Rimba yang Perlahan Menghilang

Konten dari Pengguna
10 Juni 2019 15:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ulfa Rahayu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hutan kawasan Taman Nasional Way Kambas. Foto: Aditya Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hutan kawasan Taman Nasional Way Kambas. Foto: Aditya Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Saat menunggu hujan reda untuk melanjutkan perjalanan ke markas ERU Tegal Yoso, saya berteduh di teras rumah warga. Tepat rumah terakhir sebelum wilayah kasawan, seorang kakek dengan ramah menyapa dan obrolan tentang gajah mengalir. Si kakek bercerita pernah melihat jejak kaki gajah super besar di dalam hutan, yang jika dia duduk bersila di atasnya masih tetap lebih besar jejaknya.
Saya yang penasaran bertanya “Mbah, ngapain masuk ke hutan?”
Si kakek menjawab, “Ya itu, nggesek,” jawabnya santai.
Si kakek pertama kali ke Lampung sekitar tahun 1965 dari Yogyakarta karena program transmigrasi pada zaman orde baru. Kakek yang tidak sabar dengan garapan lahannya yang tidak kunjung menghasilkan tergoda ajakan untuk masuk ke hutan untuk menggesek.
ADVERTISEMENT
Menggesek yang dimaksud Kakek adalah menebang pohon di dalam hutan. Ia diminta seseorang yang dia sebut ‘mandor’ untuk menebang pohon-pohon besar dengan bayaran Rp 500 per satu meter kubik.
Ia bersama satu tim berjumlah sekitar 15 orang akan diberitahu lokasi yang banyak kayunya oleh si mandor yang sudah lebih dulu melakukan survei.
Biasanya untuk menyelesaikan satu lokasi akan si Kakek akan tinggal di hutan selama satu bulan, makan tidur di situ, sampai kayu-kayunya habis, gundul. Setelah satu lokasi habis, lokasi baru akan ditentukan, terus begitu.
“Saya pernah itu merantau untuk menggesek sampai perbatasan Bengkulu,” cerita si Kakek
“Sekarang masih sering nggesek?” tanya saya.
Si Kakek menjawab, “Sekarang sudah tidak ada kayunya, habis.”
Padang ilalang di dalam kawasan Taman Nasional Way Kambas, terlihat sisa-sisa kebakaran hutan. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Dan memang begitu adanya yang saya lihat saat berkesempatan untuk berpatroli bersama tim Elephant Response Units Taman Nasional Way Kambas (ERU TNWK) selama seharian penuh.
ADVERTISEMENT
Awalnya, dalam bayangan saya, Taman Nasional Way Kambas adalah kawasan konservasi yang rimbun, penuh dengan macam-macam flora fauna. Tapi saat memasukinya bersama tim patroli ERU, keadaan berbeda.
Tutupan hutan sangat sedikit. Jarang sekali saya menemui tegakan pohon-pohon besar seperti di dalam film-film yang menggambarkan wilayah rimba. Mungkin jauh ke dalam keadaannya berbeda, bisa jadi lebih rimbun, saya belum tahu.
Tapi selama kurang lebih delapan jam berpatroli dari perbatasan hingga masuk lebih ke dalam, yang sering saya temui adalah semak-semak ataupun padang ilalang, bahkan ada sisa-sisa bekas kebakaran di beberapa padang yang kami lewati.
Menurut WWF, hampir 70 persen dari habitat gajah Sumatera telah dihancurkan dalam satu generasi. Hal ini menjadi salah satu alasan utama yang mendorong gajah untuk melakukan kontak yang semakin dekat dengan manusia.
ADVERTISEMENT
Termasuk si Kakek yang menghabiskan puluhan tahun masa mudanya dengan menggesek.
Dengan keadaan kawasan yang sudah tidak lagi rimbun ini, manusia masih tetap memaksa masuk dan mencuri. Jadi, kita tentu tak bisa marah jika penghuni rimba masuk ke permukiman dan balas mencuri.