Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Cerpen: Ditabrak Pejabat
2 Juli 2021 19:12 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 13:53 WIB
Tulisan dari Umar Mubdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dari kosannya, Aisha, seorang investigator di instansi pengawasan dan persaingan usaha, tengah memesan ojek online. Hari ini hari Sabtu dan ia bermaksud menghabiskan waktunya di sebuah toko buku di mal.
ADVERTISEMENT
Aisha sedang gencarnya membaca buku-buku, khususnya filsafat dan sastra. Dan buku persiapan CPNS tentunya. Di antara sekian buku itu yang menjadi kegemarannya adalah Soren Kierkegaard, tokoh prominen dalam diskursus Eksistensialisme. Selepas membaca bukunya yang berjudul “Fear and Trembling”, Aisha pernah bertanya ketika kami tengah makan bersama.
“Abang, tau ngga arti lunch itu sebenarnya apa?”
“Makan siang ya?” Jawabku.
“Bukan, bang. Bisa lebih kompleks dari itu.”
“Yak mohon pencerahannya, Ibu Investigator," balasku membayangkan jawabannya.
Aisha jeda sejenak, mengambil gelas kopinya, yang dipesan atas namaku. Ku ambil gelas kopiku, yang kupesan atas namanya. Lalu dia menjawab,
“Coba bayangkan, bang. Ada berapa faktor di alam semesta ini yang telah mendukung agar terwujudnya kemungkinan kita untuk bisa makan siang. Bumi harus berproses menunggu zaman es mencair, tanah-tanah menyuburkan dirinya agar bisa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan tanaman lainnya. Ayam-ayam harus berkembang biak sekian lamanya agar bisa tiba di piring kita. Belum lagi perang dunia dan kolonialisme yang harus diselesaikan agar kondisi dunia menjadi damai. Dan orang-orang berpacu memenuhi kebutuhan ekonominya sehingga terbangunlah tempat makan ini. Yang ke semuanya itu menjadi faktor pendukung agar kita bisa makan siang saat ini.”
ADVERTISEMENT
“Okay, terus?”
“Jadi, makan siang sendiri sebenarnya adalah proses rumit yang memakan waktu, tenaga, dan materi sangat besar, bukan hanya oleh kita, tetapi juga oleh alam semesta. Begitu kalau kata Kierkegaard, bang. Hehe," tuntasnya.
“Terus, batasannya apa dong? Kalau makan siang bisa se-universal itu, eksistensi makan kita saat ini secara profan ditopang oleh fondasi apa? Karena semua pertanyaan akhirnya akan punya jawaban yang sama," tanyaku tak mau kalah.
“Satu fondasinya bang, yakni harapan dan ekpektasi pasca kejadian. Tau Samuel Beckett ga, bang?”
“Apanya Samuel Zylgwyn?” Tebakku.
“Jadi, Beckett itu penulis naskah teater terkenal yang judulnya Waiting for Godot. Di sana, ada dua tokoh utama yang diceritakan miskin, kelaparan, dan terbuang. Keduanya sedang duduk ngobrol di atas batu dekat sebuah pohon, untuk menunggu temannya yang bernama Godot. Karena, mereka masih ingat bahwa Godot akan pulang dan memenuhi janji-janjinya. Menariknya, hingga akhir cerita, Godot sama sekali tak kunjung datang.”
ADVERTISEMENT
“Okay, terus?”
“Nah, di tengah kemalangan hidupnya dan ketidakjelasan arah tujuannya, kedua orang tersebut dapat bersatu karena punya harapan dan ekspektasi yang sama. Yang menjadi dasar mereka untuk menunggu di batu dan pohon tersebut, sesuai janji Godot yang mereka ingat.”
“Kaitannya sama makan siang?”
“Hadeeh, kaitannya... eksistensi kita makan siang sekarang ini hanya bisa didefinisikan oleh pengharapan kita ke depan. Bisa untuk kenyang, agar berkah, sehat, bisa kerja, dll. Itu yang menjadi fondasi kita sebenarnya, bang”
“Siap.” Jawabku. Singkat.
***
Aisha telah tiba di Mal. Sebelum ke toko buku, ia mampir sebentar untuk membeli boba. Di daftar menunya, ada istilah “Taro” untuk varian rasa minumannya.
Terbesit dalam benaknya, kata “Taro” sejak kecil identik dengan snack. Tapi sekarang, “Taro” telah terkenal dengan makna lain sebagai sebuah minuman yang berwarna ungu.
ADVERTISEMENT
Ucapnya dalam hati, “sejak kapan masyarakat pengguna bahasa menghasilkan konsensus, bahwa Taro selain bermakna snack juga bermakna ubi? Bagaimana proses sebuah makna yang dititipkan pada kata disetujui hingga akhirnya efektif digunakan? Apakah bisa kata Taro diupayakan untuk punya makna lain, seperti makna belajar misalnya? Atau bagaimana cara membedakannya kalau dua makna Taro itu ada di satu kalimat?”
Di tengah-tengah kontemplasinya itu, sembari menuruni eskalator, Aisha ditabrak oleh seseorang dari belakang yang nampaknya sedang bergegas, hingga boba Aisha jatuh.
Aisha menengok ke arahnya. Dan yang menabraknya ternyata adalah seorang pejabat. Pejabat yang seringkali ia lihat pemberitaannya di layar kaca. Yang kebijakannya sering kali memicu perdebatan, pertanyaan, dan reaksi dari aktivis, mahasiswa, maupun masyarakat kecil.
ADVERTISEMENT
“Tak mengapalah bobaku jatuh ditabraknya, asalkan pengharapan dan ekspektasi rakyat atas kesejahteraan tak jatuh ditabrak kebijakannya. Sebab, hanya itu penopangnya!”