Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mahasiswa dalam Cengkraman Ideologi Pasar
20 September 2022 12:12 WIB
Tulisan dari Sugyarto Mustakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa merupakan suatu kebanggaan sekaligus tantangan. Tanggung jawab yang diemban oleh mahasiswa begitu besar. Sejalan dengan amanat UU nomor 12 Tahun 2012 mahasiswa ditempa menjadi kaum intelektual yang terdidik untuk memiliki visi, misi dan tujuan ideal dalam membangun bangsa. Bentuk perbuatan dan tingkah lakunya pun patut didasarkan pada kaidah ilmiah serta menggunakan akal pikiran yang jernih dan ekstensif.
ADVERTISEMENT
Sebagai insan yang dianggap memiliki intelektual dan cara berpikir yang matang, maka mahasiswa menjadi harapan bangsa dalam membawa perubahan kearah yang lebih baik. Selain itu, mereka juga diharapkan menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah. Lintasan sejarah menjadi bukti narasi tersebut. Tepatnya ketika mahasiswa dengan rakyat pro-demokrasi bergerak pada tahun 1966 hingga 1998. Gerakan 1966 dan 1998 yang menumbangkan rezim Sukarno pada tahun 1966 dan Suharto pada tahun 1998. Latar belakang aksi ini hampir dengan alasan yang serupa yaitu krisis politik dan ekonomi sehingga terjadi inflasi dahsyat yang mengakibatkan harga bahan pokok melambung tinggi. Aksi mahasiswa di dua tahun tersebut merupakan perjuangan bersejarah para mahasiswa dalam membela masyarakat kelas bawah atas kekuasaan yang sewenang-wenangnya.
ADVERTISEMENT
Namun saat ini, rasanya mahasiswa sudah kurang memahami kewajibannya kepada masyarakat, alih-alih, malah larut dalam kenyamanan status dan fasilitas. Tridharma Perguruan Tinggi sebagai tujuan dari pendidikan tinggi terkikis oleh invidualisme. Paradigma dominan yang beredar di kalangan mahasiswa sebagai insan akademik adalah “investasi masa depan atau identik dengan mencari kerja” Sederhananya, lulus cepat dan langsung lanjut kerja. Akibatnya pendidikan kini hanya di maknai secara sempit bahwa dengan berpendidikan tinggi maka akan semakin mudah menuju kesuksesan karena pekerjaan yang layak akan segera dituai (Mu’min. B, 2022). Sehingga, sering terjadi mahasiswa luput untuk mengaplikasikan peran pentingnya untuk mengabdi.
Kampus dan Pasar Tenaga Kerja
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, tentang sistem Pendidikan Nasional (SISIDIKNAS) mengamanatkan relevansi dan efisiensi pendidikan untuk untuk menghadapi tantangan ekonomi yang sesuai dengan perubahan global dan nasional. Tentu untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan pembaharuan secara terencana dan berkesinambungan melalui suatu kebijakan. kebijakan link and match menjadi salah satu yang dianggap alternatif. Sistem pendidikan link and match merupakan penggalian kompetensi yang berorientasi pada kebutuhan pasar kerja. Paradigma yang ditanamkan sistem link and match bukan lagi supply minded namun lebih kepada demand minded (kebutuhan pasar). Konsep link and match tidak sesuai dengan ideologi pendidikan, namun cenderung berorientasi pada ideologi yang pro terhadap pasar.
ADVERTISEMENT
Urgensi pembelajaran secara praktek di dunia kerja memang diakui bukanlah hal sepele. Langkah link and match dunia pendidikan dipandang sebagai salah satu solusi. Untuk itu, gencarnya proses linearisasi perguruan tinggi dan dunia kerja melalui program seperti magang merupakan salah satu manifestasi dalam rangka menyiapkan kapasitas pekerja yang diterima kualifikasinya di pasar tenaga kerja.
Sistem seperti ini yang menjadi tantangan serius bagi kalangan mahasiswa. Mahasiswa akan terbentuk menjadi apatis terhadap sekitar, berbondong-bondong jika itu urusan pribadi, namun berlarian jika urusan kolektif dan sekitarnya. IPK tinggi, magang/praktek kerja, lulus cepat dan langsung kerja menjadi tujuan dalam mengemban ilmu di perguruan tinggi.
Mungkin bagi mereka mahasiswa hanya punya dua kegiatan yaitu belajar dan banyak belajar. Belajar yang dimaksud yaitu kuliah. Datang untuk mendengarkan dan mengerjakan tugas, mendengarkan tanpa berisik, dan mengerjakan sesuai dengan keinginan dosen (Prasetyo. Eko, 2017). Pola yang yang seperti ini yang dikhawatikan akan mematikan lingkungan ilmiah di dalam kampus, tidak ada lagi perdebatan adu gagasan dan tidak ada lagi diskusi untuk mencari alternatif solusi atas kondisi yang terjadi pada masyarakat. Padahal sebagai masyarakat terpelajar mahasiswa mempunyai tanggung jawab moral dan intelektual dalam menguji suatu kebenaran dengan kemampuan akademisnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi mahasiswa saat ini berada pada tikungan yang rumit. kampus berada pada tekanan ekonomi global yang menuntut untuk beradaptasi. Mempersiapkan mahasiswa sebagai peserta didik yang dituntut memiliki bekal praksis untuk masuk ke pasar kerja melalui program yang telah disediakan. Efek seperti ini yang membawa mahasiswa disibukkan oleh banyak kegiatan akan tetapi tidak muncul banyak alternatif pemecahan masalah atas kondisi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Jebakan yang bisa membunuh kesadaran kritis dan pikiran progresif mahasiswa.
Sejatinya, yang perlu menjadi tugas prioritas kampus adalah mengembangkan watak intelektual dalam diri mahasiswanya. Bukan berusaha untuk meneguhkan kepatuhan sebagai sebuah kebajikan. Karena konsekuensi yang akan muncul hanya sedikit Mahasiswa yang berani melawan dan menentang segala sesuatu yang harusnya ditentang. Ketidakberanian itu lah yang harus dihilangkan dalam dunia pendidikan tinggi, karena ketakutan hanya akan menumbuhkan mental orang yang taat dan patuh atas penindasan yang terjadi. Padahal kampus mendidik kematangan seorang generasi muda untuk selalu percaya bahwa pengetahuan yang didapatkan bisa menjadi kekuatan yang dapat mengubah keadaan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, saya hanya berharap pada mahasiswa yang masih memiliki kesadaran untuk melakukan counter hegemoni terhadap permasalahan yang sudah mengakar di dalam kampus. Merawat nalar kritis dengan menggencarkan diskusi, membaca, dan menulis. Terkhusus di dalam kampus perlu adanya propaganda edukatif dan persuasif guna menarik simpati serta empati mahasiswa untuk tetap berada pada khittah perjuangan.