Hari Valentine dan Pilihan Personal

Uly Siregar
Former Journalist. Writer. Sometimes college teacher.
Konten dari Pengguna
14 Februari 2020 6:04 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Uly Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi minuman cokelat untuk Valentine. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi minuman cokelat untuk Valentine. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Selain Natal, Hari Kasih Sayang atau Valentine’s Day adalah salah satu hari yang rutin menuai kontroversi di tanah air. Bedanya, tak seperti Natal yang merupakan hari raya keagamaan resmi, Hari Kasih Sayang ini bukan hari raya keagamaan dan bukan pula hari libur nasional. Tapi popularitas Hari Valentine yang didominasi warna merah jambu dan merah ini entah kenapa gampang bikin banyak pihak rongseng.
ADVERTISEMENT
Dari mulai sekolah hingga instansi badan pemerintah di pelbagai daerah merasa perlu mengeluarkan woro-woro pelarangan Hari Valentine. Pada 2018, tercatat setidaknya lebih dari lima pemerintah daerah sejak awal Februari menerbitkan surat edaran yang melarang masyarakat, terutama pelajar merayakan Hari Valentine.
Di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, misalnya, sejak tahun 2017 Dinas Pendidikan Kabupaten Gresik rutin mengirimkan surat edaran ke lembaga-lembaga pendidikan negeri maupun swasta yang menginstruksikan larangan perayaan Hari Valentine.
Alasannya? Kegiatan yang berkaitan dengan Hari Valentine tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia terutama masyarakat Gresik yang merupakan kabupaten santri. Baiklah, ini bisa dipahami. Memang tak perlu merayakan Hari Valentine di lingkungan sekolah. Namun larangan itu tak hanya berhenti di lingkungan sekolah. Larangan perayaan itu berlaku bagi siswa, baik di lingkungan sekolah maupun luar sekolah.
ADVERTISEMENT
Di Nusa Tenggara Barat (NTB), wali kota dan bupati Bima memerintahkan setiap lurah dan camat di setiap wilayah menyiapkan khotbah tentang larangan Hari Valentine. Tak cukup dengan khotbah, Wali Kota Mataram, Ahyar Abduh, bahkan mengambil langkah ekstrem dengan mengancam pelajar dan pegawai negeri yang ngotot merayakan Hari Valentine dengan sanksi sosial pada upacara bendera atau apel pagi.
Begitu kencangnya antipati terhadap Hari Valentine ini, demonstrasi pun digelar untuk menunjukkan ketidaksetujuan. Tahun lalu massa yang tergabung dalam Masyarakat Jabar Peduli Negeri (MJPN) menggelar unjuk rasa damai di halaman Gedung Sate, Bandung. Aksi itu untuk mengingatkan masyarakat bahwa peringatan Hari Valentine tidak perlu dirayakan karena mengundang bahaya liberalisme, termasuk LGBT. Massa ini percaya bahwa merayakan Hari Valentine sama halnya dengan membiarkan pergaulan bebas terjadi di kalangan generasi muda.
ADVERTISEMENT
Antipati yang Kebablasan
Ilustrasi Valentine Foto: Dok. Shutterstock
Citra Hari Valentine bagi yang anti merayakannya adalah hari yang identik dengan seks bebas. Di hari ini juga mereka percaya terdapat peningkatan penjualan kondom, tingkat hunian hotel yang diisi muda-mudi berpasangan tanpa ikatan perkawinan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan seks bebas. Padahal menurut data yang dirilis Ian B. Wood dari School of Informatics & Computing di Indiana University, AS, lonjakan aktivitas seks pada masyarakat terjadi di saat perayaan hari besar keagamaan dan libur nasional.
Tokoh agama Katolik Romo Benny Susetyo menyayangkan adanya pihak yang menyalahartikan Hari Valentine sebagai hari untuk melakukan seks bebas dan pesta-pesta yang tidak bermanfaat. Ia mengungkapkan Hari Valentine seharusnya bisa dilihat sebagai hari yang menawarkan tradisi baik. Pada Hari Valentine seorang anak bisa menunjukkan rasa bakti yang istimewa kepada orang tua, seorang suami mengungkapkan kasih sayang yang tinggi pada sang istri. Ia menganggap Hari Valentine sebagai sebuah tradisi, tak berbeda dengan hari-hari khusus lainnya seperti Hari Ibu pada 22 Desember.
ADVERTISEMENT
Di Amerika Serikat sendiri yang merupakan salah satu negara Barat yang setia merayakan Hari Valentine, perayaan Hari Valentine tak sebrutal yang dibayangkan para aktivis anti Hari Valentine di Indonesia. Tanggal 14 Februari tidaklah identik dengan seks bebas dan pesta-pora. Tentu saja acara berbau hedonisme berlabel “Valentine’s Day” bertebaran di penjuru negeri. Namun, secara umum Hari Valentine dirayakan tanpa berlebihan, bernuansa kasih sayang yang jauh dari urusan selangkangan dan erotisme. Yang paling umum adalah memberikan bunga dan cokelat, tak jauh berbeda dengan perayaan hari-hari besar lainnya seperti Natal, Tahun Baru, Hari Ibu, Hari Ayah, atau hari ulang tahun.
Di sekolah, Hari Valentine dirayakan secara sederhana, dengan dekorasi minimalis hasil karya murid-murid. Di bangku sekolah dasar, misalnya, sesama siswa saling bertukar kartu yang disertai sepotong permen atau cokelat. Terkadang hanya kartu buatan tangan yang ditulis dengan pensil warna-warni. Pada hari itu juga guru kebanjiran ucapan cinta atau surat dengan tulisan tangan dari sang murid, disertai cokelat paling istimewa atau terkadang rangkaian bunga. Di dalam keluarga, Hari Valentine juga menjadi tradisi saling mengungkapkan rasa sayang. Suami membelikan bunga dan cokelat pada sang istri, anak-anak terutama yang masih kecil menggambar dan menulis rangkaian kata-kata cinta untuk diberikan pada adik, kakak, dan orang tua. Demikian pula sebaliknya orang tua memberikan ungkapan cinta pada anak-anak mereka.
ADVERTISEMENT
Komersialisasi Hari Valentine
Ilustrasi Valentine's Day. Foto: Pixabay
Asal-muasal Hari Valentine memiliki banyak versi, setiap versi dipercaya menjadi sejarah perayaan Hari Valentine. Salah satu versi yang paling populer adalah festival Romawi Kuno Lupercalia yang diadakan pada tengah bulan Februari. Festival ini diselenggarakan dalam rangka menyambut musim semi, untuk menghormati Dewi Kesuburan. Pada masa itu laki-laki dan perempuan dipasangkan berdasarkan sistem undian untuk dikawinkan.
Versi yang lain adalah Hari Valentine sebagai penghormatan gereja terhadap Santa Valentine. Perayaan ini dilakukan tahun 496 oleh Paus Gelasius I. Santa Valentine diyakini sebagai seorang martir yang meninggal dan dikuburkan pada 14 Februari di pemakaman di Via Flaminia pada zaman Romawi Kuno. Ia ditahan karena melayani pasangan Kristen yang menikah meskipun telah dilarang oleh Kaisar Claudius II pada abad ketiga Masehi. Alasannya, pada masa itu pernikahan seharusnya bukan jadi fokus seorang pria, tapi kesiapan untuk berbakti secara militer pada negara.
ADVERTISEMENT
Apa pun yang diyakini sebagai sejarah Hari Valentine, di dunia modern Hari Valentine adalah salah satu hari yang dikomersialisasi menjadi komoditas bernilai miliaran dolar, sama seperti hari raya besar lainnya. Di AS, Hari Valentine diperkirakan mulai menjadi komoditas pada tahun 1840-an berbarengan dengan dijualnya kartu Valentine’s Day produksi massal untuk pertama kalinya. Setelahnya, kartu produksi massal pabrik menjadi standar di Hari Valentine, tak lagi kartu buatan tangan dengan lampiran puzzle atau puisi yang menjadi standar kartu yang dikirim pada abad ke 18. Di masa kini, menurut National Retail Federation (NRF) warga AS secara keseluruhan diperkirakan menghabiskan 1 miliar dolar untuk pembelian total 190 juta kartu ucapan Hari Valentine.
Selain kartu, cokelat yang menyertai kartu menjadi tradisi di Hari Valentine. Elemen ini dianggap tak kalah pentingnya. Untuk itu, warga AS pun tak segan mengucurkan dana membeli cokelat. Sebesar 1,7 miliar dolar dihabiskan warga AS untuk menghadiahkan cokelat bagi orang-orang yang mereka kasihi. Sementara untuk bunga, sebesar 2 miliar dolar digelontorkan dari kantong para pemercaya Hari Valentine di AS. Bagi 20 persen warga AS yang memiliki kelebihan dana, mereka memilih membeli perhiasan. Hasilnya 4,3 miliar dolar dana dikucurkan warga AS untuk membeli perhiasan bagi orang-orang terkasih.
ADVERTISEMENT
Mungkin bagi para aktivis anti Hari Valentine di Indonesia, pendekatan konsumerisme bisa dipertimbangkan. Daripada menodai pikiran melulu dengan urusan seks, bisa juga mengajak masyarakat untuk melewatkan saja Hari Valentine karena hanya membuang uang untuk hari yang tak signifikan gunanya. Karena seberapa penting, sih, merayakan Hari Kasih Sayang dengan nuansa warna merah jambu, dipadukan dengan kartu ucapan dan buah tangan cokelat, bunga, apalagi perhiasan mahal? Belum lagi ditambah makan malam di restoran eksklusif dengan daftar antre yang sudah penuh sejak beberapa pekan sebelumnya. Namun, argumentasi Hari Valentine yang bernuansa konsumerisme pun bisa dibantah dengan padanan serupa pada hari raya lainnya. Hari raya apakah yang tak diwarnai konsumerisme? Dari Lebaran, Natal, Tahun Baru, Imlek, bahkan hingga hari libur nasional seperti 17 Agustus pun dibumbui konsumerisme.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, perayaan Hari Valentine adalah pilihan personal. Ia adalah preferensi seseorang yang tak perlu diurus apalagi diancam sanksi atau hukuman. Ada banyak tugas lain yang lebih penting diurusi pemerintah daerah dan lembaga pendidikan, misalnya meningkatkan literasi masyarakat Indonesia yang tergolong sangat rendah. Bila seks bebas yang dikhawatirkan, setiap hari praktik seks bebas, toh, terjadi. Saking bebasnya, dari pemuka agama dan petinggi partai maupun kader partai berbasis agama pun ada yang pernah tertangkap basah melakukannya, bukan di Hari Valentine.