Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Obral Gelar Akademisi untuk Politisi
23 September 2022 14:57 WIB
Tulisan dari Sugyarto Mustakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam kurung waktu yang singkat, Universitas Brawijaya memberikan gelar kehormatan pada dua orang politisi sekaligus. Pertama, Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Beliau disematkan gelar Profesor kehormatan oleh Fakultas Pertanian UB pada 25 Juni 2022. Kedua, Surya Dharma Paloh, Ketua Umum Partai Politik Nasional Demokrasi (Nasdem). Berbeda dengan Siti Nurbaya. Surya Paloh sendiri disematkan gelar Doktor kehormatan yang diberikan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UB pada 25 Juli 2022.
ADVERTISEMENT
Pemberian gelar kehormatan yang hanya berjangka waktu sebulan ini tentu menimbulkan pertanyaan besar bagi kalangan mahasiswa Universitas Brawijaya, apalagi kedua orang ini merupakan politikus dari partai yang serupa: Nasdem.
Banyak yang beranggapan bahwa betapa mudahnya Universitas Brawijaya dalam memberikan gelar honoris causa bagi politisi. Padahal, persyaratan untuk mendapatkan gelar kehormatan bukan semata-mata tentang jabatan publik. Tetapi, seorang yang dinilai berjasa dan memiliki karya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia.
Melirik beberapa tahun kebelakang, ternyata pemberian gelar kehormatan pada politisi sudah kerap terjadi. Sebut saja, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri yang dianugerahkan profesor kehormatan oleh IPDN Jatinangor (2018). Tak mau kalah oleh ibunya, anaknya pun ikut memperoleh. Puan Maharani. Ketua DPR RI yang dianugerahkan gelar doktor kehormatan oleh UNDIP Semarang (2020). Dan tahun lalu yang sempat ramai diperbincangkan, Nurdin Halid yang dianugerahkan doktor kehormatan oleh UNNES Semarang (2021). Serta masih banyak politisi yang lain. Jika ingin tahu lebih jauh, silakan searching di google “Politisi yang mendapatkan gelar kehormatan.”
ADVERTISEMENT
Menyikapi fenomena yang rasanya sudah menjadi tradisi di Negeri ini, tentu menimbulkan sebuah pertanyaan. Mengapa penganugerahan gelar honoris causa kepada politisi sering kali terjadi? dan apa maksud dibalik pemberian gelar kehormatan tersebut?
Sekilas tentang honoris causa
Butuh beberapa tahun bagi seorang mahasiswa untuk memperoleh gelar akademik dari perguruan tinggi. Bukan hanya waktu, namun perlu menuntaskan semua kredit mata kuliah serta menyusun sebuah penelitian ilmiah sebagai syarat kelulusan. Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Untuk menyelesaikannya pun memerlukan energi dan biaya yang cukup besar. Belum lagi butuh pengertian dari keluarga jika harus jauh dari mereka.
Akan tetapi berbeda bagi seseorang yang dianggap berjasa terhadap bidang tertentu, mereka memiliki hak istimewa untuk mendapatkan gelar tanpa melalui proses yang panjang dan sulit. Gelar inilah yang dikenal sebagai gelar kehormatan (honoris causa).
ADVERTISEMENT
Honoris causa (HC) diberikan kepada seseorang yang dianggap telah memberikan jasa luar biasa bagi perguruan tinggi dan umat manusia. Diberikan oleh perguruan tinggi melalui proses seleksi tertentu dan atas persetujuan Menteri Pendidikan.
Mengutip dari hukumonline.com, UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pada pasal 72 ayat (5) mengatur tentang pemberian jabatan akademik profesor. Menteri dapat mengangkat seseorang dengan kompetensi luar biasa pada jenjang jabatan professor, atas usulan Perguruan Tinggi. Sedangkan, pada pasal 27 mengatur tentang pemberian gelar Doktor Kehormatan. Lebih lanjut, mekanisme Pemberian Gelar Doktor honoris causa (HC) tertuang pada Permenristekdikti No.65 tahun 2016.
Lintasan sejarah honoris causa
Universitas Oxford adalah perguruan tinggi yang pertama kali memberikan gelar honoris causa, diberikan pada tahun 1478. Lionel Woodville seorang uskup muda di Katedral Saint Peter adalah yang pertama menerima pemberian gelar tersebut. Oxford beralasan bahwa memberikan gelar pada Woodville merupakan suatu hal yang layak. Karena Woodville merupakan didikan Oxford yang dalam kesehariannya berkiprah dengan berbagai problematika gereja.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya karena alumni Oxford. Woodville juga memiliki kedudukan penting. dia merupakan anak turunan keluarga bangsawan yang kaya raya dan berpengaruh di Inggris, karena dia adalah ipar dari Raja Edward IV.
Selain memberikan gelar, Oxford juga menawarkan kepada Woodvile untuk menjadi chancellor (rektor). Bukan tanpa sebab. Oxford menawarkan jabatan rektor agar mendapatkan akses jaringan politik dan finansial dari kerajaan Inggris.
Atas keberhasilan yang dilakukan oleh Universitas Oxford, sepanjang abad 16 dan 17 pemberian gelar secara masif ditiru oleh berbagai macam institusi perguruan tinggi di Inggris. Perguruan tinggi kompetitif dalam memberikan gelar akademis kepada bangsawan dan orang-orang penting. Tercatat, mencapai angka 350 penganugerahan gelar doktor pada waktu itu. Namun, yang menjadi polemik bukan hanya besaran kuantitas. Orang-orang yang menyandang gelar pun merupakan mayoritas anggota pemerintahan Inggris yang sangat berpengaruh.
ADVERTISEMENT
Honoris causa di Indonesia
Mudzakkir, dkk (2020) dalam jurnal The Policy of Honoris Causa Doctorate in Indonesian Higher Education 2000-2020 menjelaskan bahwa Perguruan tinggi lebih tertarik menganugerahkan gelar honoris causa kepada politisi dan/atau pejabat publik ketimbang ilmuwan/akademisi.
Penerima gelar kehormatan dalam kurung waktu dua puluh tahun (2000-2020) di Indonesia cukup meningkat secara signifikan. Bahkan mencapai angka 100 orang. Lucunya yang mendapatkan previlege tersebut yaitu 72 Politisi dan hanya 28 akademisi.
Ketimpangan jumlah pemberian gelar kehormatan ini tentu menuai polemik dari kalangan mahasiswa dan akademisi. Tak sedikit yang berpendapat bahwa pemberian gelar honoris causa tidak berdasar pada kaidah akademis. Namun, syarat akan kepentingan antar elite politik dan elite kampus.
ADVERTISEMENT
Ketidakjelasan tolok ukur yang digunakan dalam pemberian gelar kehormatan, membuat kebijakan tersebut rawan dibalut dengan berbagai kepentingan. Sebab, dalam proses pemberian tidak semerta-merta menunjukkan bukti konkret atas jasa seperti apa yang telah diberikan oleh penerima. Bahkan, proses penilaian tidak berdasar pada prinsip transparansi dan akuntabilitas. Sehingga tidak dapat dinilai kepantasannya oleh khalayak untuk menyandang gelar tersebut.
Sebenarnya apa motif para elite politik berlomba-lomba menyandang gelar kehormatan? mungkin kah sebagai legitimasi? Bahwa selain berpolitik juga tidak melupakan kewajiban akademis? Mungkin saja.
Berbondong-bondong mengejar gelar. Padahal, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum tidak ada satu ayat pun yang mengatur bahwa syarat menjadi Wakil Rakyat atau Presiden sekalipun harus bergelar sarjana,magister, doktor, atau profesor. Oh iya, Ternyata segala cara memang perlu dilakukan untuk menarik simpati masyarakat. Hampir lupa. Apalagi musim Pemilu akan tiba.
ADVERTISEMENT
Pembaca yang budiman. Surya Paloh dan Siti Nurbaya mendapat gelar honoris causa menjelang Pemilu 2024 nih. Apa ada kaitannya yah? hehehe.
Bahaya obral gelar honoris causa
Meraih gelar doktor dan profesor tanpa kata "kehormatan" tentu perlu melewati berbagai tahapan yang tidak mudah dan sedikit. Perlu pengorbanan energi, waktu, pikiran, dan tenaga untuk dapat menyandang gelar tersebut. Waktu tempuhnya pun relatif lama. Belum lagi ketika tidak lulus, maka harus mengulang kembali. Betul-betul perjuangan dan pengorbanan.
Maka, sangat naif ketika pejabat, pengusaha, dan penguasa jika seenaknya menikmati gelar tersebut tanpa melalui proses yang berdarah-darah. Gelar doktor dan profesor seakan-akan menjadi sesuatu yang murah untuk didapatkan ketika diobral kiri-kanan oleh Universitas, Tanpa memperhatikan syarat-syarat akademis. Apalagi dengan memberikan gelar pada elite politik yang pernah terlibat kasus korupsi. Sungguh hanya akan melukai perasaan kalangan akademisi yang sedang bersusah payah untuk mendapatkan gelar tersebut.
ADVERTISEMENT
Kampus sebagai tempat untuk menyuburkan daya kritis dengan ditunjang asupan ilmiah, Sudah tentu harus berdiri kokoh dan menjaga integritasnya dengan tidak memihak pada apa pun (kecuali pada kebenaran). Saat Universitas sudah mudah dalam memberikan gelar honoris causa pada pejabat, penguasa, atau sejenisnya. Saat itu pula integritas akademik akan terkikis perlahan-lahan. Sebab kampus sudah mempersediakan dirinya sebagai tempat untuk melayani kepentingan.