Problematika Legislasi: Menyigi Politik Hukum UU IKN

Umar Mubdi
Tenaga Pengajar di Fakultas Hukum UGM
Konten dari Pengguna
12 April 2022 15:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Umar Mubdi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Law; source: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Law; source: pexels.com
ADVERTISEMENT
Pasca proses legislasi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) yang relatif cepat, gemuruh penolakan dari masyarakat santer terdengar. Hal itu menjadi sinyalemen kuat bahwa ada hal yang bermasalah dengan partisipasi publik dalam proses legislasi kita.
ADVERTISEMENT
Masih terang di ingatan mengenai proses pembentukan UU Cipta Kerja yang banyak mendapat kritik karena tingkat inkoherensi yang tinggi. Namun, pemerintah dan parlemen pada akhirnya bersepakat mengetok palu pengesahan. Misal lainnya adalah revisi UU KPK yang bahkan memicu gerakan besar aktivis anti-korupsi karena subtansi yang dianggap melemahkan KPK. Belum lagi, baik UU Cipta Kerja dan UU KPK, terdapat kejanggalan yang disebut sebagai “kudeta redaksional” yang menyalahi formalitas pembentukan undang-undang.
UU IKN, UU Cipta Kerja, dan UU KPK seolah-olah memiliki benang merah yang sama. Salah satunya adalah keterbukaan dan partisipasi publik yang minim. Padahal, tanpa adanya kedua hal itu, bisa jadi legitimasi publik terhadap suatu produk legislasi akan berkurang. Dan pada titik tertentu, undang-undang tersebut tidak akan efektif dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya kemudian, bagaimana kita harus melihat dan memahami UU IKN? Apakah ada cara untuk memastikan bahwa proses legislasi mendatang akan memperhatikan aspirasi dan partisipasi publik?

Politik Hukum UU IKN

Berkaitan dengan pertanyaan pertama, kita dapat menilai UU IKN melalui pisau analisis politik hukum (Mahfud MD, 1998; Zainal A. Mochtar, 2021). Paling tidak terdapat tiga hal utama. Masing-masing adalah “cetak biru” dari kebijakan IKN, tarik menarik politik dalam proses legislasi, dan implementasi kebijakan IKN.
Pertama, “cetak biru” kebijakan IKN seharusnya dapat terlihat dalam naskah akademik. Sebagai contoh, landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan sosiologis semestinya berisikan penjelasan utama mengenai dasar dan alasan pembentukan UU IKN. Justru yang dapat dipahami dalam naskah akademik tersebut adalah tujuan-tujuan yang akan dicapai. Tidak mengherankan ketika banyak pihak yang mengkritisi naskah akademik karena belum bersifat komperhensif dan koheren.
ADVERTISEMENT
Selain itu, arah kebijakan khususnya terkait otorita IKN juga menimbulkan tanda tanya. Berdasarkan Pasal 5 ayat (4) UU IKN, disebutkan bahwa “Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan kepala Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang berkedudukan setingkat menteri, ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.”
Dalam memahami pasal a quo, terdapat beberapa catatan penulis. Pertama, bagaimana konstitusionalitas otorita IKN yang berkedudukan setingkat kementerian? Apabila mendasarkan pada pasal 18A UUD NRI 1945 terkait dimungkinkannya kekhususan pemerintahan daerah, apakah bentuk otorita IKN semacam itu telah memperhatikan keragaman dan kekhususan di daerah lokasi IKN?
Selain itu, kedudukan pemerintah daerah yang setingkat kementerian belum pernah ada presedennya. Beberapa contoh kekhususan yang berkaitan dengan Pasal 18A UUD NRI 1945 adalah kekhususan partai lokal di Provinsi Aceh, kekhususan gubernur di Provinsi DIY, kekhususan tidak adanya kabupaten/kota di DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kedua, sebagai pemerintahan daerah, IKN harus dilengkapi dengan lembaga legislatif yang dapat mengawasi pembangunan di daerah. Ketiga, karena kedudukan kepala otorita IKN setingkat menteri, implikasi luasnya ada pada perencanaan dan penganggaran yang mesti dilakukan tahun-1 sebagaimana UU SPPN. Padahal, sifat lincah dan tangkas dalam perencanaan IKN harus mendapat tempat untuk mengantisipasi tantangan yang ada.
Keempat, berkaitan dengan tugas dan wewenang otorita IKN yang akan diatur dalam rencana induk tersendiri. Konsekuensinya, masih ada ketidakjelasan apakah otorita IKN ini hanya akan berfungsi untuk membangun IKN, atau juga akan menyelenggarakan fungsi pemerintahan di IKN.
Kedua, poin analisis selanjutnya adalah proses legislasi UU IKN. Karena disusun dan disahkan dalam kurun waktu yang singkat, maka aspirasi publik tidak cukup banyak didengar dan menimbulkan kesangsian. Selain itu, beberapa pengaturan yang sifatnya strategis akan diatur kemudian melalui rencana induk dalam bentuk peraturan presiden. Seharusnya, karena sifatnya yang strategis, rencana induk tersebut perlu ditetapkan melalui suatu produk legislasi yang lebih tinggi, yang membuka partisipasi dan transparansi publik.
ADVERTISEMENT
Ketiga, implementasi UU IKN memerlukan political will yang kuat dari semua pihak. Apalagi, beberapa tahun mendatang akan ada transisi kepemimpinan presiden melalui pemilu. Sehingga, harus dipastikan bahwa kebijakan yang akan dimulai ini akan berlanjut sebagaimana yang direncanakan.
Selain itu, mekanisme transisi dari pembangunan IKN ke dalam penyelenggaraan pemerintahan IKN juga perlu menjadi perhatian. Satu hal yang juga dikritisi adalah kemampuan pemerintah untuk mengalokasikan anggaran dan memperoleh investasi dalam pembangunan IKN. Khususnya, dengan mempertimbangkan kondisi pemulihan ekonomi pasca COVID-19.

Post-Legislatif Scrutiny

Berkaitan dengan pertanyaan kedua, secara normatif, transparansi dan partisipasi publik adalah kunci dalam mewujudkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Sehingga, dalam setiap prosesnya, mulai dari pengajuan, pembahasan, persetujuan, pengesahan, pengundangan harus dipastikan dua prinsip tersebut ada di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, peran parlemen tidak hanya berhenti pada membuat suatu undang-undang tetapi juga mengevaluasi apakah undang-undang tersebut mencapai sasaran yang diinginkan. Sebenarnya, telah dicanangkan dan perlu diperkuat satu konsep yang memperluas peranan parlemen dalam hal evaluasi tersebut, yakni post-legislative secrutiny (PSL). PSL merupakan sebuah konsep yang memungkin parlemen untuk menilik kembali apakah undang-undang tertentu telah tepat sasaran atau tidak (WFD, 2017).
Pada tahapan evaluasi itulah sesungguhnya partisipasi masyarakat dapat diakomodasi dan dijadikan sebagai faktor objektif. Meskipun output evaluasi tersebut lebih bersifat rekomendasi, akan tetapi, pelibatan masyarakat pada proses dan pasca legislasi akan jauh lebih bermakna, tentu pada substansi dan implementasi suatu undang-undang serta citra positif untuk parlemen. Sehingga, harapannya, baik UU IKN, UU KPK, maupun UU Cipta Kerja dapat dievaluasi melalui konsep PLS demi kebaikan seluruh pihak dan jaminan partisipasi masyarakat.
ADVERTISEMENT