Konten dari Pengguna

Pemberontakan Seleka: Campur Tangan dan Kepentingan Prancis

Ulya Zahra
Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Mulawarman
23 November 2022 20:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ulya Zahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Ketika konflik dan perang pecah di kawasan Afrika, seringkali ada intervensi militer berbasis kemanusiaan oleh aktor internasional. Namun benarkah intervensi kemanusiaan ini murni hanya untuk menciptakan perdamaian bagi Afrika?

ADVERTISEMENT
Afrika sekarang seringkali masih berkutat pada isu keamanan dan militer, seperti konflik, perang saudara, dan upaya penyelesaiannya. Kondisi inilah yang kemudian dirasakan oleh Republik Afrika Tengah pada tahun 2012, munculnya gerakan pemberontak bernama Seleka sebagai oposisi terhadap pemerintah Republik Afrika Tengah.
ADVERTISEMENT
Pecahnya konflik di Republik Afrika Tengah (RAT) antara pemberontak Seleka dan pemerintah Republik Afrika Tengah merupakan akibat dari kegagalan pemerintah untuk mematuhi perjanjian perdamaian Birao 2007 di antara Presiden Francois Bozize dan pemberontak pada saat itu. Bozize dipandang acuh tak acuh terhadap bagian timur laut Republik Afrika Tengah, tidak memberikan keamanan regional, tidak mampu memperbaiki infrastruktur, dan pembangunan jalan.
Militer Seleka. Sumber: Shutterstock
Bozize juga dianggap tidak peduli dengan tingkat pendidikan anak dan layanan kesehatan di sana.
Akibat lelah menunggu dan tidak ada implementasi nyata dari isi perjanjian damai tersebut masyarakat Afrika Tengah membentuk gerakan pemberontakan bernama Seleka pada tahun 2012. Mereka melakukan penyerangan ke beberapa kota penting di Republik Afrika Tengah dan menguasainya, serta berhasil menggulingkan Francois Bozize dari singgasananya. Alhasil, Michel Djotodia diangkat sebagai presiden baru Republik Afrika Tengah (RAT) pada tahun 2013. Namun sayangnya Djotodia juga tak mampu memenuhi kebutuhan rakyat Afrika Tengah, menghentikan konflik, dan pertikaian di sana yang berujung pada perpecahan. Menyikapi situasi di Republik Afrika Tengah, Prancis sebagai bekas penjajah sekaligus pemberi kemerdekaan bagi Republik Afrika Tengah kembali membantu demi kepentingan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Operasi Sangaris atau intervensi Prancis dalam isu pemberontakan Seleka di Republik Afrika Tengah ditandai dengan pergantian kepemimpinan dari Francois Bozize menjadi Michel Djotodia pada Maret 2013. Dalam Operasi Sangaris, Prancis mengirimkan 1.600 pasukan untuk menumpas konflik di negara tersebut. Selain itu, pergantian kepemimpinan di Republik Afrika Tengah menjadi alasan lain bagi Prancis dan negara barat lainnya seperti Amerika Serikat untuk melakukan intervensi. Prancis dan Amerika Serikat menolak untuk mengakui dan menerima pemerintahan Djotodia, hal ini dikarenakan Djotodia mendapatkan kekuasaan tersebut melalui upaya kudeta, sehingga tampuk kekuasaan harus diserahkan kembali kepada presiden resmi Republik Afrika Tengah, yaitu François Bozize. Namun, sebelumnya Bozize berhasil mendapatkan jabatan presiden Republik Afrika Tengah juga dari hasil kudeta militer yang dilakukannya pada 15 Maret 2003. Pernyataan penolakan pihak Barat ini kemudian disusul dengan pernyataan presiden Prancis pada saat itu Francois Hollande “We can’t leave in place a president who hasn’t been able to do anything, who let things happen.”
ADVERTISEMENT
Ketulusan intervensi Prancis yang disebut-sebut untuk tujuan kemanusiaan mulai diragukan. Selain pernyataan kontradiktif yang dilontarkan sebelumnya, kedekatan antara Francois Bozize dan Prancis juga turut menimbulkan kecurigaan tersebut. Pasalnya saat Bozize menjabat sebagai presiden Republik Afrika Tengah, Bozize memiliki hubungan yang sangat baik dengan Prancis. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Prancis menginginkan Republik Afrika Tengah dipimpin oleh rezim yang memiliki kedekatan khusus dengan Prancis. Selain itu, pasukan Prancis juga dianggap tidak berbuat apa-apa, mereka hanya berpatroli beberapa bulan, kemudian menyerahkan Republik Afrika Tengah kepada tentara Afrika meski masalah di sana belum terselesaikan.
Alasan utama mengapa Prancis ikut campur dalam pemberontakan Seleka adalah terkait dengan kepentingan Prancis terhadap uranium di wilayah tenggara Republik Afrika Tengah. Akademisi mencatat bahwa terdapat 41 juta pon U3O8 dengan kadar rata-rata 0,27% uranium di daerah Bakouma, menjadikannya daerah dengan deposit uranium tertinggi di Afrika sub-Sahara. Prancis menjadikan Republik Afrika Tengah sebagai alternatif sumber bijih uranium yang nantinya dapat dimanfaatkan, karena sumber utama mereka sebelumnya yaitu Aljazair Selatan, Mali Utara, dan Niger semakin terancam akibat terorisme dan sabotase oleh kelompok jihad.
ADVERTISEMENT
Operasi Sangaris dengan alasan bantuan kemanusiaan yang dilakukan Prancis di Republik Afrika Tengah menunjukkan adanya kepentingan dan tujuan dibaliknya, hal ini dikarenakan Prancis baru gencar menanggapi permasalahan pemberontakan Seleka ketika Michel Djotodia naik sebagai presiden Republik Afrika Tengah. Selain itu, adanya pernyataan mengenai pengembalian kekuasaan kepada Bozize juga turut memperkuat dugaan tersebut. Djotodia dianggap tidak mampu memenuhi dan memuluskan kepentingan Prancis di Republik Afrika Tengah, akibatnya Prancis berusaha ikut campur agar Republik Afrika Tengah berada di bawah rezim yang pro Prancis. Dengan demikian, kepentingan Prancis di Republik Afrika Tengah terhadap bijih uranium dapat berjalan dengan lancar.