Cerpen: Siapa yang Menghantui?

Umar Mubdi
Tenaga Pengajar di Fakultas Hukum UGM
Konten dari Pengguna
30 Agustus 2020 19:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Umar Mubdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi. Foto: Pixbay
Kabut kelabu menyelimuti lanskap Warsawa, Polandia, ketika saya dan Bu Fitri menyusuri jalanan di depan kampus menuju kereta. Musim dingin telah tiba. Orang-orang berlalu-lalang mengenakan coat tebal untuk melindungi diri dari sergapan dingin.
ADVERTISEMENT
“Desi tadi sempet kaget, Mas Fahri.”, kata Bu Fitri.
“Kenapa, Bu?”
“Iya, tadi waktu dia pulang dari kampus dan sampai di flat, Desi langsung buka pintu sambil bilang ‘assalamualaikum’. Terus ada yang jawab ‘waalaikumsalam’. Lama baru si Desi ngeh kalo ternyata dia sendirian di flat, ngga ada orang. Siapa yang jawab berarti ya.”
“Mungkin Desi ngga begitu sadar waktu itu, Bu. Tapi saya juga pernah baca ada cerita serupa. Bisa jadi hantu, Bu.”
“Waah.. jangan sampai ada, mas Fahri, bakal serem.”
Karena dingin semakin lama semakin menusuk tubuh, kami menggegas langkah menuju kereta. Lalu berpisah di jalur kereta yang berbeda.
Saya tiba juga di depan flat di daerah Sluzew, dekat dengan stasiun kereta. Hari ini hari Kamis dan langit telah gelap. Kemungkinan teman satu flat, Pak Dirman dan Bang Don, masih berada di kampus.
ADVERTISEMENT
Terbersit di pikiran bagaimana saya akan memasuki flat. Apakah kejadian serupa dengan Desi juga akan terjadi? Ada orang yang akan menjawab salam saya sementara tidak ada orang? Atau saya tidak perlu mengucapkan salam ketika masuk ke flat? Bagaimana kalau hantu itu benar ada?
***
Di depan pintu flat, saya merogoh kantong untuk mengecek handphone. Pukul empat sore dan tidak ada notifikasi darinya. Biasanya saya mengabarinya jika ada hal-hal aneh yang membayangi pikiran. Bekas ingatan dari cerita Bu Fitri adalah contohnya. Dan bisa dipastikan, dia akan menjawab kehawatiran saya itu dengan penuh rasionalitas. Menyibakkan gelayut di perasaan dan pikiran. Tapi sayang, seminggu ini dia tengah menjalani pelatihan di Bandung dan selama di sana ia tidak diperkenankan untuk berkomunikasi via handphone.
ADVERTISEMENT
Padahal sebelumnya, ia setiap hari selalu berkabar. Sebagai mahasiswa rantau di luar negeri, komunikasi menjadi krusial. Menelfon Ibu dan adik di pagi hari adalah rutinas wajib. Setelah itu, saya kemudian menghubunginya. Sekedar mengucapkan salam dan menyakan satu dua kabarnya. Dia melanjutkan aktifitasnya dan saya menyiapkan bahan studi hari itu. Memang rutinitas sederhana tapi bermakna untuk memulai hari.
Pernah selepas kuliah dia tiba-tiba menelfon,
“Abang, aku ditilang nih!”
“Yah kok bisa? Bisa bayar ditempat?”
“Ngga boleh nyogok. Tadi ke kampus ngga pake helm, ngga bawa surat-surat. Gimana nih, bang? Mana bapaknya tegas.”
“Yaudah, sekarang bilang bapaknya kalo kamu mau bayar dendanya lewat mereka. Bukan nyogok. Ada di peraturannya. Harus bayar denda maksimalnya dan nanti kalo sudah ada putusan pengadilan akan dikembalikan sisanya. Okay?”
ADVERTISEMENT
“Hmmmm… waktu dibutuhin selalu ngga ada. Yaudahlah, bang. Aku ke bapaknya lagi kalo gitu.”
Ingatan itu kembali terngiang karena mengingatkan saya kepadanya: idealisme sebagai sarjana hukum yang anti korupsi, dan perasaannya sebagai perempuan yang nampak di akhir kalimatnya itu. Meski demikian, saya merasa paling tahu bahwa di balik sifatnya itu, ada sinar kedamaian di wajahnya. Ada nilai kepastian, pada langkah-langkahnya.
Kejutan kecil terjadi ketika sebuah kiriman tiba di rumah. Kiriman tersebut penuh berisikan masker dan pembersih wajah. Ternyata itu adalah paket dari dia untuk Ibu dan adik perempuan saya. Meski bukan saya tujuannya, tetapi momen itu terasa seperti paket hadiah karena Ibu dan adik adalah yang utama bagi saya.
ADVERTISEMENT
Seminggu sudah tak ada kabar. Perasaan sepi baru terasa ketika yang biasa ada telah tiada.
Bukan hanya itu yang merisaukan hati. Lama tak pulang menemui Ibu dan adik juga menjadi timbunan rindu. Memang benar bahwa orang-orang istimewa di hatilah yang memberi arti di hari-hari.
Adik perempuan saya mengirim pesan suatu malam.
“Kak, Fahri. Kapan balik ke Indonesia?.”
“Masih nunggu jadwal sidang tesis. Belum ada infonya sampai sekarang.”
“Hmmm.. Iya dah. Maksudnya biar bisa sarapan bareng ke pantai. Kalau udah pulang kan ada yang supirin. Hehe..”
“Iya, doain aja ya biar cepet keluar jadwalnya.”
“Oke”
“Jas labnya sudah jadi?”, tanya saya.
“Sudah, kak. Tetap dipakai waktu praktik.”
“Kalau hujan jangan pake jas lab ya, tapi jas hujan.”
ADVERTISEMENT
“Receh.”
Bayangan mengenai sidang tesis dan pulang akhirnya menghantui hari-hari selanjutnya.
Bila hati tengah risau begini, Ibu seringkali mengingatkan untuk rajin mengaji. Baiklah kalau demikian, apabila saya telah masuk ke dalam flat, saya akan langsung bersih-bersih lalu lanjut mengaji. Setelah itu saya akan menyiapkan santap malam, menyelesaikan tugas serta reading material, dan akhirnya istirahat. Meski perjalanan studi tidak mudah tapi setidaknya perhatian Ibu, adik, dan dia bisa meringankan.
***
ADVERTISEMENT
Masih di depan pintu flat, saya kemudian merogoh kembali kantong untuk mengambil kunci. Memutarnya, dan membuka pintu flat.
Saya mengucapkan, “assalamualaikum”. Seketika itu juga ada yang menjawab, “waalaikumsalam”.
Waduh. Saya kaget. Saya mengecek kamar, tidak ada orang. Saya pergi ke kamar mandi, ruang tamu, dapur, dan balkon, juga tidak ada orang. Sunyi terasa mencekam. Saya merinding. Saya ketakutan.
Saya membatin dalam hati, “Siapa yang menghantui?”.
Sontak ada yang menjawab dekat telinga, “rindu yang menghantui”.