Konten dari Pengguna

Kartini dan Perjuangannya: Formalitas Pakai Kebaya Sekali Setahun

Uli Fania Damayanti
Penulis Media Online, Kab. Kebumen
26 April 2025 15:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Uli Fania Damayanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Para siswa mengenakan kebaya dan batik saat mengikuti upacara Hari Kartini di halaman sekolah. Sumber: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Para siswa mengenakan kebaya dan batik saat mengikuti upacara Hari Kartini di halaman sekolah. Sumber: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Bulan April pasti identik dengan peringatan Hari Kartini. 21 April 1879, hari lahir Raden Adjeng Kartini, yang sekarang setiap tahun selalu diperingati sebagai Hari Kartini. Semua orang pasti tahu siapa Raden Adjeng Kartini dan apa perjuangannya. Yap betul, perjuangannya dalam memberdayakan kaum perempuan. Kartini muda ingin menyuarakan hak-hak perempuan dalam bidang pendidikan dan kebebasan bersuara. Kartini muda melawan tradisi patriarki, supaya perempuan bisa setara dengan laki-laki. Karena perjuangannya yang mulia, nama Kartini dikenal abadi sebagai pahlawan emansipasi perempuan.
ADVERTISEMENT
Di bulan April, toko-toko mulai memajang berbagai jenis baju kebaya. Banyak sekali model kebaya kekinian yang pas dipakai orang dewasa dan anak-anak. Orang-orang berbondong-bondong membeli atau menyewa kebaya yang paling bagus, untuk peringatan Hari Kartini katanya. Di sekolah, grup whatsapp mulai ramai. Para guru, murid, dan wali murid saling mengirim pesan isinya screenshot info lomba Hari Kartini. Mading sekolah pun penuh, banyak tempelan poster info lomba sekolah: lomba fashion show, lomba rias, lomba pidato, lomba melukis tokoh pahlawan, dan masih banyak lagi. Lucu banget, ramai, dan pastinya seru. Banyak orang antusias menyambut peringatan Hari Kartini. Banyak ide-ide kreatif yang tersalurkan untuk membuat peringatan Hari Kartini menjadi mewah dan meriah.
Mencari Letak Daya Juang Emansipasi, di Balik Kebaya Hari Kartini
ADVERTISEMENT
Tapi, kalau diresapi lebih teliti, kamu pernah ngerasa gak sih kalau ada satu hal yang kosong? Kira-kira di mana ya letak perjuangan Kartini ditunjukkan di antara cantiknya pernak-pernik kebaya dan ramainya acara dihiasi balon-balon dan pita plastik warna-warni? Apa ini yang Kartini inginkan dari perjuangannya, supaya para perempuan bisa pakai kebaya cantik setahun sekali? Oh nggak dong, pasti cita-cita Kartini lebih daripada itu.
Sebagian besar dari kita tumbuh dengan formalitas peringatan Hari Kartini yang bentuknya sama, begitu-begitu saja. Sehari pakai kebaya dan riasan cantik, lalu kembali lagi jadi perempuan biasa yang masih dibebani banyak hal, masih harus mengejar dan menyelesaikan banyak pekerjaan. Sosok Kartini digaung-gaungkan, dijadikan simbol emansipasi perempuan, tapi simbolnya gak kelihatan di upacara peringatan. Perjuangannya yang dulu begitu berani dan lantang, tiba-tiba jadi lembut dan penuh hiasan bunga-bunga, tapi tak menggugah apa-apa.
ADVERTISEMENT
Katanya, jadi perempuan di zaman sekarang masih nggak gampang. Tapi, bukan berarti nggak ada kemajuan. Pasti jelas ada, dong. Lihat aja, perempuan sekarang bisa sekolah, bisa bekerja dan menata karier lebih tinggi, bahkan bisa jadi pemimpin. Bagaimana? Sekarang perempuan udah lebih maju dan keren kan?
Perempuan dengan kebebasannya, tapi masih selalu teori-teori masyarakat yang menghantuinya. Masih ada suara-suara kecil yang terus membayang: “Perempuan kok pulang malam?”, padahal mereka pulang malam karena menuntut ilmu dan bekerja untuk keluarga. “Kerja mulu, gak betah di rumah?”, padahal mereka bekerja untuk mengejar cita-citanya. Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan berdasarkan opini masyarakat yang dilemparkan untuk mengukur kualitas perempuan
Lebih mirisnya, nyaringnya suara-suara itu, entah kenapa, sering muncul dari mulut sesama perempuan. Seolah kita diajarkan untuk saling mengawasi dan saling bersaing. Padahal, semangat juang Kartini mengajarkan bahwa semua perempuan harus saling berkembang dan saling mendukung. Emansipasi yang telah diperjuangkan dengan gagah berani bukan diciptakan untuk menjadi standar yang menghakimi. Kita tidak perlu standar yang justru menghancurkan. Katanya, perempuan harus bisa segalanya, harus kuat setiap saat, dan harus tampil sempurna meski dalam tekanan. Padahal, perempuan juga manusia biasa yang butuh pengertian dan waktu untuk belajar.
ADVERTISEMENT
Jangan Hanya Kebaya yang Jadi Simbol Hari Kartini
Kartini mungkin tersenyum melihat perempuan zaman sekarang yang bisa bersuara lebih bebas. Tapi, dia juga akan keheranan dan mengernyit melihat suara-suara perempuan yang masih sering tak dianggap, bahkan dibungkam dengan komentar-komentar nyinyir di media sosial dan di lingkungan sekitar. Kartini mungkin menyayangkan teladan perjuangannya yang lebih sering dirayakan dalam bentuk seragam, bukan karakter.
Perlu kita garis bawahi bahwa emansipasi tidak cukup dilambangkan dengan kebaya, riasan, dan sorak gembira anak-anak yang menang lomba. Emansipasi harus dirayakan lebih dari itu, emansipasi harus mendorong keberdayaan. Jangan buat Kartini bersedih dengan namanya yang hanya dijadikan formalitas tahunan. Buat Kartini lebih bangga dan bahagia. Lanjutkan perjuangannya dengan karakter yang mengedepankan adil gender, ruang aman bagi keberadaan perempuan, dan lingkungan tidak membungkam suara perempuan.
ADVERTISEMENT