Pahlawan itu Bernama Ibu

Ulqiuul
Freelancer
Konten dari Pengguna
29 Desember 2021 15:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ulqiuul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ibu Pahlawan Kehidupan! Aku sangat setuju dengan kalimat itu. Ibu menjadi salah satu bagian penting dalam kehidupan. Hampir segala aspek kehidupanku bersentuhan dengan kekuatan ajaib seorang Ibu. Memori paling tua dengan Ibuku adalah saat beliau berkata, "Sarapan dulu ya, lalu ikut Ibu ke sawah". Kala itu usiaku sekitar 4-5 tahun. Ikut Ibu ke sawah adalah rutinitasku setiap hari karena aku tidak bersekolah TK. Sedangkan memori teranyar dengan Ibu adalah ketika beliau berkata "Selesaikan kuliahmu dulu ya, Nak, baru nikah". Saat itu penglihatannya sayu dan terkikis waktu. Kedua kalimat itu menjadi pembuka dan penutup dari kenanganku bersama Ibu.
ADVERTISEMENT
Ibuku seperti langit. Menaungi tanpa syarat meskipun yang dinaungi seringkali meludahi. Hatinya luas tak berbatas, dengan cinta yang tumpah ruah hingga aku ingin meminta sedikit saja tetesnya. Ibuku bukan manusia yang senantiasa baik, tapi aku tahu setiap kebaikannya adalah tulus. Pernah suatu hari aku bertanya, "Bu, kenapa sampeyan sangat baik?". Lalu Ibuku menjawab, "Nak, Ibu tidak sebaik itu, kok. Ibu hanya melakukan apa yang seharusnya manusia lakukan". Aku tersenyum. Kalimat itu bagai mantra dalam ingatanku hingga kini. Bagaimana bisa perempuan pekerja keras itu menjawab dengan begitu lugas dan syarat makna? Bagaimana perempuan sederhana itu bisa menjawab dengan konsep dasar kemanusian yang begitu indah? Sementara perempuan itu bahkan tidak bersekolah dan tidak bisa membaca. Pikirannya mungkin tidak serumit para akademisi yang hendak memberi teori atau gagasan. Akan tetapi, pengalaman hidup telah menempanya menjadi sosok Ibu yang bersahaja dimataku.
ADVERTISEMENT
Ibuku tidak pernah mengeluh. Berdua dengan Bapak menempa alam menjadi nafkah sehari-hari. Aku dan kedua saudaraku tak pernah kekurangan dan kami bahagia. Ibu membiasakan agar kami selalu merasa cukup dan bersyukur dengan rezeqi yang kami punya. Ibu mengajarkan kami untuk berbagi, saling mengerti, dan jangan pamrih. Memberi kami arahan tentang konsep prioritas yang harus dibiasakan dalam hidup. Aku belajar banyak dari keseharian Ibu. Hal-hal kecil akhirnya justru menjadi ilmu yang luar biasa bermakna.
Mari kucontohkan. Kami sekeluarga terdiri dari lima orang. Ketika membuat sarapan aku ingin makan telur dan hanya ada dua telur. Maka aku harus berbagi supaya yang lain juga bisa merasakan lauk telur itu. Bukan satu telur untukku, tapi dua telur itu untuk sarapan lima orang. Apakah aku puas? Tentu saja! Senyum Ibuku telah membayar perasaan kepoku kenapa Aku tidak mendapat porsi 1 telur utuh. Aku tidak bertanya, tapi makan dengan lahap. Makna dari pengalaman berharga itu adalah rasa puas dan bahagia dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan nilai kesyukuran kita. Bukan begitu, Bu?
ADVERTISEMENT
Ibu adalah pribadi pendiam tapi bukan pendendam. Berbicara saat ada hal yang harus disampaikan. Berbakti kepada suami dan mengayomi keluarga. Ikut membantu mencari nafkah namun tidak lupa kodratnya sebagai seorang Ibu. Mungkin Ibu tidak bisa mengajariku huruf alfabet atau berhitung. Akan tetapi, Ibu tidak pernah absen menemaniku belajar di rumah. Itu adalah anugrah bagiku. Ibu hadir dengan segala upayanya untuk membuatku nyaman agar tidak merasa melalui segala halnya sendirian. Tidak pernah sekalipun beliau berpaling. Bahkan saat Aku merantau untuk kuliah, Ibu menelpon setiap hari hanya untuk memastikan Aku aman dan baik-baik saja. Ada salah satu kenangan yang paling kuingat setiap Ibu menelpon. Satu kali dalam sebulan, Ibu pasti bertanya, " Nak, kamu sudah menstruasi bulan ini?". Ibuku boleh saja tidak bersekolah, namun jiwa siaganya mungkin sama seperti ibu-ibu berpendidikan di luaran sana atau bahkan lebih. Ah, Ibu, kenanganmu kian wangi dan bersemi meski wajahmu sudah tak bisa kupandangi.
ADVERTISEMENT
Aku melihat Ibu seperti Aku melihat semesta. Kebahagiaannya menjadi penuntun bahagiaku dan kehancurannya akan menjadi petaka bagiku. Sejauh ingatanku, Ibu selalu berbuat baik kepada siapa saja. Suka membantu orang sekitar meski tak jarang mereka membalasnya dengan kejahatan. Kadang aku merasa tak cukup baik untuk menyainginya. Petuahnya di masa lalu kian nyata di masa kini. Salah satu nasehatnya yang paling kuingat, di suatu pagi berembun air mata, Ibu berkata "Nak, setiap orang berhak bahagia. Tapi kamu harus ingat, kebahagian kita tidak boleh mengorbankan kebahagiaan orang lain". Kalimat itu diutarakan dalam Bahasa Madura yang begitu fasih, meskipun sambil menagis. Sambil memeluknya aku berpikir, darimana Ibu mendapat kalimat seindah itu? Mungkin di masa sekarang kalimat itu sudah banyak terdengar. Namun di tahun 2013, diucapkan oleh perempuan yang tidak pernah menonton televisi ataupun media sosial menggunakan bahasa ibu kami, itu adalah hal yang sangat mengejutkan bagiku. Di masa sekarang aku menyadari bahwa apa yang diucapkan ibuku relate dengan kondisi manusia yang seringkali saling hantam untuk mendapatkan sesuatu atas nama "kebahagiaan".
ADVERTISEMENT
Segala hal yang telah kami lalui, kadang menjadikanku begitu rapuh dan perasa jika hal itu menyangkut Ibu. Puncak dari kerapuhan itu adalah saat Ibu berpulang. Sejak kecil, fondasi jiwa dan ragaku dibentuk dari kebaikan Bapak dan Ibu. Jadi ketika Ibu berpulang, bagaimana bisa Aku hanya hidup dengan separuh fondasi kehidupanku? Aku terpuruk. Surgawiku pergi menuju alam lain dan tidak bisa kujangkau. Aku berkubang dalam kelam dibentengi dengan kesedihan berdarahku. Bahkan pernah terpikir untuk menyudahi hidup. Aku bangkit dengan tertatih. Meskipun pada akhirnya mampu untuk berlari lagi. Harus kulakukan untuk diriku, keluargaku, dan Ibu.
Ibu membekaliku dengan ilmu dan didikan yang tidak main-main. Sederhana, otodidak, dan tepat sasaran. Hingga hasilnya kurasakan dalam kehidupanku sekarang. Bagiku, ibu pahlawan kehidupan, dalam aspek dan kontribusi apapun itu. Kalimat-kalimat indah Ibu kujadikan mantra dan jimat kemanusiaan. Supaya aku tidak lupa bahwa harus selalu berpijak pada bumi dan tidak menengadah menantang langit. Kepadamu, Ibu, terimakasih. Apa kabar disana? Cintamu masih tumpah ruah. Manis dan bergelora. Selamat Hari Ibu, Surgawiku. You're my biggest inspiration. Selalu ...
ADVERTISEMENT