Konten dari Pengguna

Pemberian Hadiah dalam Pelayanan Publik: Pertentangan Antara Budaya dan Etika

Ulil Abshor Ramadhani
Mahasiswa Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
27 Desember 2020 7:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ulil Abshor Ramadhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber:Penulis
zoom-in-whitePerbesar
Sumber:Penulis
ADVERTISEMENT
Sebagai objek dari penyelenggaraan pelayanan publik, apakah masyarakat perlu berterima kasih atas pelayanan yang diberikan? Jika iya, sejauh mana masyarakat merasa perlu berterima kasih atas layanan yang telah didapatkan? Apakah hanya dengan kata-kata? Atau dalam bentuk hadiah (uang atau benda)? Menelisik lebih jauh lagi, apakah perilaku berterima kasih dalam pelayanan publik merupakan sebuah budaya yang telah terbentuk di masyarakat? Lalu, bagaimana etika memandang perbuatan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan isu yang selalu hangat untuk diperdebatkan ketika membahas mengenai praktik pemberian hadiah sebagai ungkapan terima kasih dalam pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
Menurut teori perspektif interaksionis yang dikembangkan oleh sosiolog bernama George Herbert Mead (1934), budaya merupakan perilaku bersama sebagai hasil dari keanggotaan individu dalam suatu kelompok sosial. (Mustafa, 2004). Jika merefleksikan kepada perilaku pemberian hadiah sebagai bentuk terima kasih pada pelayanan publik dengan teori yang dikembangkan oleh Mead, dapat kita simpulkan bahwa perilaku pemberian hadiah sebagai ungkapan terima kasih kepada penyelenggara pelayanan publik sebagai perilaku yang telah menjadi budaya di masyarakat. Hal tersebut dikarenakan masyarakat sudah menganggapnya sebagai sebuah kewajaran. Meskipun tidak semua anggota masyarakat melakukan perilaku pemberian hadiah sebagai ungkapan terima kasih dan menganggapnya sebagai sebuah perilaku menyimpang, tetapi perbuatan tersebut secara sadar diketahui oleh masyarakat sebagai sebuah perilaku yang tumbuh dan berkembang di masyarakat sejak lama. Salah satu contoh kasus yang dapat mendukung anggapan tersebut adalah terkait himbauan yang dikeluarkan oleh Walikota Bogor, Bima Arya larangan kepada masyarakat untuk memberikan uang tip atau imbalan kepada petugas yang mengurus penyaluran bantuan sosial terkait Covid-19. (Maharani, 2020). Contoh tersebut mengindikasikan masih maraknya perilaku pemberian hadiah dalam pelayanan publik yang dilakukan oleh masyarakat dalam proses pelayanan publik. Jika praktik tersebut terus berlanjut, hal ini bisa menjadi masalah yang serius bagi citra pelayanan publik di Indonesia karena secara tidak langsung masyarakat tengah memupuk kegiatan pemberian hadiah kepada pelayan publik untuk dijadikan sebuah budaya yang terbentuk oleh masyarakat. Kecenderungan ini pada akhirnya akan berdampak pada terjadinya tindak pidana korupsi yang berkembang di Indonesia dalam bentuk gratifikasi.
ADVERTISEMENT
Teori Gratifikasi
Gratifikasi sendiri, berdasarkan Pasal 12B UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah “pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”. Dengan adanya pengertian tersebut mengartikan bahwa ungkapan terima kasih berupa hadiah (uang atau barang) yang dilakukan dalam lingkup pelayanan publik termasuk ke dalam praktik gratifikasi. Pasal tersebut juga menjelaskan bahwa gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Hukuman bagi para pemberi gratifikasi juga sudah diatur dalam Pasal 5 UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999. Sedangkan, hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi diatur dalam pasal 12C UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999.
ADVERTISEMENT
sebagaimana dikutip dalam buku saku “Memahami Gratifikasi” yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat makna bahwa pemberian hadiah tidak hanya terjadi antara atasan dan bawahan. Terdapat makna pemberian hadiah sebagai bentuk tanda kasih atau apresiasi kepada pihak yang telah memberikan jasa atau kesenangan kepada pihak pemberi hadiah. Makna tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah “komisi” yang menyebabkan banyak pejabat pemegang otoritas beranggapan bahwa hal tersebut merupakan “hak” mereka. Tradisi memberi-menerima yang tumbuh di masyarakat pada dasarnya membawa nilai-nilai baik seperti gotong royong dan solidaritas. Namun, ketika diadopsi pada sistem birokrasi nilai-nilai positif tersebut dapat berubah menjadi sebuah kendala dalam upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Pemberian kepada pejabat publik cenderung membawa sifat pamrih yang dalam jangka panjang akan membawa pengaruh buruk. Praktik tersebut dapat mempengaruhi kinerja pejabat publik, menciptakan ekonomi biaya tinggi, dan kualitas serta keadilan layanan yang diberikan kepada masyarakat juga akan ikut terpengaruh.
ADVERTISEMENT
Hubungan Antara Budaya dan Etika dalam Praktik Pemberian Hadiah pada Pelayanan Publik
Dalam hal pelayanan publik, menjadi penting bagi masyarakat untuk menghentikan perilaku pemberian hadiah sebelum menjadi budaya yang diadopsi oleh lingkup masyarakat yang lebih luas lagi. Secara budaya, memang ungkapan terima kasih merupakan perilaku khas ketimuran yang dipandang baik bagi individu untuk melakukannya. Akan tetapi, ketika berbicara mengenai pelaksanaan pelayanan publik, ada etika profesional yang mengatur penyelenggara pelayanan publik untuk bertindak bersih, transparan, dan tidak melakukan tindakan korupsi. Dari pihak penyelenggara publik, penting untuk memahami status nya sebagai pelayan publik, termasuk larangan melakukan perilaku yang menguntungkan pribadi dengan menggunakan posisinya dalam sebuah institusi pelayanan publik dalam bentuk apapun, termasuk menerima tipping sebagai bentuk terima kasih masyarakat atas pelayanan publik yang diberikan. Pada akhirnya, pertentangan antara budaya dan etika dalam kasus pemberian hadiah kepada pelayan publik sebagai ungkapan terima kasih perlu segera diatasi dengan melakukan tindakan kolaborasi antara masyarakat sebagai objek dari sebuah pelayanan dan penyelenggara pelayanan publik untuk menciptakan pelayanan publik yang bersih, akuntabel, dan terlepas dari perilaku korupsi.
ADVERTISEMENT
PenulisP
Daftar Referensi
Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia. (2014). Buku Saku: Memahami Gratifikasi. 1–28. www.kpk.go.id/gratifikasi
Maharani, E. (2020). Terima Bansos, Bima Arya Larang Warga Beri Tip ke Petugas. Republika.Co.Id. https://republika.co.id/berita/qa22bo335/terima-bansos-bima-arya-larang-warga-beri-tip-ke-petugas
Mustafa, H. (2004). Perilaku Manusia Dalam Perspektif Psikologi Sosial. Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan, 44(1), 25–30. https://doi.org/10.1159/000074314
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi