-agama seperti Shinto dan Budha sangat erat dalam sejarah orang Jepang dan dianggap sebagai identitas utama, kedudukannya tidak lebih tinggi dari agama atau kepercayaan lain di Jepang. Shinto dan Budha berjalan bersamaan, kedua kepercayaan tersebut setara bersama kepercayaan lain yang ada seperti Kristen (agama-agama samawi), Shinsukyo, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan orang Jepang menganggap agama adalah bagian dari tradisi secara berkelompok maupun individual.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, dapat dikatakan bahwa orang Jepang tidak mau “ribet” dalam menjalani kehidupan beragama, mereka mengambil apa yang menguntungkan bagi kehidupan mereka. Hal ini dikarenakan tidak ada paksaan dalam beragama dan tidak berkewajiban untuk memeluk agama. Dalam kehidupan bermasyarakat, agama lebih dianggap sebagai budaya atau tradisi. Memeluk dua atau lebih agama merupakan hal yang wajar bagi orang Jepang. Ini karena agama asli mereka tetap dipertahankan walaupun muncul agama baru dan memeluk atau melaksanakan tradisi dan ritual agama yang baru. Namun, walaupun terkesan “tidak penting”, berbagai tradisi dan ritual keagamaan ini tetap diteruskan sebagai bentuk “penjaga tradisi”. Pada awalnya, Shinto hanya dianut oleh empat cendekiawan tertentu saja, namun praktik tradisi masih lancar dilakukan sebagai bagian dari kebudayaan itu sendiri seperti upacara pernikahan, kelahiran, kematian, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Fenomena kebebasan beragama ini ditandai muncul sejak zaman Meiji Ishin (Restorasi Meiji) pada tahun 1868 yang merupakan titik balik dari zaman Edo (1603-1867) yang cenderung menutup diri (sakoka) dan tidak terbuka (kaikoka). Restorasi ini dipicu saat Angkatan Laut Amerika Serikat, Komodor Perry tiba di Jepang menggunakan 4 kapal perang pada 1853 yang membawa surat dari Presiden Amerika Serikat, Millard Fillmore, yang meminta supaya Jepang membuka akses pelabuhannya untuk kapal-kapal Amerika. Dari sinilah dimulai modernisasi besar-besaran oleh rakyat Jepang. Pada masa Meiji, modernisasi atau juga disebut westernisasi dilakukan demi menghindari agresi dari negara-negara barat. Hal ini juga tak lepas dari pengaruh revolusi Prancis dan Inggris pada masa itu. Saat ini kebanyakan orang Jepang apabila ditanya agama mereka akan menjawab Budha karena dianggap merupakan agama nenek moyang mereka.
ADVERTISEMENT
Orang Jepang juga dikenal mencampurkan kebudayaan dari berbagai agama dalam kehidupan sehari-hari mereka. Seperti menerapkan tradisi Shinto dalam upacara kelahiran, menerapkan tradisi Budha untuk upacara pemakaman ketika meninggal, dan upacara pernikahan yang umumnya menggunakan cara adat orang Kristen. Yang setelah ditelusuri alasannya, ternyata ongkos pernikahan tradisi Shinto memakan lebih banyak biaya, maka dari itu mereka menggunakan cara pernikahan Kristen. Kapel yang terdapat di hotel-hotel Jepang biasanya digunakan untuk pernikahan, bukan sebagai tempat ibadah. Lalu pemakaman menggunakan ritual Budha dikarenakan Budha lebih memperhatikan keselamatan seorang individu dan menganggap orang meninggal itu suci, berkebalikan dengan Shinto. Sementara ritual Shinto sendiri lebih ke arah sosial seperti merayakan kelahiran, peresmian gedung, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Jepang dikenal memiliki tingkat toleransi beragama yang tinggi. Ini dikarenakan pemerintah mereka sendiri juga memberi kebebasan penuh dalam menganut agama. Di Jepang tidak ada pelajaran agama maupun departemen agama dan sebagainya. Agama dianggap hal yang sangat personal bagi orang Jepang. Pun tak lepas dari Shinto yang dianggap menjunjung tinggi kebebasan. Orang Jepang menerima ajaran baru tanpa membuang yang lama, karena kepercayaan lama dianggap lebih memahami kehidupan. Mereka mengaitkan aliran baru yang memiliki kedudukan sesuai dengan kebutuhan hidup. Kebutuhan ini bersifat duniawi.
Sebagai kepercayaan yang lebih dulu sudah ada, masyarakat Shinto pernah memberi penolakan dan bahkan sempat terjadi pergulatan terhadap masuknya Budha, sebelum akhirnya diterima lalu lahirlah paduan serasi antara dewa-dewa Shinto dan Budha. Budha memperluas dan memperdalam Shinto. Budha kemudian dianggap sebagai perwujudan atau manifestasi dari “kami” atau “dewa”. Itulah alasan mengapa secara faktual banyak orang Jepang yang berkunjung dan ibadah ke kuil Shinto juga pergi ke kuil Budha secara bersamaan. Bahkan ditemukan, banyak rumah-rumah di daerah pedesaan yang mereka memiliki tempat sembahyang Shinto sekaligus Budha. Tiap jinja (kuil) yang dianggap sebagai tempat tinggal kami juga terdapat fungsinya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Hal ini mengarah ke sekulerisme. Sikap yang cenderung sekuler ini berarti masyarakat Jepang tetap mengakui adanya Tuhan, namun mayoritas tidak tertarik ke ajaran tertentu. Terdapat setidaknya dua alasan yang ditemukan, yaitu dikarenakan keadaan geografis negara Jepang yang tidak sering mengalami bencana besar sejak beberapa generasi terakhir, sehingga mereka tidak terlalu peduli terhadap ajaran tertentu. Yang kedua, Shinto merupakan politheis, yaitu agama atau kepercayaan yang menyembah lebih dari satu dewa, maka dari itu, orang yang menganut cenderung lebih toleran terhadap aliran agama apa pun.
Dikarenakan saking tolerirnya, agama jadi semakin berkembang bahkan menjamur di mana-mana. Pun agama-agama dianut untuk memenuhi kebutuhan yang sesuai dengan kepentingan masing-masing. Oleh orang Jepang, agama tetap dijalani sebagai tradisi turun temurun, bukan sebagai konsep religius dan cenderung materialistik. Di zaman modern seperti saat ini, masyarakat Jepang percaya pada harmonisasi antar kami dan menaruh kepercayaan penuh. Mereka hidup sesuai petunjuk kami dan mengharapkan mendapat keuntungan yaitu perlindungan untuk keselamatan mereka. Orang Jepang tidak mengenal azab, tetapi adanya konsekuensi atas perbuatan mereka sendiri. Konsep Tuhan (kami) dan manusia sendiri dipahami seperti orangtua ke anak. Manusia dianggap sebagai anak Tuhan.
ADVERTISEMENT
Shinto memang lepas dari konsep agama dan batiniah, praktik tradisi dan ritual dilakukan tidak lebih dari sekedar untuk bersenang-senang dan juga sarana bersosialisasi. Tradisi mereka lebih mengacu kepada budaya dan lahiriya saja. Bagi orang Jepang sendiri, perilaku dan sopan santun lebih penting dari agama. Terdapat segelintir orang yang mengaku modern dan menganggap dirinya atheis, mereka sendiri kebanyakan berpikir bahwa agama mempersempit pola pikir sehingga merasa tidak perlu beragama.
Pada akhirnya, tanpa disadari masyarakat Jepang sendiri mencerminkan perilaku religius. Mereka sangat menjaga lingkungan dan menghormati alam sebagai ungkapan rasa beragama yang dalam. Orang Jepang sangat menghargai keharmonisan hubungan antar manusia dalam berbagai aspek. Didukung dengan kepercayaan Shinto yang mempercayai shinzenkan (alam semesta) dan benda-benda yang terdapat di alam semesta ini merupakan tempat berdiamnya para kami dan dewa. Sehingga mereka merasa memiliki kewajiban untuk menghormati dan menjaga serta hidup secara damai dengan alam.
ADVERTISEMENT

Referensi:

Herman, R. H. (2023). Kebutuhan Akan Pengakuan Agama Shinto Sebagai Salah Satu Agama Resmi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Sebagai Usaha Pemenuhan Hak Kebebasan Beragama Pemeluk Agama Shinto Di Indonesia. Jurnal Ilmu Sosial Dan Pendidikan (JISIP), 7(2), 1726–1733. https://doi.org/10.58258/jisip.v7i1.5022/http
Juita, & Amanda, T. (2023). Sejarah Agama Sinto dan Perkembangannya di Jepang. Jurnal Studi Agama-Agama, 9(2), 168–181. http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/
Syariah, F., & Medan, U. (2023). SEJARAH AGAMA SINTO DAN PERKEMBANGAN NYA DI JEPANG Zaidan Azmi , Andika Rahmad Siregar , Bagus Ramadi. 1(2).