Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Ketimpangan Evaluasi PAI di Sekolah: Mengapa Afektif dan Psikomotor Terabaikan?
27 April 2025 12:06 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Ulfah Salwa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran sentral dalam membentuk karakter peserta didik yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial. Di tengah arus globalisasi dan krisis moral yang kian nyata, urgensi pembelajaran agama di sekolah bukan sekadar pengisian pengetahuan, melainkan internalisasi nilai dan pembentukan kepribadian berakhlak. Namun, dalam praktiknya, evaluasi pembelajaran PAI seringkali masih terjebak pada dimensi kognitif belaka dan mengesampingkan penilaian terhadap aspek afektif dan psikomotor yang justru menjadi ruh dari pendidikan agama itu sendiri. Dalam kenyataan di lapangan, evaluasi pembelajaran PAI lebih banyak berfokus pada pengukuran kemampuan siswa dalam menjawab soal-soal pilihan ganda, esai, atau ulangan tertulis. Format evaluasi ini memang efisien, mudah dikoreksi, dan memberikan hasil yang objektif secara angka. Namun, dominasi pendekatan kognitif ini menimbulkan kekhawatiran: apakah siswa benar-benar memahami makna dari materi yang mereka pelajari, atau sekadar mampu mengingat dan menjawab soal dengan baik?
ADVERTISEMENT
Contoh konkret dari dominasi ranah kognitif adalah ulangan harian atau ujian akhir semester yang sering kali hanya menilai sejauh mana siswa menguasai fakta atau teori agama tanpa memberikan ruang bagi penilaian sikap dan tindakan. Seperti halnya banyak sekolah yang menyusun ujian PAI dengan soal yang hanya menguji hafalan siswa terhadap ayat-ayat Al-Qur’an atau hadis, tanpa menilai bagaimana siswa mengimplementasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam banyak kasus, siswa yang lulus ujian PAI dengan nilai tinggi mungkin saja tidak menunjukkan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama yang dipelajari. Padahal, jika merujuk pada taksonomi pembelajaran Bloom yang telah dikembangkan oleh
Krathwol dan Simpson, tiga ranah utama yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor perlu diintegrasikan secara seimbang dalam proses serta evaluasi pembelajaran. Ketimpangan dalam penerapan ketiga ranah tersebut dapat menyebabkan pendidikan tidak berjalan secara menyeluruh. Peserta didik mungkin unggul dalam penguasaan teori, namun lemah dalam sikap dan pengamalan nilai-nilai yang telah dipelajari.
ADVERTISEMENT
Dominasi arah kognitif ini tentu tidak bisa dipandang sebelah mata karena pengetahuan agama adalah hal yang sangat penting dan merupakan fondasi dasar dalam pembentukan kepribadian seorang Muslim. Namun, jika evaluasi hanya menilai pengetahuan semata, maka kita akan kehilangan esensi dari pendidikan agama itu sendiri. Selain ranah kognitif, PAI seharusnya juga mengembangkan ranah afektif dan psikomotorik. Ranah afektif berhubungan dengan pembentukan sikap dan perilaku, seperti keimanan, ketakwaan, kejujuran, kesabaran, dan lainnya. Sedangkan ranah psikomotorik berkaitan dengan kemampuan praktis atau keterampilan, seperti cara berwudhu, shalat, atau membaca Al-Qur’an. Namun, kenyataannya kedua ranah ini sering terabaikan dalam evaluasi pembelajaran PAI. Penilaian afektif sering kali hanya berupa penilaian umum atau observasi yang tidak sistematis dan tidak terukur dengan jelas. Misalnya, guru mungkin hanya memberi nilai berdasarkan kesan pribadi terhadap sikap siswa tanpa memiliki rubrik yang jelas atau standar yang dapat mengukur perubahan sikap secara objektif. Akibatnya, siswa yang memiliki sikap yang baik dalam kehidupan sehari-hari, seperti jujur, disiplin, dan sabar, bisa saja tidak mendapatkan penilaian yang layak karena tidak ada instrument yang mengukur hal tersebut secara spesifik.
ADVERTISEMENT
Begitu juga dengan ranah psikomotorik yang sering terpinggirkan. Kegiatan seperti praktik ibadah misalnya, wudhu, shalat, dan keterampilan membaca Al-Qur’an, serta pengamalan nilai-nilai Islam dalam bentuk tindakan nyata tidak jarang diabaikan dalam ujian atau evaluasi. Meskipun kegiatan ini sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim, mereka sering kali hanya dilihat sebagai aktivitas tambahan atau tidak cukup penting untuk diukur dalam evaluasi formal. Dalam banyak kasus, siswa yang hafal banyak ayat Al-Qur’an atau dapat menjawab soal-soal agama dengan tepat, namun tidak mampu mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, bisa dianggap berhasil dalam evaluasi meskipun sesungguhnya mereka tidak menginternalisasi nilai-nilai agama secara mendalam.
Salah satu alasan penting mengapa ranah afektif dan psikomotorik seharusnya mendapat perhatian lebih besar dalam evaluasi pembelajaran PAI adalah karena output utama dari PAI itu sendiri adalah perubahan pada ranah afektif. Sebagaimana kita ketahui, tujuan utama dari PAI adalah untuk membentuk karakter peserta didik yang beriman, berakhlak, dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan mereka. PAI bukan hanya tentang apa yang diketahui siswa tentang agama, tetapi lebih kepada bagaimana mereka menginternalisasi ajaran agama tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dalam hal ini, aspek afektif menjadi sangat krusial karena ia mencakup perubahan sikap dan perilaku, yang merupakan cerminan sejati dari pendidikan agama. Jika siswa hanya menguasai pengetahuan tentang agama tanpa merasakan perubahan pada sikap dan perilaku mereka, maka tujuan PAI itu sendiri tidak akan tercapai dengan maksimal. Sebagai contoh, seorang siswa mungkin dapat menjawab soal tentang pentingnya kejujuran dalam Islam, namun apakah ia benar-benar menunjukkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari?
ADVERTISEMENT
Pendidikan agama seharusnya menilai sejauh mana nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, empati, dan tanggung jawab telah diterapkan dalam diri siswa, bukan hanya dinilai berdasarkan hafalan atau pengetahuan teoretis. Pendidikan agama yang seutuhnya adalah pendidikan yang melibatkan perubahan hati, pikiran, dan tindakan. Oleh karena itu, evaluasi pembelajaran PAI harus lebih dari sekadar mengukur pengetahuan siswa. Evaluasi harus melibatkan pengukuran terhadap bagaimana siswa mengaplikasikan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana mereka mengamalkan nilai-nilai yang telah dipelajari dalam konteks sosial mereka, serta bagaimana perubahan sikap mereka tercermin dalam tindakan nyata. Ketimpangan ini tidak hanya berdampak pada kualitas evaluasi, tetapi juga pada hasil pendidikan agama itu sendiri. Jika evaluasi hanya berfokus pada pengetahuan, maka siswa akan cenderung belajar untuk mendapatkan nilai, bukan untuk memahami dan mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan mereka. Pembelajaran agama yang ideal seharusnya tidak hanya mengajarkan siswa apa yang harus diketahui, tetapi juga bagaimana mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam tindakan nyata. Tanpa evaluasi yang mencakup afektif dan psikomotorik, siswa hanya akan menganggap agama sebagai sekadar materi ujian yang harus dipelajari, tanpa ada keterikatan emosional atau tindakan yang mengamalkannya. Lebih parah lagi, ketimpangan dalam evaluasi ini dapat menyebabkan siswa menjadi sekadar "penghafal" agama yang tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama itu sendiri. Mereka mungkin menguasai ayat-ayat Al-Qur’an, hadis, atau teori-teori dalam Islam, tetapi tidak mengamalkan ajaran tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan utama dari PAI, yaitu membentuk individu yang tidak hanya cerdas dalam pengetahuan agama, tetapi juga baik dalam akhlak dan mampu mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi ketimpangan ini, kita membutuhkan suatu perubahan paradigma dalam evaluasi pembelajaran PAI. Evaluasi harus mencerminkan tujuan utama dari pendidikan agama itu sendiri, yaitu membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, evaluasi PAI harus mencakup ketiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik, secara seimbang. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah evaluasi autentik (authentic assessment). Evaluasi autentik berfokus pada pengukuran kemampuan siswa dalam situasi yang nyata atau kontekstual, yang mencakup pengetahuan, sikap, dan keterampilan mereka dalam mengaplikasikan apa yang telah dipelajari. Misalnya, selain memberikan ujian tertulis, guru dapat menggunakan portofolio, proyek, observasi, atau penilaian berbasis tugas yang mengukur kemampuan siswa dalam mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Evaluasi terhadap keterampilan membaca Al-Qur’an dapat dilakukan dengan meminta siswa untuk melaksanakan ibadah tersebut di depan guru atau teman sekelas, dan memberikan penilaian berdasarkan kebenaran pelaksanaan serta sikap mereka selama ibadah tersebut. Begitu juga dengan evaluasi terhadap sikap siswa, yang bisa dilakukan melalui observasi terhadap perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari, seperti bagaimana mereka menunjukkan kejujuran, kedisiplinan, atau kepedulian terhadap sesama. Selain itu, evaluasi terhadap keterampilan membaca Al-Qur’an dapat dilakukan dengan meminta siswa untuk membaca beberapa ayat di depan guru, dan memberikan umpan balik mengenai tajwid, intonasi, serta pemahaman mereka terhadap ayat tersebut. Dengan pendekatan evaluasi autentik ini, hasil evaluasi tidak hanya mencakup seberapa banyak siswa menghafal, tetapi juga seberapa jauh mereka mengamalkan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam ibadah maupun perilaku yang mencerminkan nilai-nilai Islam.
ADVERTISEMENT
Evaluasi ini akan memberikan gambaran yang lebih utuh dan komprehensif tentang perkembangan karakter dan kepribadian siswa. Tentunya, implementasi evaluasi yang lebih holistik ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Guru perlu diberikan pelatihan dan pendampingan dalam menyusun instrumen penilaian yang mencakup ketiga ranah tersebut. Guru juga perlu diberikan ruang untuk berinovasi dalam merancang metode evaluasi yang lebih kreatif dan kontekstual, yang bisa mencakup penilaian berbasis proyek, portofolio, atau tugas yang mengukur sikap dan keterampilan siswa. Kepala sekolah juga berperan penting dalam menciptakan budaya evaluasi yang holistik dengan mendukung guru dalam mengembangkan pendekatan evaluasi yang lebih menyeluruh dan tidak hanya terfokus pada ujian tertulis. Kebijakan pendidikan yang mendukung penggunaan berbagai instrumen penilaian yang mencakup ketiga ranah tersebut juga sangat diperlukan untuk memastikan bahwa evaluasi pembelajaran lebih mencerminkan tujuan sejati PAI.
ADVERTISEMENT
PAI memiliki tujuan yang luhur, yaitu untuk membentuk manusia yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, evaluasi dalam PAI tidak cukup hanya berfokus pada pengukuran pengetahuan agama semata, tetapi harus mencakup penilaian terhadap sikap dan tindakan siswa dalam mengamalkan ajaran agama. Ketimpangan yang terjadi dalam evaluasi, yang lebih mengutamakan penilaian kognitif daripada afektif dan psikomotorik, perlu segera diatasi dengan pendekatan evaluasi yang lebih holistik dan autentik. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan utama PAI, evaluasi pembelajaran harus mencakup seluruh aspek perkembangan siswa, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penilaian yang seimbang dan autentik akan memberikan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai pemahaman dan pengamalan ajaran agama oleh siswa. Hal ini tidak hanya akan menghasilkan individu yang berpengetahuan agama saja, tetapi juga memiliki akhlak mulia dan mampu menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, perlu adanya pergeseran paradigma dalam evaluasi PAI, dari yang hanya mengutamakan pengetahuan ke pendekatan yang lebih holistik dan berorientasi pada perubahan karakter siswa.
ADVERTISEMENT