Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Ketegangan Energi Iran vs Arab Saudi
11 April 2025 14:45 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Ulfianti Ulf tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak mengenal Arab Saudi? Selain menjadi negara yang dikunjungi umat muslim dunia untuk menjalankan haji dan umroh, negara ini juga menjadi negara eksportir minyak dan produser energi global. Minyak masih menjadi komoditas yang paling diminati dan sumber pemasukan bagi devisa negaranya yang terus memanfaatkan eksistensi atas cadangan gas alam untuk menopang pertumbuhan ekonomi di negara tersebut.

Energi menjadi Bagian dari Arab Vision 2030
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2016, Pemerintah Arab Saudi yaitu Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud meluncurkan sebuah blueprint “Arab Vision 2030” . Blueprint tersebut seringkali disebut sebagai ambisi Arab Saudi untuk membangun masa depan negaranya yang cerah dengan cara mendiversifikasi ekonomi, memberdayakan warganya, serta menciptakan lingkungan yang dinamis baik internal maupun eksternal atau biasanya ketiga cara tersebut disebut sebagai three pillars of Arab Vision 2030. Berbagai proyek dan strategi nasional Arab Saudi dilakukan tahap per tahap yang berlandaskan pada Arab Vision 2030 guna untuk memajukan negaranya dengan mendapatkan profit. Salah satu cara mendiversifikasi ekonomi ala Arab Saudi adalah memfokuskan terhadap melokalisasi sektor energi terutama energi terbarukan, seperti yang dicantumkan dalam blueprint tersebut Pemerintah Arab Saudi ingin membuat kota baru yang nantinya akan didedikasikan untuk energi serta membangun jaringan gas nasional (Kingdom of Saudi Arabia, n.d.).
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Arab Saudi tak ingin ketinggalan dalam mengimplementasikan sumber energi terbarukan dengan menetapkan target awal sebesar 9,5 gigawatt energi terbarukan (Kingdom of Saudi Arabia, n.d). Angka tersebut menjadi sebuah optimisme bagi Pemerintah Arab Saudi untuk mengembangkan potensi energi melalui tenaga surya dan angin, energi lokal yang diprediksi akan meningkat tiga kali lipat di tahun 2030. Energi terbarukan akan terus menjadi komitmen Pemerintah Arab Saudi dalam beberapa tahun terakhir hingga 2030 tiba, Pemerintah Arab Saudi memaparkan di dalam blueprint Arab Vision 2030 :
ADVERTISEMENT
Seruan untuk berkolaborasi dan menjalin kemitraan menjadi salah satu kunci Pemerintah Arab Saudi untuk mendukung keberhasilan diversifikasi ekonominya pada sektor energi terbarukan, karena melihat negara - negara lain saat ini juga sudah gencar dalam menerapkan energi terbarukan dan beberapa kasus di negara lain juga sudah ada national policy yang mengatur tentang energi terbarukan.
Ketegangan Energi Dimulai
Mayoritas negara di Timur Tengah memang dikenal sebagai negara penghasil minyak sebagai sumber komoditas bagi devisa negaranya. Iran maupun Arab Saudi telah menjadikan gas alam sebagai sumber energi bagi kedua negaranya. Dengan adanya persamaan tersebut justru menjadi sebuah kompetisi kedua negara dan menimbulkan permasalahan geopolitik di Timur Tengah yaitu ketegangan energi antara Iran dan Arab Saudi. Dilansir melalui European Policy Centre terdapat 2 faktor yang menyebabkan ketegangan tersebut terjadi, yang pertama ialah perjanjian nuklir 2015. Dimulai pada tahun 2010, Amerika Serikat dan Uni Eropa telah menjatuhkan sanksi kepada Iran dengan menurunkan produksi dan ekspor minyak Iran, menghambat pertumbuhan produksi gas alam, dan mencegah ekspor LNG. Sanksi tersebut menjadi sebuah hambatan yang besar bagi Iran dan semakin berkurangnya perusahaan asing di Iran. Faktor kedua, adanya penurunan harga minyak. Sejak pertengahan tahun 2014 harga minyak per barel menurun sangat tajam sehingga mendorong para negara produsen minyak untuk bersaing dalam mempertahankan harga minyak sesuai dengan pangsa pasar. Arab Saudi dikala kondisi tersebut, tetap bertahan sesuai dengan harga pangsa pasar dengan tidak memotong produksi minyaknya, berbeda dengan Iran yang dimana Iran mengeluarkan kebijakan “ekonomi perlawanan” meskipun saat itu masih dijatuhkan sanksi, dihadapkan dengan ketidakstabilan finansial yang dialami sekitar tahun 2011 - 2012 (Jalilvand, 2016).
ADVERTISEMENT
Bagaimana Setelahnya?
Ketegangan energi antara Iran - Arab Saudi kian memanas pasca dijatuhkannya perjanjian nuklir tahun 2015 kepada Iran. Ketegangan tersebut mengundang perhatian beberapa aktor negara seperti Uni Eropa yang dimana Uni Eropa memiliki potensi untuk menengahi ketegangan tersebut selama Iran tidak melanggar sanksi yang telah dijatuhkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa. Potensi Uni Eropa sebagai mediator juga diambang batas dilema karena biaya impor minyak maupun energi dari Iran semakin berkurang, tetapi disisi lain dengan adanya melemah harga minyak dapat merugikan produksi dalam negeri Eropa dan akan meningkatkan ketergantungan negara - negara Eropa ke negara produsen minyak lainnya, salah satunya Rusia.
Langkah selanjutnya, Iran - Arab Saudi masing - masing mencari solusi untuk mengatasi permasalahan harga minyak yang melemah selama ketegangan tersebut. Arab Saudi mulai mendekatkan diri kepada negara di Asia Timur dengan memperkuat hubungan bilateralnya dengan Tiongkok, sebagaimana negara tersebut merupakan importer minyak dari Arab Saudi. Iran tidak hanya diam saja ketika Arab Saudi mengambil langkah tersebut, Iran memanfaatkan produksi sektor gas alam untuk di ekspor ruang lingkup regional ke Timur Tengah lainnya dan secara strategis bisa memperkuat posisi Iran . (Jalilvand, 2016)
ADVERTISEMENT