Ketika Pandemi COVID-19 Memaksa Keluarga Tinggal di Rumah

Uly Siregar
Former Journalist. Writer. Sometimes college teacher.
Konten dari Pengguna
26 Maret 2020 5:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Uly Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pada 11 Maret 2020, World Health Organization (WHO) secara resmi menyatakan penyakit COVID-19 yang disebabkan oleh severe acute respiratory syndrom coronavirus 2 (SARS-CoV-2) sebagai pandemi. Penyakit ini berawal di kota Wuhan, Cina, pada Desember tahun lalu. Hanya dalam waktu tiga bulan, COVID-19 merebak menjadi wabah menyerang ke pelbagai penjuru dunia termasuk Indonesia, dan Amerika Serikat (AS) tempat saya kini menetap.
Dok. Foto: Pribadi
Untuk menunda laju virus ini, semua orang diharapkan sebisa mungkin untuk tetap tinggal di rumah. Istilahnya, melakukan social distancing dengan tujuan to flatten the curve. Begitu pun saya bersama keluarga. Ithaca, kota mahasiswa di negara bagian New York dengan jumlah populasi penduduk hanya 31 ribu jiwa tempat saya tinggal untungnya masih berstatus aman. Namun, berjarak sekitar 350 km, kota megapolitan New York City berstatus sebagai pusat kasus COVID-19 dengan jumlah terbesar di AS. Hingga beberapa hari lalu di NYC setidaknya terdapat 15 ribu kasus, sepuluh kali lebih besar daripada jumlah kasus di Los Angeles, dan mencapai 5 persen dari total jumlah seluruh kasus COVID-19 di seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
Sekolah terpaksa ditutup. Anak-anak belajar dari rumah dengan bekal Chromebook jatah pinjaman dari sekolah. Kantor suami menerapkan kebijakan work from home (WFH) atau di Indonesia dikenal dengan sebutan KDR, kerja dari rumah. Dan, saya sendiri? Sehari-hari memang saya tinggal di rumah. Apalagi sejak pindah dari Phoenix, Arizona, saya tak lagi mengajar di Arizona State University. Setiap hari saya habiskan di rumah mengurusi rumah tangga dan mengerjakan beberapa proyek penulisan.
Menurut rencana, sekolah dari rumah ini hanya berjalan hingga pertengahan April. Namun melihat perkembangan terakhir, tampaknya akan terus diperpanjang hingga tahun ajaran sekolah berakhir. Jadilah kita menghabiskan waktu di rumah. Keluar rumah hanya untuk kepentingan mendesak, seperti belanja kebutuhan rumah tangga di supermarket, ke apotek menebus obat, mengisi bensin di pompa bensin, mengambil paket kiriman di kantor pos, ke dokter bila benar-benar perlu, dan hal-hal esensial lainnya. Itu pun bepergian tak boleh beramai-ramai.
ADVERTISEMENT
Dok. Foto: Pribadi
Awalnya ada perasaan enteng. Wahhh... liburan keluarga mendadak. Yup, untuk beberapa hari pertama. Alarm di telepon seluler yang biasanya saya setel untuk menjerit setiap jam 6.30 pagi dinonaktifkan. Senangnya, tak perlu buru-buru bangun pagi menyiapkan sarapan dan bekal makan siang sekolah buat anak-anak. Setiap hari bisa lebih lama bermalas-malasan di ranjang, bangun siang tanpa mengantuk karena kurang tidur. Sepanjang hari membolak-balik buku, gonta-ganti saluran televisi, scroll up and down WhatsApp Group (WAG) atau sesering mungkin mengecek media sosial. Total jumlah screen time per hari di keluarga jadi melonjak pesat.
Melewati hari ketiga, mulailah anak-anak--khususnya si kembar yang duduk di kelas 5--seperti cacing kepanasan. “Mommy, I’m bored. Why can’t I invite my friends to come over? When can we go back to school? I miss my friends and my teachers.” Tugas sekolah yang diberikan secara online tidak bisa membendung rasa bosan. Tak ada lagi training balet, latihan bola voli, atau les piano yang tadinya menjadi saluran energi dan menyibukkan anak-anak setiap hari. Halaman rumah yang luas juga tak begitu berguna. Hingga beberapa hari lalu, salju masih turun. Bahkan ketika salju absen, cuaca di Ithaca masih terlalu dingin untuk berlama-lama bermain di luar. Rewel, dan mulailah drama antarsaudara terjadi. Parahnya lagi, suami pun menuntut suasana rumah tenang dan tentram karena sepanjang hari harus rapat via Zoom. “Hey, Honey, I’m having a very important meeting today. Would you please make sure our kids not too loud?" ujar suami sambil menutup ruang kerjanya. Rasanya ingin saya memaki-maki sambil melempar wajahnya dengan dengan sandal jepit. Tentu saja ini tidak terjadi…
ADVERTISEMENT
Kehebohan berdiam di rumah
Teguran suami memang membikin hati lumayan panas. Dengan ‘libur anak-anak’ berkepanjangan, dinamika rumah berubah. Saya jadi semakin sibuk dan capek. Biasanya sejak pukul 8 pagi hingga 3 sore saya bebas merdeka sendiri di rumah, bertemankan anjing kesayangan keluarga. Anak-anak aman di sekolah, suami sudah menghilang dari rumah menuju kantor. Rumah sepenuhnya menjadi milik saya. Saya bebas beres-beres di rumah, dari mencuci pakaian kotor di mesin cuci sambil chat dengan teman, mengekplorasi pikiran untuk tulisan di berbagai media, atau membuang waktu dengan bermain medsos.
Sekarang? Bolak-balik ke dapur. Seperti monster kecil yang selalu lapar, anak-anakku pelahap segala rupa. Si sulung yang baru menginjak remaja lagi doyan bereksperimen di dapur. Katanya untuk mengusir bosan. Tapi ujung-ujungnya saya juga yang direpotkan, harus mengawasi dan bebersihan. Selain itu, meski tak perlu berangkat ke sekolah tapi tugas-tugas terus berjalan. Untuk itu saya harus memastikan anak-anak mengerjakan tugasnya. “Mommy, can you help me with this Math problem?” tanya anak; yang langsung membuat kepala berdenyut karena saya memang tidak pintar--atau lebih tepatnya cenderung bodoh--dalam urusan matematika.
ADVERTISEMENT
Rumah pun tidak bisa rapi. Ada saja yang diberantaki anak-anak. Iseng? Mungkin. Bisa jadi melihat reaksi saya ngomel berkepanjangan menjadi hiburan tersendiri bagi mereka. Entahlah, yang pasti hingga akhir April--atau entah sampai kapan pastinya--saya harus sabar berkutat dengan situasi ini. Duh, gawat. Setiap hari saya mencoba me-namaste-kan pikiran di tengah si kembar yang sepertinya mulai bertengkar lagi.
Dok. Foto: Pribadi
Inilah hidup saya, yang tinggal di AS dengan segala kecanggihan teknologi, rumah dan halaman cukup lapang, dan ekonomi yang cukup lumayan. Lantas saya membayangkan, bagaimana dengan saudara sebangsa di Indonesia yang kini juga dihantui COVID-19? Angka korban meningkat dengan tingkat kematian di atas rata-rata. Tingkat kematian virus yang super menular ini rata-rata 3 persen, sementara di Indonesia hingga beberapa hari lalu di kisaran angka 8 persen! Kalau saya di Jakarta mungkin saya akan membeli gembok tambahan agar anak-anak dan suami tidak keluar rumah. Atau jangan-jangan lebih ekstrem lagi, saya kurung anak-anak di kamar biar lebih aman.
ADVERTISEMENT
Seperti saya, teman-teman juga kelimpungan dengan kebijakan tinggal di rumah. Apalagi yang masih punya balita. “Rumahku sudah kayak kapal pecah. Capek banget. Pengasuh anak-anak balik kampung karena takut Jakarta ditutup, nanti nggak bisa pulang kampung,” keluh seorang teman. Dan seperti saya, mereka pun dipusingkan dengan urusan membantu anak-anak menyelesaikan tugas-tugas sekolah. “Tega banget ini tugas sekolah, kok, seabrek-abrek. Bagus, sih, supaya anak-anak tidak main keluar. Tapi masalahnya, saya sudah tidak paham cara hitung matematika sekarang. Tidak dibantu, anaknya nangis, aduh, pusing, deh,” ujar seorang teman. Dan seperti anak-anak saya, anak-anak mereka pun layaknya raksasa kecil. “Gragas banget. Camilan yang biasanya bertahan seminggu sekarang tiga hari sudah habis. Makan di luar nggak, tapi bolak-balik GoFood. Bocor, deh, budget bulanan.”
ADVERTISEMENT
Indahnya kebersamaan
Mewujudkan “home sweet home” itu tak mudah bahkan saat pandemi belum berlangsung. Namun setelah menerima situasi ‘chaos’ harian di rumah, perlahan-lahan kami mulai menikmati kebersamaan. Antusiasme tiga gadis kecilku berkreasi di dapur yang tadinya merepotkan, akhirnya malah menjadi hiburan. Tepung yang berceceran di dapur, lelehan coklat yang tadinya mengganggu mata menjadi tak lagi menyebalkan ketika melihat kegembiraan anak-anak mengeluarkan kue karya mereka dari oven. Apalagi menyaksikan mereka makan sambil bermain jadi pelayan restoran dan pelanggan. Saya juga takjub mendengar banyak cerita seru. Lupakan dahulu telepon genggam. Setelah usai dengan tugas-tugas sekolah, kami nonton bareng dan hang out di ruang keluarga sambil minum cokelat hangat campur marshmallow. Mumpung udara masih dingin, sesekali perapian kami nyalakan. Suasana hangat meliputi rumah. Tentu saja pertikaian antara kakak dan adik tetap sering terjadi, termasuk kehebohan lainnya. Kami toh tidak hidup dalam adegan film-film romantis yang dreamy dan picture-perfect. Tapi yang pasti, saya semakin diingatkan kalau ketiga puteriku tak lagi anak kecil yang tak tahu banyak hal. Hmmm… kita bahkan memasuki wilayah ngobrol tentang cowok idaman. Dan, diam-diam mereka juga pandai menilai saya. “Mommy, I know you’re a flirty woman,” ujar si sulung. Yang saya jawab dengan gelak tawa, “Hey… that’s not true! I’m just nice to everyone, especially attractive men!”
ADVERTISEMENT
Beberapa teman dekat yang kerap jadi teman ngobrol di WAG pun merasakan hal yang sama. “Meski pusing dengan tugas-tugas yang diberikan gurunya, tapi jadi lebih kenal kemampuan dan kreativitas anak. Seperti kemarin ada tugas membuat maket lingkungan rumah yang sehat. Saya jadi terlibat diskusi bersama anak untuk bikin sketsa rumah, ikut memberi saran bentuk dan warna rumah, hingga mewujudkannya menjadi maket sederhana. Seru juga,” ujar teman saya. “Anak saya jadi tidak merengek lagi untuk memainkan game online di ponsel karena sibuk belajar dan bermain dengan saya,” tambah teman saya yang lain. Ia bercerita anaknya sedang sibuk mengerjakan proyek berikutnya: membuat scrapbook tentang keluarga mereka.
Suami harus diberdayakan
Ketika kebijakan karantina akibat COVID-19 dilakukan di Cina, angka perceraian di Cina dikabarkan meningkat secara signifikan, demikian menurut manajer pencatatan pernikahan di Dazhou, provinsi Sichuan, seperti dikutip MSN News. Lebih dari 300 pasangan suami-istri telah menjadwalkan perceraian sejak 24 Februari lalu. Menghabiskan banyak waktu di rumah dengan pasangan selama masa karantina membuat pasangan sering bertengkar dan secara terburu-buru memilih berpisah. Nah, loh!
ADVERTISEMENT
Soal meningkatnya perceraian selama masa tinggal di rumah, saya bisa mengerti. Idealnya, tentu membahagiakan selalu berdekatan dengan suami dan anak-anak setiap saat. Realitanya? Tak sampai sepekan terkurung, pertengkaran mulai sering tersulut. Bagaimana tidak kesal? Suami ada di rumah tapi sibuk terus bekerja. He’s home but he’s not really home. Worse yet, he expects me to create a peaceful working space for him! “Sorry, Honey, I’ve got to work. There are so many meetings I have to attend. Please make sure our kids not fight.” Uap kemarahan langsung mendidih. Rasanya ingin langsung menggebrak pintu sambil teriak, “Emangnya elo doang yang punya kerjaan??!!”
Saya tentu tidak sendiri, banyak keluarga mengalami hal serupa. “Kamu, sih, mending. Suamimu setelah beres kerja masih mau ikut bersih-bersih rumah dan bantu anak-anak mengerjakan tugas sekolah. Di sini, suami banyak yang ogah berurusan dengan kerja-kerja domestik. Keluar kamar cuma untuk makan. Mau minta dibikinin kopi aja kadang teriak dari kamar. Dikira OB apa, ya, istrinya,” ujar teman saya, sengit.
ADVERTISEMENT
Berkumpul di rumah terus-menerus juga membuat saya banyak mengritisi hal-hal kecil yang sesungguhnya tak terlalu penting diributkan. Misalnya, saya baru menyadari ketika bekerja suami saya sama sekali tak mau diganggu dan selalu harus ditemani secangkir kopi. Meski tak sepanjang hari menyeruput kopi, tapi jangan sampai cangkir kopinya dibiarkan kosong. Selain itu, ia juga ceroboh dalam meletakkan barang-barangnya. Volume suaranya juga lumayan keras saat rapat via Zoom. Hal-hal kecil ini sering mengganggu dan kerap jadi sumber pertengkaran. Untunglah seorang teman segera menyadarkan saya ketika eskalasi curhat dan ngomel tentang suami kian meninggi.
Demi kenyamanan bersama, kami sepakat membagi jadwal kerja dan mengawasi anak. Kesibukan suami cenderung tinggi dari pagi hingga sore hari. Dalam waktu tersebut saya berusaha sekuat tenaga menjaga rumah menjadi tenang. Saat itu biasanya anak-anak sibuk mengerjakan tugas-tugas sekolah. Sambil mengawasi mereka belajar, saya mencicil urusan masak dan mencuri waktu menulis artikel. Pekerjaan suami mendapat skala prioritas tinggi karena dia berperan sebagai pencari nafkah utama. Setelah dia usai bekerja, dengan dibantu anak-anak kami coba saling bahu-membahu membereskan rumah. Satu hal yang saya coba terima, tak perlulah terlalu keras dengan diri sendiri. Tak ada yang salah dengan rumah berantakan. Tak perlu berharap rumah sempurna tanpa cela seperti di lembaran halaman majalah interior.
ADVERTISEMENT
“Bagaimana, ya, dengan mereka yang rumahnya di gang sempit, pengap. Mereka yang tinggal di rumah super sederhana, diisi tak hanya keluarga inti tapi juga kakek, nenek, saudara, ipar, keponakan? Apa masih bisa happy-happy dan betah di rumah bareng?“ Atau bagaimana dengan orangtua tunggal yang harus tetap bekerja tapi punya anak kecil yang masih terlalu kecil untuk ditinggalkan sendirian di rumah?” tanya seorang teman, memaparkan realita kehidupan yang keras bagi banyak orang.
Untuk itu saya hanya bisa mengurut dada, sambil terus berdoa semoga pandemi ini segera berakhir. From my lips to god’s ear, may this very difficult situation come to an end so very soon.
ADVERTISEMENT