Konten dari Pengguna

FOMO di Kalangan Gen Z dalam Era Digital

Revi Marta
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas
12 September 2024 16:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Revi Marta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi FOMO, sumber : Freepik.com/stories
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi FOMO, sumber : Freepik.com/stories
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) telah menjadi salah satu tren signifikan di kalangan generasi Z. Dengan kehadiran teknologi digital, terutama media sosial, kecenderungan untuk merasa tertinggal atau tidak terlibat dalam kegiatan yang dianggap penting menjadi semakin nyata. Dari perspektif komunikasi, FOMO mencerminkan dampak besar interaksi berbasis teknologi terhadap psikologi dan perilaku komunikasi individu, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks komunikasi, media sosial tidak hanya menjadi alat untuk berkomunikasi, tetapi juga platform di mana identitas, status sosial, dan pengalaman dibentuk dan ditampilkan. Gen Z, yang tumbuh bersama perkembangan media sosial, sering kali merasa tertekan untuk terus mengikuti tren dan perkembangan terkini yang terlihat di media. Berita, cerita, dan konten dari teman atau selebriti menciptakan tekanan tersendiri untuk selalu berada dalam lingkaran informasi. Jika tidak, mereka merasa tertinggal dan terisolasi, memicu FOMO.
Dari sisi teori komunikasi, FOMO bisa dilihat melalui lensa Uses and Gratifications Theory yang menekankan bahwa individu menggunakan media untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Gen Z, misalnya, menggunakan media sosial untuk merasa terhubung dengan orang lain, mencari validasi sosial, dan membangun citra diri. Ketika media sosial menawarkan pameran kehidupan yang tampak sempurna, individu mulai merasa terdesak untuk menunjukkan hal serupa, sehingga ketergantungan pada media meningkat, dan rasa takut tertinggal pun tumbuh.
ADVERTISEMENT
Selain itu, teori social comparison atau perbandingan sosial juga berperan dalam memperkuat FOMO. Di media sosial, Gen Z cenderung membandingkan kehidupan mereka dengan kehidupan yang dipamerkan orang lain. Ketika mereka merasa kurang dibandingkan dengan standar yang ditampilkan, baik dalam hal pengalaman, pencapaian, atau penampilan, muncul kecemasan akan ketertinggalan atau keterasingan. Keterbatasan dalam memahami bahwa apa yang terlihat di media sosial sering kali hanya representasi yang dikurasi, memperdalam rasa FOMO.
Fenomena ini juga dapat dipandang melalui perspektif interaksi simbolik, yang memandang bahwa manusia membentuk makna melalui interaksi sosial. Dalam hal ini, media sosial berfungsi sebagai ruang di mana interaksi sosial terjadi secara terus-menerus, dan simbol-simbol sosial seperti likes, shares, serta komentar menjadi indikator validasi. Ketika Gen Z tidak mendapatkan validasi ini, mereka merasa bahwa mereka kehilangan sesuatu yang penting dalam pergaulan sosial.
ADVERTISEMENT
Dampaknya terhadap komunikasi interpersonal juga sangat besar. Alih-alih mengutamakan kualitas hubungan, FOMO sering kali mendorong komunikasi yang bersifat superfisial dan tergesa-gesa. Ketika individu terlalu fokus untuk terus memperbarui dan mengikuti informasi, komunikasi yang mendalam dan bermakna seringkali diabaikan. Interaksi menjadi terfokus pada citra, bukan pada makna hubungan itu sendiri.
Ilustrasi dampak FOMO, sumber : freepik.com/stories
Gen Z juga sering terjebak dalam siklus perbandingan sosial yang konstan, yang tidak hanya mengganggu kesehatan mental tetapi juga kualitas komunikasi. Kecemasan akan tertinggal dalam perbincangan, tren, atau kegiatan populer membuat mereka lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial, yang pada akhirnya mengurangi komunikasi tatap muka atau interaksi nyata yang lebih substansial.
Melalui perspektif komunikasi, kita juga dapat melihat bahwa FOMO tidak hanya berakar pada kebutuhan untuk terhubung secara sosial, tetapi juga mencerminkan tekanan budaya akan ekspektasi kesuksesan, kebahagiaan, dan popularitas yang harus ditunjukkan di ruang publik. Ini membentuk cara Gen Z berkomunikasi tentang diri mereka, di mana ada upaya yang konstan untuk menyampaikan kesan bahwa mereka selalu terlibat dalam kegiatan yang relevan dan menyenangkan, bahkan ketika realitasnya tidak demikian.
ADVERTISEMENT
Dalam jangka panjang, fenomena ini bisa mengarah pada disonansi kognitif, di mana apa yang ditampilkan dan apa yang dirasakan individu tidak sejalan. Ini menciptakan ketegangan dalam diri, yang memengaruhi cara mereka berkomunikasi dengan orang lain. Alih-alih jujur tentang perasaan mereka, banyak yang akhirnya menyesuaikan diri dengan norma sosial yang terbentuk di media sosial, menghindari untuk mengekspresikan ketidakpuasan atau keraguan.
Sebagai solusi, pendekatan komunikasi yang lebih sehat harus dibangun. Pendidikan literasi digital dan media menjadi penting agar Gen Z dapat lebih kritis dalam mengonsumsi konten di media sosial. Mereka perlu memahami bahwa tidak semua yang ditampilkan di media adalah representasi akurat dari kenyataan, dan bahwa hubungan sosial yang nyata jauh lebih penting daripada validasi semu dari media sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka meminimalkan dampak negatif FOMO, penting juga bagi Gen Z untuk diajak berdiskusi tentang pentingnya komunikasi yang autentik dan bermakna. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya komunikasi interpersonal yang mendalam, baik dalam interaksi langsung maupun di media sosial, dapat membantu mengurangi tekanan untuk terus mengikuti arus dan mendorong mereka untuk fokus pada kualitas hubungan daripada sekadar citra sosial.
FOMO adalah cerminan dari perubahan cara manusia berinteraksi dalam era digital, dan dengan pemahaman yang tepat melalui perspektif komunikasi, kita dapat membantu generasi ini untuk membangun hubungan yang lebih sehat dan bermakna di tengah hiruk-pikuk dunia maya.