Konten dari Pengguna

Takhayul Vs Logika: Mengapa Takhayul Membuat Kita Kurang berpikir Kritis?

Ukir Mawadanti Z
Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII)
2 Desember 2024 17:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ukir Mawadanti Z tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/id/photos/lilin-labu-penyihir-tengkorak-1868640/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/photos/lilin-labu-penyihir-tengkorak-1868640/
ADVERTISEMENT
Takhayul telah menjadi bagian dari budaya manusia selama ribuan tahun. Kepercayaan ini muncul dari keinginan manusia untuk menjelaskan hal-hal yang belum dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan atau akal sehat. Meski zaman modern telah membawa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, takhayul masih bertahan dalam berbagai bentuk di masyarakat. Salah satu faktor yang memengaruhi kuat atau lemahnya kepercayaan terhadap takhayul adalah tingkat berpikir kritis seseorang atau masyarakat secara umum.
ADVERTISEMENT

Pengertian Berpikir Kritis dan Takhayul

Berpikir kritis kini menjadi salah satu topik yang semakin sering diperbincangkan, terutama di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Anak muda zaman ini dituntut untuk memiliki kemampuan berpikir kritis agar dapat menghadapi tantangan era digital. Namun, fenomena seperti maraknya media sosial, seperti TikTok dan reels Instagram, cenderung memengaruhi cara kita menyerap informasi. Konten video pendek yang membanjiri platform ini sering kali membuat kita terbiasa menerima informasi secara instan tanpa analisis mendalam, sehingga melemahkan kemampuan berpikir kritis.
Michael Scriven, seorang profesor di bidang ilmu perilaku dan organisasi dari Claremont Graduate University, mendefinisikan berpikir kritis sebagai proses intelektual yang disiplin, yang melibatkan kemampuan untuk secara aktif dan terampil merumuskan, menerapkan, menganalisis, mensintesis, serta mengevaluasi informasi. Dalam praktiknya, berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis informasi secara objektif, mengevaluasi argumen berdasarkan bukti, dan membuat keputusan yang logis.
ADVERTISEMENT
Individu yang berpikir kritis cenderung skeptis terhadap klaim yang tidak memiliki dasar yang kuat. Mereka akan mempertanyakan informasi yang diterima dan mencari bukti pendukung sebelum mempercayainya. Sebaliknya, takhayul—yang sering kali merupakan kepercayaan tanpa dasar ilmiah—justru bertolak belakang dengan prinsip berpikir kritis. Kepercayaan pada takhayul biasanya diwariskan melalui tradisi, mitos, atau asumsi yang diterima begitu saja tanpa analisis lebih lanjut.
Dalam dunia yang dipenuhi informasi instan, berpikir kritis menjadi kemampuan yang sangat penting. Tidak hanya untuk menghindari jebakan takhayul, tetapi juga untuk memahami dan memproses informasi secara bijak. Dengan berpikir kritis, individu dapat mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam dan membuat keputusan yang lebih rasional dalam berbagai aspek kehidupan.

Hubungan Antara Berpikir Kritis dan Takhayul

Kepercayaan terhadap takhayul sering kali mencerminkan rendahnya tingkat berpikir kritis seseorang. Orang yang kurang kritis cenderung menerima informasi apa adanya tanpa berusaha mengkaji kebenarannya terlebih dahulu. Hal ini terlihat dalam berbagai situasi sehari-hari yang menggambarkan bagaimana kepercayaan takhayul dapat menggantikan analisis logis dan rasional.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, jika seorang tetangga tiba-tiba memiliki mobil dan perabot rumah baru, sebagian orang mungkin langsung menghakimi bahwa tetangga tersebut memelihara tuyul. Mereka lebih mudah mengambil kesimpulan tersebut daripada mencari tahu bagaimana tetangga tersebut merencanakan keuangannya, mungkin melalui kerja keras, investasi, atau strategi keuangan yang cerdas.
Contoh lainnya adalah saat seseorang mendengar cerita tentang ruang kelas yang dianggap angker. Misalnya, pada suatu pagi, seorang mahasiswa yang datang lebih awal untuk mengerjakan tugas mendengar suara benda jatuh dari lorong dekat ruang kelas tersebut. Jika mahasiswa itu berpikir kritis, ia akan mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi—mungkin ada benda yang jatuh karena disenggol oleh kucing atau tikus. Namun, jika kurang kritis, ia mungkin langsung merasa takut, meninggalkan ruang kelas, dan menceritakan kepada teman-temannya bahwa ia mengalami kejadian mistis. Cerita ini kemudian menyebar dan memperkuat kepercayaan bahwa ruang kelas tersebut dihuni makhluk halus, padahal penjelasannya sangat logis dan sederhana.
ADVERTISEMENT
Takhayul juga sering menjadi alasan untuk menghindari refleksi dan evaluasi yang diperlukan dalam kehidupan profesional. Misalnya, jika seorang pemilik restoran melihat jumlah pengunjung berkurang drastis setelah awal yang ramai, ia mungkin lebih mudah percaya bahwa restoran tersebut telah "diguna-guna" sehingga auranya menjadi buruk. Pemikiran seperti ini mencegahnya untuk mengevaluasi faktor-faktor logis, seperti kualitas makanan, pelayanan, atau keberadaan kompetitor baru yang lebih menarik.
Kepercayaan terhadap takhayul menjadi salah satu hambatan dalam pengembangan kemampuan berpikir kritis. Ketergantungan pada hal-hal yang tidak berdasar sering kali menjadi pembenaran bawah sadar untuk menghindari proses analisis, evaluasi, atau pengkajian secara mendalam. Dengan kata lain, takhayul memberikan jalan pintas yang tampaknya nyaman, tetapi sebenarnya menghambat seseorang untuk berkembang dalam pemahaman dan pengambilan keputusan yang rasional.
ADVERTISEMENT
Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, seseorang harus belajar untuk tidak menerima segala sesuatu begitu saja. Mempertanyakan, menyelidiki, dan mencari penjelasan logis adalah langkah-langkah penting untuk melatih pikiran menjadi lebih kritis. Hal ini tidak hanya membantu seseorang untuk memahami dunia dengan lebih baik, tetapi juga melindunginya dari jebakan pola pikir yang tidak rasional, seperti kepercayaan terhadap takhayul.

Mengapa takhayul masih menjadi kepercayaan?

Meski berpikir kritis semakin penting, takhayul tetap bertahan dalam masyarakat modern. Beberapa alasan mengapa hal ini terjadi meliputi:

1. Kebutuhan Psikologis

Takhayul sering kali memberikan rasa aman atau kendali, terutama dalam situasi yang penuh ketidakpastian. Misalnya, seorang atlet mungkin merasa lebih percaya diri jika memakai "jimat keberuntungan."

2. Pengaruh Sosial

Dalam komunitas tertentu, takhayul menjadi bagian dari identitas budaya. Menolak takhayul bisa dianggap sebagai tindakan melawan norma sosial.
ADVERTISEMENT

3. Kurangnya Pendidikan Kritis

Di beberapa tempat, pendidikan yang mengajarkan berpikir kritis masih minim. Akibatnya, masyarakat cenderung menerima informasi yang salah atau tidak berdasar tanpa pertanyaan.

Meningkatkan berpikir kritis untuk mengurangi takhayul

Untuk mengurangi kepercayaan terhadap takhayul, penting untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis di masyarakat. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan:

1. Pendidikan yang Mendorong Skeptisisme Sehat

Sistem pendidikan perlu mengintegrasikan pelajaran tentang berpikir kritis, logika, dan metode ilmiah sejak dini.

2. Penyebaran Informasi yang Benar

Pemerintah dan media memiliki peran penting dalam memberikan informasi yang akurat dan melawan mitos atau hoaks yang beredar.

3. Diskusi Terbuka

Masyarakat harus diajak berdiskusi tentang tradisi dan mitos secara terbuka, tanpa merendahkan keyakinan orang lain, namun tetap menawarkan sudut pandang yang rasional.

4. Penguatan Literasi Digital

Di era informasi, literasi digital menjadi kunci untuk mencegah masyarakat terjebak dalam klaim tak berdasar yang tersebar luas di internet.
ADVERTISEMENT
Penulis: Ukir Mawadanti. Z, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia