Konten dari Pengguna

Menggali Kearifan Lokal untuk Pengawetan Nira

Ira Desri Rahmi
Dosen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Andalas
19 September 2024 10:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ira Desri Rahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nira merupakan cairan berasa manis yang di sadap dari bunga tanaman palma seperti, aren, kelapa, siwalan dan nipah. Selain dapat dikonsumsi langsung sebagai minuman segar, nira dapat olah untuk menghasilkan produk bernilai ekonomi seperti gula merah, gula semut, sirup, tuak/ minuman beralkohol, cuka dan sebagainya.
Nira aren segar (Dokumetasi Pribadi)
Nira mempunyai kandungan gula (sukrosa) yang tinggi (lebih dari 10%) dan glukosa serta fruktosa dalam jumlah sedikit. Tingginya kandungan gula (sukrosa) pada nira menciptakan lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme seperti khamir (Saccharomyces sp) dan bakteri (Acetobacter sp). Sehingga apabila nira tidak segera diolah, maka akan mudah terfermentasi dan rusak. Fermentasi nira disebabkan oleh aktivitas enzim invertase yang menginversi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Selanjutnya glukosa dan fruktosa hasil inversi dengan bantuan Saccharomyces sp dirubah menjadi etanol. Kemudian Acetobacter sp akan merubah etanol menjadi asam organik. Umumnya kerusakan nira ditandai dengan perubahan warna yang menjadi keruh, timbulnya buih, rasa yang masam, bau menyengat, terjadi penuruan nilai pH dan penurunan kandungan sukrosa.
ADVERTISEMENT
Dalam upaya pencegahan kerusakan nira, masyarakat Indonesia sejak dahulu telah mengembangkan berbagai metode pengawetan alami dengan memanfaatkan kearifan lokal. Kearifan ini tidak hanya efektif dalam memperpanjang masa simpan nira, tetapi juga ramah lingkungan dan berkelanjutan, sejalan dengan prinsip-prinsip kehidupan yang selaras dengan alam. Cara pengawetan tradisional ini menjadi bukti nyata bagaimana masyarakat Indonesia mampu memanfaatkan sumber daya alam sekitar untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Beberapa bahan alami yang umum digunakan untuk pengawetan nira antara lain kulit kayu manggis, kulit buah manggis muda, kulit kayu nangka, kulit pohon rupin, kulit kayu giam, daun manggis segar, daun cengkeh dan lainnya. Biasanya, daun, cacahan, atau potongan kulit kayu tersebut langsung dimasukkan ke dalam wadah penampung nira. Bahan-bahan alami ini, mengandung senyawa-senyawa seperti tannin, alkaloid, flavonoid, glikosida dan saponin yang memiliki sifat antimikroba sehingga membantu menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan mencegah proses fermentasi yang tidak diinginkan pada nira.
ADVERTISEMENT
Penggunaan larutan kapur yang dikombinasikan dengan cacahan kulit manggis atau kulit nangka juga banyak diaplikasikan untuk pengawetan nira. Larutan kapur ini berfungsi untuk mengatur pH nira. Nira segar mempunyai pH sekitar 6.5-6.8 dalam jangka waktu 2 jam akan terjadi penurunan pH menjadi 6 dan selanjutnya akan menurun tajam sampai pH 4.5 dengan penambahan kapur maka pH akan meningkat menjadi 7 atau lebih sesuai dengan dosis yang ditambahkan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahan alami saja atau kombinasi antara bahan alami dengan kapur dapat memperpanjang umur simpan nira selama 6-14 jam. Lebih lanjut, Gula merah yang diolah dari nira yang telah diawetkan tersebut mempunyai kualitas dan mutu yang sesuai dengan SNI.
ADVERTISEMENT