Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten dari Pengguna
Memahami Fenomena Rekrutmen Tentara Anak
16 September 2020 5:40 WIB
Tulisan dari Umar Mubdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perang Kongo II yang terjadi pada tahun 1998 telah melahirkan dampak politik dan keamanan yang serius di tingkat regional. Dampak itu terwujud dalam bentuk kekosongan kekuasaan yang memungkinkan sejumlah aktor untuk berkontestasi memperoleh kontrol. Alhasil, kebutuhan akan personel dan tentara perang semakin meningkat dan sasaran rekrutmennya tertuju pada anak-anak. Anak tersebut dilatih di kamp militer di Kongo sebagai tentara aktif di medan perang. Dan ternyata, fenomena tentara anak ini bukan hanya terjadi di Kongo tetapi juga hampir diseluruh penjuru dunia yang mengalami konflik bersenjata.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini sesungguhnya menjadi ancaman bagi besar bagi generasi manusia, sebab anak yang semestinya tumbuh dalam kasih sayang dan perhatian kemudian harus berhadapan dengan kekerasan dan permusuhan. Bila demikian, anak akan terganggu secara mental dan fisiknya (Drumble, 2012). Lebih jauh lagi, sustainabilitas masyarakat tersebut akan terganggu dengan potensi konflik yang lebih besar karena anggota masyarakatnya tumbuh dalam kekerasan.
Anak yang mengalami kekerasan sebagai tentara dalam kelompok bersenjata juga akan menimbulkan efek destruktif bagi dirinya. Mereka akan berpotensi menjadi pelaku kejahatan di masa depan, mengalami masalah dalam hidup bersosial, mengidap penyakit mental, depresi, kecemasan, dan juga post-traumatic stress disorder (PTSD).
Empat Kondisi Pendorong
Rekrutmen tentara anak tersebut sangat mudah diaplikasikan dalam kondisi (i) otoritas negara yang lemah, (ii) kondisi keluarga dan masyarakat yang tidak solid, (iii) adanya dorongan sosial-budaya, dan (iv) kurangnya perhatian dan perlindungan internasional. Hal itu juga diperparah dengan adanya keterbatasan pada anak berupa kondisi self-defenseless dan ketidakdewasaannya dalam mengambil keputusan yang matang. Sehingga, dalam beberapa kasus, anak menganggap dirinya secara sukarela bergabung dengan pasukan bersenjata (Gesase, 2018).
ADVERTISEMENT
Pertama, di dalam otoritas negara yang lemah, sarana dan prasarana penegakan hukum pasti tidak memadai untuk menandingi kekuatan kelompok bersenjata. Baik itu dalam bentuk aturan normatif, personel, maupun institusi peradilannya. Perang Kongo II menunjukkan bahwa eksploitasi sumber daya alam di kawasan Ituri oleh kelompok bersenjata lintas negara tidak dapat ditangani oleh negara. Wilayah tersebut semakin menjadi kawasan militeristik karena tidak ada pengendalian keamanan. Di tambah lagi persoalan polarisasi etnis yang mengekskalasi konflik. Dalam situasi semacam ini, di mana negara tidak mampu memberikan perlindungan, anaklah yang menjadi kelompok yang paling rentan.
Kedua, keluarga merupakan bagian yang paling penting dalam sebuah masyarakat. Semua proses tumbuh kembang anak – pendidikan, kesehatan, pemenuhan kebutuhan mental – diinfiltrasi dalam keluarga. Namun demikian, segregasi sosial terkadang dapat diperparah oleh keluarga itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh yang paling relevan untuk konteks ini adalah transgenerational trauma (König & Reimann, 2018). Konsep ini dapat dipahami sebagai trauma yang dapat ditransfer antara generasi melalui faktor eksternal, transmisi dalam keluarga, dan social learning. Kepala keluarga yang memiliki keyakinan buruk (prejudice) terhadap kelompok lain diinfiltrasi ke anggota keluarga yang lain. Memusuhi dan menyerang musuh keluarga atau komunitas masyarakat dianggap sebagai nilai patriotisme.
Tentara anak, sebagai contoh di Perang Kongo II, menilai dirinya sendiri sebagai pahlawan keluarga karena dapat membela dan memperjuangkan keyakinan komunitasnya. Persepsi semacam ini bila dipertemukan dengan propaganda dari kelompok bersenjata akan melahirkan proses rekrutmen tentara anak yang masif.
Ketiga, masih berkaitan dengan poin sebelumnya, aspek sosial-budaya dapat menjadi “push factor” terjadinya rekrutmen tentara anak, semisal adanya ketimpangan kesejahteraan, diskriminasi sosial, trauma, tingkat pendidikan yang rendah, dan mendapat pengalaman presekusi. Faktor tersebut sangat mungkin mendorong anggota masyarakat, termasuk anak, untuk mengkonsolidasikan dirinya dalam bentuk pasukan bersenjata demi meraih kontrol dan kekuasaan atas kelompok masyarakat lainnya.
ADVERTISEMENT
Pada titik tertentu, perjuangan melawan faktor-faktor sosial-budaya tersebut melahirkan ide mengenai kepahlawanan. Padahal, anak-anak hanya diperalat sebagai tentara untuk meraih kepentingan sekelompok orang. Bahkan, anak-anak perempuan yang bergabung dalam kelompok bersenjata mengalami pelecehan seksual (Alfredson, 2001).
Keempat, berbagai kendala dalam penangan rekrutmen tentara anak oleh kelompok bersenjata hanya dapat diatasi apabila ada kesadaran dan kerjasama internasional. Hal tersebut dapat diejawantahkan melalui instrumen hukum dalam bidang hukum internasional hak asasi manusia (IHRL) dan hukum humaniter internasional (IHL). Kedua instrumen hukum ini mengkonstitusi perlindungan bagi anak dalam situasi konflik bersenjata sekaligus menjamin pemenuhan hak asasinya sebagai anak.
Kerjasama International
Posisi krusial dari bentuk kerjasama internasional ini adalah jurisdiksi penegakan hukumnya yang bersifat global dengan apartur lengkap dan pendaan yang memadai. Kelebihan-kelebihan tersebut dapat membantu negara anggota yang memiliki akuntabilitas lemah untuk menciptakan perdamaian di wilayahnya.
ADVERTISEMENT
Hal itu dapat ditempuh melalui (i) instrumen hukum interasional yang menjamin ‘justice’ dengan melakukan penunututan terhadap pelaku kejahatan dan (ii) jaminan reparasi bagi korban. Jaminan atas keadilan dapat menghentikan direct violence, sedangkan jaminan atas hak pemulihan akan menyelesaikan persoalan kekerasan kultural dan struktural.
Dengan demikian, pencegahan rekrutmen tentara anak oleh kelompok bersenjata dapat ditempuh dengan mengaturnya sebagai kejahatan perang, adanya mekanisme penuntutan, dan reperasi bagi korban individu maupun kolektif.
---------------------------------
Umar Mubdi, S.H., M.A.
Alumnus program International Peace and Conflict Studies, Collegium Civtas, Polandia.
Live Update