Telaah Pengesahan UU Cipta Kerja dari Pandangan Paman Machiavelli

Sugyarto Mustakim
Direktur Jenderal Keb. Wilayah dan Nasional EM UB 2022
Konten dari Pengguna
6 April 2023 5:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sugyarto Mustakim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Istock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Istock
ADVERTISEMENT
Seteleh pengesahan KUHP kini Pemerintah dan DPR lagi-lagi kembali membuat kegaduhan di tengah masyarakat. Ulah yang dibuat pun bukan sesuatu yang baru. Ya, pengesahan perppu cipta kerja menjadi UU cipta kerja. Barang rongsok lama yang digali kembali lalu dimodifikasi dengan bentuk yang lebih bobrok dan rusak. Bentuk baru tetapi tetap sama merugikannya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2020 kemarin UU ini sempat menimbulkan gelombang protes yang begitu besar dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020. Namun, seperti yang telah kita duga, bukannya berupaya untuk memperbaiki justru pejabat negara malah bersekongkol untuk mengakali putusan MK tersebut. Ibarat ular, sangat licin dan lincah.
Tak sampai di situ, suasana ketika sidang pengesahan pun menjadi bahan perbincangan publik. Pasalnya ketika proses sidang berlangsung ada ribuan masyarakat yang melakukan aksi protes di depan kantor DPR.
Bukannya direspons dengan membuka ruang dialektika justru anggota dewan dengan asyiknya melanjutkan sidang. Lucunya, mayoritas menyatakan setuju ketika ditanyakan pendapatnya sebelum palu diketok hingga dinyatakan sah oleh pimpinan sidang, yaitu Ketua DPR sendiri.
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Kelakuan pejabat publik ini bukanlah pertama kalinya di Indonesia. Dalam kacamata Niccolo Machiavelli tindakan seperti ini merupaka sesuatu yang biasa. Beliau menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Il Principe bahwa fondasi utama dalam sebuah negara adalah pasukan dan undang-undang. Bukan hanya itu, undang-undang juga dianggap menjadi salah satu metode yang perlu dipahami oleh seorang pemimpin dalam berperang selain daripada kekerasan.
ADVERTISEMENT
Pemikiran paman Machiavelli bukanlah hal yang patut disepelekan. Pandangan tersebut didasari oleh pengalamannya sebagai seorang diplomat. Jika ditinjau dari sisi sosio historis, Il Principe merupakan karya yang disusun dari hasil pertemuannya dengan orang-orang hebat selama bertahun-tahun dan studinya terhadap kejadian-kejadian masa lalu yang dikemas dengan begitu teliti. Jadi sangat wajar apabila paman berpandangan demikian karena pemikirannya didominasi oleh pengalaman.
Berangkat dari pernyataan paman di atas. Undang-undang merupakan instrument yang memiliki pengaruh signifikan dalam mengontrol jalannya negara.
Karena pengaruh signifikannya tersebut maka undang-undang seringkali menjadi alat yang salah untuk digunakan, tertera dalam pendapatnya yaitu sebagai metode dalam berperang. Apalagi, ketika seorang pemimpin memiliki pasukan yang berpihak justru akan makin memperlancar untuk mencapai tujuan yang di inginkan.
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Melihat kondisi saat ini jika dikaitkan antara UU cipta kerja dan ajaran paman. Maka tak salah jika penulis menilai bahwa ada upaya penyalahgunaan kekuasaan dengan merekayasa sebuah produk undang-undang dengan tersistematis dilengkapi dengan pasukan yang baik untuk mendukung tercapainya suatu kepentingan tertentu.
ADVERTISEMENT
Kembali ke statement paman bahwa undang-undang dan kekerasan merupakan dua metode yang perlu dipahami oleh pemimpin dalam berperang.
Maka, UU cipta kerja layaknya sebuah undang-undang yang berbentuk sebuah senjata yang sewaktu-waktu dapat memakan korban. Salahsatunya membuahkan kekerasan berupa eksploitasi pada kaum pekerja di Indonesia.
Dalam Il Principe juga terdapat penjelasan bahwa pemimpin harus memiliki pemikiran fleksibel yang dapat berubah-ubah seperti angin. Tidak menyimpang dari apa yang baik, apabila mungkin. Namun, bisa saja melakukan kejahatan apabila diharuskan.
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Pendapat paman Machiavelli sangat relevan dengan pemikiran Bapak Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa manusia secara alamiah pada dasarnya memang mementingkan diri sendiri, kejam, haus kekuasaan, dan jahat. Bapak Thomas Hobbes menyebutnya sebagai Teori Watak Manusia.
ADVERTISEMENT
Jadi, tindakan yang dilakukan oleh pejabat negara mungkin saja merepresentasikan watak manusia yang berpikir secara fleksibel. Berkelakuan baik jika mungkin, tetapi ketika bicara soal kepentingan maka tindakan kejam pun akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya.
Beberapa literatur menjelaskan bahwa pemikiran Machiavelli yang dibungkus dalam bukunya tersebut merupakan strategi dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan cara apa pun. Bahkan paman disebut sebagai bapak para diktaror karena pemimpin tersohor dunia seperti napoleon, lenin, stalin, dan adolf hitler adalah orang-orang yang membaca karyanya dan bahkan menerapkan ajarannya.
Maka dari itu, tak berlebihan apabila penulis beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh pejabat dan pemimpin negara saat ini layaknya sebuah cerminan dari bentuk kekuasaan diktator. Menerapkan apa yang telah diajarkan oleh Niccolo Machiavelli. Membungkus sebuah kepentingan dalam bentuk produk hukum: UU Cipta Kerja.
ADVERTISEMENT
Undang-undang yang problematik, diselimuti dengan kecacatan, di protes oleh rakyat Indonesia. Tetapi dibangga-banggakan di luar dengan narasi mempercepat laju investasi dan pertumbuhan ekonomi. Luar biasa.
Terakhir, Paman Machiavelli menegaskan bahwa para bangsawan bermaksud untuk menindas, sedangkan rakyat betujuan untuk menghindari penindasan tersebut. Maka dari itu, bagi rakyat yang ingin menghindari sebuah penindasan, melawan adalah sebuah jawaban.