Konten dari Pengguna

Know Your Enemy

18 September 2019 10:49 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Usurna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi KPK. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan ini, masyarakat disuguhi pertunjukan drama tidak berkesudahan dan berjilid-jilid ala gerakan ijtimak ulama oleh (oknum) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
ADVERTISEMENT
Dalam drama yang dipertontonkan oleh (oknum) KPK, sudah sangat tipis selisih antara tuntunan dan tontonan. KPK yang seharusnya menjadi central of excellence dalam pemberantasan korupsi di negara ini dan menjadi trigger serta watch dog bagi penegak hukum lain malah menjadi kendaraan bagi oknum di dalam KPK untuk mencari panggung. Sekadar mempertahankan basic instinct kenikmatan dalam memperoleh fasilitas utamanya, the untouchable persons, dengan memanfaatkan jubah lembaga independen.
Merengek dengan menciptakan komunitas civil society yang menjadi motor utama mengaduk perasaan masyarakat yang rentan ikut-ikutan tanpa memahami substansi permasalahan menjadi jalan utama wadah pegawai yang bahkan tidak dikenal dalam mahzab Undang-Undang KPK.
Menjadikan negara (baca: Presiden dan DPR RI) sebagai pihak paling hina dan tersalah seolah memihak koruptor. Padahal sejatinya, motor penggerak dalam wadah pegawai yang kebingungan mencari dasar hukum formal untuk mempertahankan diri dalam kenyamanan yang selama ini diperoleh.
ADVERTISEMENT
Menyelamatkan KPK adalah suatu keniscayaan yang hakiki, namun dari siapa? Dari koruptor? Jelas itu. Koruptor dipastikan bergerak dengan berbagai cara untuk mempertahankan keuntungan ekonomi yang dia dapat dari perilaku korupsinya. Koruptor akan bergerak ke segala penjuru dan segala cara untuk meruntuhkan KPK.
Koruptor tidak akan rela harta hasil curian milik negara yang sudah ada padanya disita dan dikembalikan ke negara. Buang sebagian harta hasil korupsinya bukan masalah buat koruptor, ya, karena memang sejatinya bukan miliknya, sejatinya harta milik rakyat yang dipercayakan untuk dikelola oleh negara, maka untuk dibuang sebagian, tidak masalah untuk koruptor.
Nah, mari kita lihat kembali drama yang disajikan oleh (oknum) KPK.
Mari kita buka data kasus-kasus yang ditangani oleh KPK periode terakhir ini. Hiruk-pikuknya hanya di Operasi Tangkap Tangan (OTT) (Pasal 11 dan/atau 12 UU Tipikor) yang bahkan tidak serupiah pun mengembalikan kerugian negara yang dicuri oleh pelaku korupsi. Berapa banyak OTT yang dilakukan KPK dibandingkan dengan pengembalian kerugian negara? (Pasal 2, 3, dan 5 UU Tipikor).
ADVERTISEMENT
Jangan sampai fenomena drama (oknum) KPK ini justru dibiayai oleh pelaku koruptor untuk terus bisa berpesta menikmati harta rakyat yang dicurinya karena publik 'dininabobokan' dengan drama OTT KPK.
Maka, drama playing victim terus dinyanyikan seperti orkestra besar dengan wadah pegawai sebagai dirigen sekaligus penulis skenarionya, seolah Presiden dan DPR lah musuh pemberantasan korupsi, termasuk menggunakan salah satu majalah mingguan sebagai corongnya. Jangan-jangan, terciprat sedikit harta pencoleng uang negara.
So, know your enemy.