Mengendalikan Empati di Masa Sulit

Uly Siregar
Former Journalist. Writer. Sometimes college teacher.
Konten dari Pengguna
17 April 2020 4:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Uly Siregar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pembagian sembako oleh perusahaan putri El Chapo di Meksiko Foto: Reuters/Fernando Carranza
zoom-in-whitePerbesar
Pembagian sembako oleh perusahaan putri El Chapo di Meksiko Foto: Reuters/Fernando Carranza
ADVERTISEMENT
Hari ini saya melihat video dari BBC Indonesia, tentang derita yang dialami rakyat Ekuador. Video dibuka dengan gambar dua orang menyeret mayat di jalan, seorang perempuan berteriak dalam bahasa lokal, “Hei, pergi dari situ. Bawa (mayat) itu dari sana. Kenapa ditinggal di sana!”
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan lain menangis, menunjuk ke mayat kedua orang tuanya yang sudah dibungkus rapi tapi belum juga dikuburkan sejak kemarin.
Pemerintah Ekuador mengakui lamban menangani pandemi virus Corona. Akibatnya di Guayaquil--kota terbesar di Ekuador--saking banyaknya kematian, mayat telantar berhari-hari tak dikubur. Mayat itu akhirnya diletakkan begitu saja di jalan. Mayat dibungkus plastik agar tak menyebarkan virus, namun bau busuk mayat masih menyengat dan mengganggu. Peti mati pun habis, digantikan dengan kardus.
Entahlah bagaimana mereka bisa menghadapi kepedihan bertubi-tubi; kehilangan orang-orang yang dicintai dan pada saat bersamaan tak bisa memberikan penghormatan terakhir dengan takzim, dengan ritual yang pantas, dengan melibatkan orang-orang terdekat agar bisa berbagi duka. Sulit membayangkan bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup, ketika jenazah orang yang mereka cintai masih tergeletak dan baunya mulai menyengat. Bagaimana bertahan hidup dalam gempuran kepedihan, kemiskinan, dan ketakutan akan kematian yang terasa begitu dekat: Apakah besok giliran kami?
ADVERTISEMENT
Kira-kira dua tahun lalu, seorang sahabat menyampaikan kabar duka, dia divonis dokter sakit kanker, dan telah memasuki stadium 3C--stadium cukup lanjut dan mengkhawatirkan. Kabar itu saya terima dengan duka yang membuat saya seketika meneteskan air mata. Sedih dan takut akan kehilangan dia, sekaligus mengkhawatirkan bagaimana efek kanker tersebut pada dirinya dan keluarga, terutama secara finansial.
Sungguh saya tak mengerti apa yang harus dilakukan, selain memberi penghiburan dari jauh. Saya tak pernah punya pengalaman mendampingi anggota keluarga yang sakit kanker atau sakit lainnya yang mengancam keselamatan jiwa. Selain itu, sahabat yang sakit itu tinggal di Jakarta, sementara saya saat itu masih tinggal di Phoenix, Arizona, sebelum akhirnya pindah ke Ithaca, New York.
ADVERTISEMENT
Kita berada dalam satu grup kecil WhatsApp yang beranggotakan tujuh orang sahabat, termasuk sahabat yang sakit. Lewat percakapan-percakapan rutin, di sana kita saling menguatkan dan memberi penghiburan, termasuk membantu secara riil, dari donasi kecil-kecilan, menemani ke rumah sakit, hingga sekadar mengajak makan dan kumpul-kumpul yang dilakukan sahabat-sahabat lain yang tinggal di Jakarta.
Meski tak paham secara pasti apa yang harus dilakukan dan sulit memilih kata-kata penghiburan yang tepat, menunjukkan empati pada orang yang kita cintai sebenarnya gampang. Empati itu datang secara alamiah tanpa diundang; tanpa dibuat-buat ia langsung mengalir memberi kesejukan bagi yang sedang berduka. Ketika orang yang kita cintai sakit, kita pun merasakan sakit yang ia derita. Ketika orang yang kita cintai bersedih, kita pun turut pilu dan terkira. Ikatan batin yang dibangun antara dua individu yang saling menyayangi sejatinya mengatasi beragam situasi, dari yang terbaik hingga terburuk.
ADVERTISEMENT
Di masa pandemi saat ini kesedihan terasa begitu akrab. Cerita pedih bukan hanya dari orang yang kita kenal dan sayangi, namun juga dari orang-orang asing baik yang tinggal sekota, satu negara, atau nun jauh di belahan dunia lain. Bagi orang-orang yang memiliki hati, sesungguhnya sulit menyaksikan kepedihan yang terpampang jelas di depan mata. Sialnya, di era digital sekarang, cerita sedih sering mampir tanpa diundang. Seperti yang saya alami, melihat video tentang rakyat Ekuador di linimasa Twitter. Air mata turun tanpa bisa ditahan, dan hati rasanya sakit melihat penderitaan mereka. Padahal jangankan kenal, saya tak punya kedekatan atau sejarah apa pun dengan Ekuador. Semakin menyayat, apalagi ketika kesedihan yang dihadapi merupakan persoalan bersama: kematian akibat wabah corona virus.
ADVERTISEMENT
Sisi gelap empati
Meskipun empati dianggap sebagai sebuah kekuatan, memiliki empati seringkali menguras tenaga dan perasaan. Berempati dengan kepedihan hidup yang dialami orang lain sambil menawarkan dukungan dan pemahaman, bukan tak mungkin bisa menyelamatkan. Namun ada sisi gelapnya. Empati yang diberikan tersebut bisa membuat si pemilik empati ikut merasakan sakit setara dengan yang diberikan empati.
Di masa pandemi ini, seorang sahabat di Jakarta dengan rutin menyalurkan bantuan sembako untuk sebagian orang di sekitarnya yang membutuhkan. Ia tak segan “menodong” kami teman-temannya di grup WhatsApp untuk turut berdonasi. Seberapa pun ia terima dengan suka cita. Dengan sepenuh hati ia melakukan kerja sosial ini tanpa pamrih. Meskipun hanya dalam lingkup kecil, tapi ia telah ikut membantu banyak keluarga.
ADVERTISEMENT
Belakangan ia dilanda kesedihan mendalam. Karena banyak orang mulai mengenal dia sebagai sosok yang kerap menyalurkan bantuan sembako, ia pun sering menerima teks-teks berisi cerita sedih dari orang-orang tak dikenal. Kadang secara terang-terangan mereka minta bantuan, kadang hanya secara tersirat namun ada jelas keputusasaan yang membutuhkan uluran tangan. “Aku sering nangis karena nggak bisa bantu semua orang yang mengadu ke aku. Lelah banget rasanya, sampai terbawa mimpi. Sedih karena nggak mampu berbuat banyak.”
Meski hanya sebatas mendukung lewat donasi tak sampai menjadi penggerak penyaluran sembako, saya bisa memahami keresahan sahabat tersebut karena saya pun pernah mengalami hal yang sama. Entah mengapa, banyak orang merasa nyaman membagi cerita sedih dengan saya. Sebelum pandemi berlangsung, pada suatu masa saya sering menulis cuitan di Twitter tentang perundungan seksual baik dari pengalaman pribadi maupun dari cerita mereka yang juga mengalami. Akibatnya, banyak pesan pribadi yang mengalir membagi cerita-cerita sedih tentang mereka. Luka batin mereka kemudian menjadi luka batin saya. Saya pun menangis membaca setiap pesan sedih yang masuk. Karena tak tahan, akhirnya saya pun menutup diri dari kiriman pesan-pesan asing yang masuk.
ADVERTISEMENT
Abaikan atau...
Berempati memang tak gampang, salah-salah bisa membuat jiwa merana. Karena itu bisa dimengerti mengapa banyak yang menghindari empati. Pasalnya, empati membutuhkan energi dan usaha. Menurut The American Psychological Association, banyak orang menolak berempati karena tak hanya bisa mengakibatkan depresi atau menguras biaya, misalnya dengan memberikan donasi untuk beramal, tapi juga mereka tak mau susah-susah memberi upaya mental dalam merasakan empati pada orang lain, bahkan saat empati tersebut hanya melibatkan emosi positif.
Dalam sebuah survei tentang empati yang digagas The American Psychological Association, sebagian peserta yang diteliti menunjukkan bahwa empati dirasakan lebih menantang secara kognitif. Empati membutuhkan lebih banyak upaya dan membuat mereka merasa kurang baik. Peserta juga melaporkan bahwa mereka merasa empati juga menguras tenaga secara mental, membuat mereka merasa tidak aman, jengkel, atau tertekan. Biaya kognitif empati membuat manusia merasa lebih aman menghindari empati.
ADVERTISEMENT
Lantas apakah kita harus menyerah? Melewatkan empati hanya karena tak ingin terganggu? Menurut kepala riset C. Daryl Cameron, PhD dalam penelitian di atas, bila kita bisa mengarahkan empati dengan tepat, akan menjadi sebuah kekuatan dalam kehidupan bermasyarakat. Empati bisa mendorong seseorang untuk menjangkau orang lain yang membutuhkan bantuan. Mungkin seperti yang dilakukan sahabat saya dengan kegiatannya menyalurkan bantuan sembako di masa pandemi.
Berempati dengan sehat
Manusia yang memiliki empati menyerap emosi dari orang-orang di sekitarnya. Ketika energi yang dikeluarkan saat berempati sudah berlebihan, perasaan yang muncul menjadi negatif. Rasanya seperti berjuang keras tapi tak mungkin menang. Pemilik empati seperti sosok yang ingin menyelamatkan dunia. Ia ingin melihat dunia yang damai, penuh cinta, dan kebahagiaan bagi semua orang. Sayangnya, dalam kenyataan yang ia hadapi justru sebaliknya. Dunia seringkali memperlihatkan sosok yang ganas, kejam, tak adil, dan penuh kepedihan. Bila tidak dikendalikan dengan baik, emosi dan perasaan-perasaan negatif tersebut akhirnya menjadi beban yang menyakitkan.
ADVERTISEMENT
Empati bisa menimbulkan stres, kecemasan, dan kemarahan. Empati membuat seseorang merasakan sakit yang dialami oleh orang lain, tak hanya secara emosional, bahkan bisa juga hingga secara fisik. Empati yang meluap-luap dapat mengganggu hormon kortisol, yang justru mengakibatkan sulit melepaskan emosi. Berempati terhadap penderitaan orang lain membuat seseorang rentan depresi dan putus asa.
Benar kita perlu berempati, tapi setiap orang seharusnya menjaga dirinya sendiri dahulu sebelum merawat orang lain. Orang yang dipenuhi empati kadangkala lupa merawat dirinya. Ketika ini terjadi, empati akan berbalik menyakiti diri sendiri. Empati menjadi berbahaya ketika seseorang merasa ia tak layak berbahagia hanya karena ada orang lain yang menderita. Ia percaya bahwa berempati sama dengan membuat diri sendiri merana. Akibatnya ada juga yang kemudian menjadi terobsesi dengan berbagi secara berlebihan hingga menyakiti diri sendiri baik secara emosional maupun finansial.
ADVERTISEMENT
Setiap orang sebaiknya memiliki empati, namun harus bisa mengendalikan dan merawatnya dengan baik. Ada batasan yang sebaiknya jangan pernah ditabrak. Agar tak kewalahan, dalam berempati kita harus memberi waktu pada diri sendiri untuk mengembalikan energi yang terkuras. Mengambil jarak dari penderitaan orang lain bukanlah hal egois. Apalagi ketika dirasakan empati tersebut menyakiti diri sendiri. Adalah penting untuk menetapkan batas-batas diri dengan orang lain agar tak selalu terlibat dengan penderitaan mereka. Apabila batas-batas tak dibuat, berempati akan menjadi sangat melelahkan. Lagipula memberi jarak juga membuat diri menjadi lebih jernih dalam berpikir dan--bila memungkinkan--memberikan bantuan. Kalau pun tak bisa membantu, baik untuk terus mengingat: You cannot save everyone, and that's perfectly fine.
ADVERTISEMENT