Konten dari Pengguna

Konflik Komunal dan Pemberdayaan Kearifan Lokal

Umar Mubdi
Tenaga Pengajar di Fakultas Hukum UGM
24 Mei 2022 17:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Umar Mubdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petani (sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Petani (sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Salah satu diskursus hukum yang perlu diapresiasi akhir-akhir ini adalah model penyelesaian konflik komunal secara non-penal.
ADVERTISEMENT
Prof. Muhammad Natsir (2019), misalnya, dalam disertasinya menjelaskan bahwa sejumlah konflik lokal acapkali bertautan dengan konteks sejarah, sosial-ekonomi, sekaligus juga kesadaran hukum komunitas. Untuk mengurai ketertautan itu, hukum pidana tidak boleh digunakan sebagai primum remidium atau alat utama dalam penyelesaian konflik. Sebab, konflik komunal yang bersifat laten mesti disikapi dengan upaya rekonsiliasi atau membangun kembali relasi para pihak yang berkonflik. Bila tidak, penegakan hukum pidana hanya akan berpotensi mengeraskan tensi dan motivasi para pihak untuk kembali mengeskalasi konflik.
Berkenaan dengan hal itu, beliau mengajukan model penyelesaian konflik komunal dengan mengandalkan rekayasa sosial berupa langkah preventif dan persuasif berpendekatan kearifan lokal. Trobosan ini menjadi bernas terutama merujuk pada teori “living law” dari Eugen Erlich (1992). Gagasan mendasarnya adalah hukum dalam mewujudkan ketertiban sosial mesti berdasarkan observasi pada kehidupan manusia itu sendiri. Konsekuensinya, fakta-fakta sosial yang pada akhirnya akan mempengaruhi hukum tersebut, bukan pada otoritas negara. Teori tersebut sejatinya menaruh perhatian besar pada efektivitas hukum dalam pengertian cita hukum yang terkandung dalam suatu norma hukum bersifat kompatibel dengan keadaan sosial.
ADVERTISEMENT
Antara rekonsiliasi, rekayasa sosial, dan kearifan lokal terdapat benang merah yang dapat merekatkan retakan-retakan komunal. Benang merah itu diproyeksikan pada tiga fungsi sosialnya. Masing-masing adalah (i) meminimalisir konflik dan sengketa di masyarakat, (ii) menjadi sarana edukasi agar masyarakat bertindak bijak demi kepentingan bersama, dan (iii) untuk mewujudkan keutuhan sosial dengan cara mengadvokasi shared future (tujuan bersama).
Begarap dan Fungsi Sosial
Berdasarkan basis konsep dan teori di atas, dalam rangka memberikan ilustrasi, penulis pada tahun 2017 melakukan penelitian mengenai tradisi begarap sebagai model penyelesaian sengketa secara non-litigasi. Begarap atau tradisi Aiq Nyatoq merupakan praktik resolusi konflik yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sasak terutama yang bermukim di Desa Rambitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah.
ADVERTISEMENT
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam tradisi begarap memberi muatan pada terwujudnya tiga fungsi sosial dari kearifan lokal. Sistem nilai pada masyarakat Sasak yang terdalam, yakni tindih, adalah representasi dari atribut tradisi begarap untuk bertindak berdasarkan ajaran agama dan berkelakuan adil. Lebih jauh, makna tindih paralel dengan insan kamil atau kata hati yang mengandung semangat kepatutan, kesalehan, dan ketaatan. Nilai tindih juga dimengerti sebagai motivasi diri untuk merajut kebersamaan dengan mengedepankan perdamaian dan kebaikan dalam setiap persoalan. Sehingga, apresiasi dan implementasi dari nilai ini dapat meminimalisir benturan kepentingan sekaligus konflik komunal.
Selanjutnya, fungsi edukasi kearifan lokal dalam tradisi begarap tercermin dalam nilai maliq dan merang. Nilai ini menjadi penyangga moral publik dalam masyarakat Sasak. Maliq dapat dipahami sebagai sarana pengaturan tingkah laku mengenai apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Nilai ini menuntut agar individu memiliki kecukupan pengetahuan demi menjaga dan menjalankan moral publik.
ADVERTISEMENT
Sedangkan merang adalah refleksi motivasi diri untuk memperkaya kompetensi dan skill pribadi demi menunjang kebutuhan hidup pribadi dan komunitas. Dua nilai ini sesungguhnya memfokuskan individu dalam komunitas untuk mengaktualisasikan diri pada hal-hal kebaikan. Ujungnya, konflik komunal dapat dihindari karena tiap-tiap individu menjaga aspek fundamental kehidupan bersama.
Fungsi sosial kearifan lokal dalam tradisi begarap yang terakhir adalah untuk menjamin integrasi sosial. Nilai-nilai kualitatif dan akumulatif seperti tatas, tuhu, trasna dapat menjadi acuan dan pedoman perilaku dalam hidup bermasyarakat.
Emile Durkheim menjelaskan, salah satu bentuk sentimen sosial adalah relasi antara individu dengan individu yang melahirkan kesatuan-individu. Dalam pengertian itu, individu masih memiliki otonom untuk mengambil keputusan tetapi sebagian yang lain telah meninggi menjadi otonom-kolektif masyarakat. Sehingga, yang diperlukan dalam integrasi sosial adalah keseimbangan antara “yang individu” dengan “yang komunal”. Pengaplikasian nilai-nilai kualitatif dan akumulatif semacam itulah yang menyeimbangkan integrasi sosial.
ADVERTISEMENT
Positivisasi Kearifan Lokal
Setelah memperoleh basis konsep dan sistem nilai dalam resolusi konflik, ide positivisasi kearifan lokal menjadi signifikan karena tak jarang satu resolusi damai secara adat tidak menghentikan proses pro-justicia. Sebab, dua keputusan itu bekerja dalam gugus hukum yang berbeda di mana keputusan adat terkadang tidak diakomodasi dalam klaster hukum tertentu. Pada sisi yang lain, konflik komunal bukan hanya berarti direct conflict antara individu atau komunitas masyarakat, tetapi juga dapat terjadi dalam bentuk structural conflict di mana hukum positif bertentangan dengan awig-awig (norma adat). Pilihan hukum yang harus diambil oleh komunitas lokal melahirkan dilema mendasar sekaligus juga ketidakefektivitasan dalam memfungsionalisasikan hukum.
Namun demikian, apabila nilai dan kearifan lokal itu diinfiltrasi ke dalam hukum positif, sifat dinamis, fleksibilitas, dan adaptif dari hukum adat terancam akan tergantikan oleh karakteristik positivisme yang “kaku”. Padahal, sifat kearifan lokal itulah yang menjadi pembeda dalam menentukan keberhasilan suatu resolusi konflik.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari hal tersebut, pluralisme hukum di Indonesia harus dianggap sebagai modal bangsa untuk menciptakan ketertiban dan kesejahteraan bersama. Diskursus mengenai alternatif penyelesaian konflik komunal secara non-penal harus dikembangkan ke arah perlu-tidaknya mempositivisasi nilai-nilai tersebut ke dalam sistem hukum nasional. Selain itu, apakah ide mengenai pelembagaan institusi kelokalan yang bertugas menegakan norma adat, semisal dalam tradisi begarap, akan memberikan dampak positif pada upaya penyelesaian konflik ataukah tidak. Atau, bagaimana cara memberdayakan norma adat dan kearifan lokal dalam konteks pluralisme hukum di Indonesia?
Agaknya, tema yang demikian perlu mendapat perhatian lebih agar seiring berjalan dengan pembangunan hukum nasional yang berkeadilan. Kita ingin agar kekayaan konsep dan nilai dalam kearifan lokal dapat diangkat ke level kebangsaan yang bertemu dengan universalisme. Pengapresasian semacam itu akan memperkaya jati diri hukum nasional sekaligus juga mengatasi dinding-dinding pluralisme hukum.
ADVERTISEMENT
Umar Mubdi, Tenaga Pengajar di FH UGM