Konten dari Pengguna

Biaya Mahal, Kuliah Batal

Sugyarto Mustakim
Direktur Jenderal Keb. Wilayah dan Nasional EM UB 2022
22 Agustus 2023 16:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sugyarto Mustakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi Lulus Kuliah Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi Lulus Kuliah Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Mengambil langkah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi merupakan cita-cita bagi banyak pelajar. Terutama bagi mereka yang baru saja menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA. Impian untuk kuliah di universitas sering kali menjadi tujuan yang sangat diinginkan.
ADVERTISEMENT
Nyatanya, upaya dan usaha saja belum cukup sebagai modal untuk dapat merasakan nikmatnya menimba ilmu di bangku kuliah bagi sejumlah calon mahasiswa. Faktor finansial menjadi hambatan yang mampu meredam segala usaha keras yang telah dilakukan agar dapat memakai almamater impian.
Lagi dan lagi, biaya menjadi permasalahan utama. Kenaikan biaya kuliah yang terjadi setiap tahunnya menjadi kabar buruk terutama bagi orang tua mahasiswa yang berada dalam kategori pendapatan menengah ke bawah.
Hasil analisis Kompas menjadi bukti atas narasi tersebut, analisis yang dilakukan bersumber dari data Badan Pusat Statistik yang membandingkan antara kenaikan biaya kuliah dari 30 kampus negeri dan swasta dengan kenaikan upah lulusan SMA dan universitas sebagai representasi kemampuan rumah tangga. Hasilnya upah orang tua tidak mampu mengejar kenaikan biaya studi. Walaupun dengan menyisihkan penghasilannya sebesar 20% selama 18 tahun.
ADVERTISEMENT

Ancaman Berbuah Kenyataan

Sumber: Shutterstock
Universitas Brawijaya (UB) menjadi contoh universitas yang kini ramai diperbincangkan di media sosial. Bagaimana tidak, terdapat calon mahasiswa baru yang dinyatakan lulus namun akhirnya memilih untuk mengundurkan diri. Sebanyak 513 calon mahasiswa mengundurkan diri. Di antaranya 430 berasal dari jalur Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) dan 83 lainnya dari jalur Seleksi Nasional berbasis Prestasi (SNBP).
Dalam aturan tersebut, diatur berapa jumlah golongan UKT yang harus dibayarkan oleh calon mahasiswa baru. Sebelum pertor tersebut berlaku, UB hanya memiliki 6 tingkatan golongan UKT. Namun, dengan adanya peraturan ini, terdapat penambahan 2 tingkatan golongan biaya yang berlaku untuk semua fakultas. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan biaya kuliah yang harus ditanggung.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, tujuan dari adanya pengelompokkan biaya UKT agar biaya kuliah dapat disesuaikan dengan kemampuan ekonomi orang tua mahasiswa. Konsep ini diharap dapat membantu meringankan biaya kuliah bagi mahasiswa. Namun, kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Pengelompokkan UKT yang semestinya dianggap sebuah solusi, malah berdampak sebaliknya.
Banyak mahasiswa yang merasa frustrasi karena golongan UKT yang ditetapkan tidak sesuai dengan kondisi ekonomi keluarganya. Dan hal ini masih menjadi keluhan yang sering terdengar. Bahkan, beberapa mahasiswa yang mencoba mengajukan bantuan keuangan seperti penurunan biaya, pembebasan sementara, pengangsuran, dan lain sebagainya masih menghadapi penolakan dari pihak kampus.
Alasan dari penolakan pun tidak dijelaskan secara transparan, dan tampaknya pihak kampus tidak berupaya mencari alternatif solusi yang dapat membantu mahasiswa agar tetap bisa melanjutkan pendidikannya.
ADVERTISEMENT
Padahal baru berlalu kurang dari 2 tahun sejak UB meraih status sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH), kebijakan terbaru yang diberlakukan sudah membuktikan prediksi yang sebelumnya telah ditegaskan oleh mahasiswa dan beberapa akademisi UB. Bahwa salah satu dampak ketika berstatus PTN-BH adalah kenaikan drastis biaya kuliah. Nahasnya kenaikan tersebut langsung menghantam mahasiswa baru.

Mempertanyakan Peran Negara

Sumber: Shutterstock
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan NKRI yang tertera pada pembukaan UUD 1945. UU NRI Tahun 1945 Pasal 31 Ayat (1) juga menegaskan bahwa, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dalam hal ini berarti negara memiliki kewajiban untuk memenuhi hak warga negaranya dalam pendidikan.
ADVERTISEMENT
Tentu ini tidak lepas dari peran pemangku kebijakan. Ketidakjelasan aspek yang dinilai saat menyusun regulasi. Faktor pertimbangan yang abstrak dalam menentukan kategori biaya. Serta mekanisme yang ambyar dilakukan ketika merumuskan regulasi. Merupakan segenap kecacatan yang dilakukan dan pada akhirnya akan menimbulkan biaya mahal dan tidak terjangkau.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sepertinya ada kesalahan dalam mengelola sistem pendidikan oleh para pembuat kebijakan, terutama mereka yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kini ruang pendidikan, utamanya kampus terlihat tak lebih dari “sekadar” perusahaan yang sedang berdagang (tempat bisnis). Pendidikan layaknya komoditas yang diperjualbelikan. Bahwa untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, harus memiliki banyak uang. Konsep semacam ini hanya akan melahirkan penyakit-penyakit kebodohan, kemiskinan, dan akan menimbulkan masalah besar bagi bangsa dan negara.
ADVERTISEMENT
Sekiranya, Paulo Freire berpendapat bahwa pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia. Sehingga, upaya keras perlu dilakukan oleh pemangku kebijakan untuk menata ulang konsep pendidikan.
Sudah waktunya pendidikan memiliki visi dan misi yang kokoh, tidak berganti-ganti seiring pergantian kabinet. Pendidikan Indonesia harus dibawa dengan sedemikian reformatif, transformatif dan pastinya mampu diakses oleh semua lapisan masyarakat, demi masa depan bangsa yang lebih baik. Bravo!