Konten dari Pengguna

Menyingkap Akar Kekerasan oleh Anak-anak dari Perspektif Komunikasi

Revi Marta
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Andalas
9 September 2024 17:45 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Revi Marta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Stop kekerasan, Sumber : Freepik.com/ stories
zoom-in-whitePerbesar
Stop kekerasan, Sumber : Freepik.com/ stories
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur menjadi isu yang semakin sering mencuat ke permukaan dalam beberapa tahun terakhir. Kasus-kasus ini tidak hanya menggemparkan masyarakat, tetapi juga menimbulkan berbagai pertanyaan mendalam tentang bagaimana anak-anak, yang seharusnya berada dalam fase kehidupan yang polos dan tak berdosa, bisa terjerumus ke dalam tindakan yang begitu brutal. Dari perspektif komunikasi, fenomena ini menuntut kita untuk menelusuri lebih jauh tentang peran lingkungan, media, dan interaksi sosial dalam membentuk perilaku anak-anak.
ADVERTISEMENT
Salah satu aspek penting dalam memahami fenomena ini adalah bagaimana anak-anak berinteraksi dengan lingkungan sekitar mereka. Komunikasi yang terjalin antara anak dan orang dewasa, terutama orang tua dan guru, sangat menentukan bagaimana anak mengembangkan nilai-nilai moral dan etika. Ketika komunikasi ini tidak berjalan dengan baik atau bahkan terputus, anak-anak cenderung mencari sumber informasi dan pembelajaran dari lingkungan lain yang mungkin tidak selalu positif. Misalnya, anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan kekerasan, baik fisik maupun verbal, dapat menginternalisasi kekerasan sebagai cara yang sah untuk menyelesaikan konflik.
Selain itu, media juga memegang peranan penting dalam membentuk perilaku anak-anak. Di era digital saat ini, anak-anak sangat mudah mengakses berbagai konten melalui televisi, internet, dan media sosial. Tidak jarang mereka terpapar pada tayangan yang mengandung kekerasan, baik dalam bentuk berita, film, maupun permainan video. Ketika anak-anak mengonsumsi konten semacam ini tanpa pengawasan atau panduan dari orang dewasa, mereka bisa jadi tidak mampu membedakan antara realitas dan fiksi. Akibatnya, mereka mungkin menganggap bahwa kekerasan adalah bagian normal dari kehidupan, dan lebih buruk lagi, bahwa kekerasan adalah cara yang bisa diterima untuk menyelesaikan masalah.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini juga tidak lepas dari peran teman sebaya. Anak-anak, dalam upayanya mencari jati diri dan penerimaan dari kelompok, sering kali meniru perilaku yang mereka lihat dari teman-temannya. Ketika kelompok sebaya cenderung memuliakan tindakan kekerasan atau menganggapnya sebagai bukti keberanian, anak-anak yang berada dalam kelompok tersebut mungkin terdorong untuk mengikuti pola yang sama. Dalam konteks ini, komunikasi antar teman sebaya bisa menjadi faktor pendorong yang sangat kuat bagi anak-anak untuk terlibat dalam perilaku yang menyimpang, termasuk pembunuhan.
Komunikasi yang salah atau kurang efektif antara anak-anak dengan pihak berwenang juga bisa berkontribusi terhadap terjadinya tindakan kekerasan. Dalam beberapa kasus, anak-anak yang memiliki masalah psikologis atau emosional tidak mendapatkan penanganan yang tepat karena kurangnya komunikasi antara pihak keluarga, sekolah, dan profesional kesehatan. Ketika anak-anak ini tidak mendapat perhatian yang memadai, masalah yang mereka hadapi bisa berkembang menjadi dorongan untuk melakukan tindakan kekerasan sebagai cara untuk meluapkan frustrasi atau rasa sakit yang mereka rasakan.
ADVERTISEMENT
Dari sudut pandang komunikasi, penting juga untuk melihat bagaimana pesan-pesan sosial dan budaya yang ada di masyarakat turut mempengaruhi perilaku anak-anak. Di banyak masyarakat, ada budaya kekerasan yang masih diterima atau bahkan dihargai, baik dalam konteks pembelaan diri, pertarungan, atau balas dendam. Ketika anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang mengagungkan kekerasan, mereka cenderung mengadopsi nilai-nilai tersebut dan mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka. Komunikasi yang terjalin dalam bentuk tradisi, cerita rakyat, atau bahkan norma sosial bisa menjadi alat yang memperkuat pemahaman anak-anak bahwa kekerasan adalah sesuatu yang bisa dibenarkan.
Ilustrasi Kekerasan, Sumber : Freepik.com/stories
Tidak kalah penting adalah peran pendidikan dalam membentuk cara pandang anak-anak terhadap kekerasan. Pendidikan yang baik seharusnya tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter dan pengembangan kemampuan sosial anak-anak. Dalam konteks ini, komunikasi di ruang kelas antara guru dan siswa, serta antar sesama siswa, perlu diarahkan untuk menciptakan lingkungan yang menghargai perbedaan, menyelesaikan konflik secara damai, dan menolak kekerasan dalam bentuk apapun. Sayangnya, sistem pendidikan di banyak tempat masih cenderung menekankan pada prestasi akademik dan kurang memberikan ruang untuk pengembangan nilai-nilai moral dan etika yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Fenomena pembunuhan oleh anak-anak di bawah umur juga menyoroti pentingnya peran media dalam menyajikan berita. Cara media meliput kasus-kasus kekerasan yang melibatkan anak-anak dapat mempengaruhi persepsi publik dan bahkan mempengaruhi anak-anak lainnya. Ketika media memberitakan kejadian tersebut dengan sensasional, ada risiko bahwa anak-anak yang melihat atau membaca berita tersebut akan terpengaruh secara negatif. Mereka bisa jadi melihat tindakan kekerasan sebagai sesuatu yang menarik perhatian dan, secara tidak sadar, tergerak untuk melakukan hal yang sama demi mendapatkan pengakuan.
Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dari berbagai pihak, termasuk keluarga, sekolah, media, dan masyarakat luas. Dari perspektif komunikasi, penting untuk membangun jaringan komunikasi yang kuat dan sehat di semua lini. Keluarga harus berperan sebagai fondasi pertama yang memberikan anak-anak pemahaman yang benar tentang nilai-nilai kehidupan dan cara menyelesaikan masalah tanpa kekerasan. Sekolah harus menjadi tempat yang aman di mana anak-anak dapat belajar berkomunikasi dengan baik, memahami perasaan mereka sendiri, dan menghargai perasaan orang lain. Media perlu lebih berhati-hati dalam menyajikan berita dan konten yang berkaitan dengan kekerasan, dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap anak-anak dan remaja yang mungkin menjadi penontonnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena pembunuhan oleh anak-anak di bawah umur merupakan refleksi dari berbagai masalah komunikasi yang terjadi di lingkungan mereka. Ketidakmampuan anak-anak untuk mengkomunikasikan emosi dan masalah mereka dengan cara yang sehat, serta paparan terhadap pesan-pesan kekerasan dari berbagai sumber, semuanya berkontribusi terhadap munculnya perilaku yang menyimpang. Dengan memperbaiki komunikasi di berbagai tingkatan—keluarga, sekolah, media, dan masyarakat—kita dapat membantu mencegah terjadinya kekerasan di kalangan anak-anak dan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi mereka untuk tumbuh dan berkembang.