Konten dari Pengguna

Dampak Brain Rot dan Fatherlessness

NEWS UAD
Informasi terkini Universitas Ahmad Dahlan
23 April 2025 10:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NEWS UAD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dr. Dody Hartanto, M.Pd., Dosen Magister Bimbingan dan Konseling (BK) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Dok. Bimawa UAD)
zoom-in-whitePerbesar
Dr. Dody Hartanto, M.Pd., Dosen Magister Bimbingan dan Konseling (BK) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) (Dok. Bimawa UAD)
ADVERTISEMENT
Di tengah dunia yang semakin digital dan serba instan, kesehatan mental generasi muda menghadapi tantangan baru yang tidak kasat mata. Dalam kegiatan Orientasi Pembekalan Konselor Sebaya Tingkat Program Studi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada 19 April 2025, Dr. Dody Hartanto, M.Pd. selaku Ketua Ikatan Bimbingan dan Konseling Perguruan Tinggi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (IBKPT ABKIN) sekaligus dosen Magister Bimbingan dan Konseling (BK) UAD, mengangkat sebuah topik yang menggugah, “Brain Rot: Masalah dan Peran Konselor Sebaya”.
ADVERTISEMENT
Melalui materinya, Dody membuka ruang kontemplatif yang dalam. Menurutnya, konselor sebaya tidak hanya hadir sebagai pendengar, tetapi sebagai pribadi yang secara aktif dan sadar turut serta dalam perjalanan perbaikan, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. “Menjadi konselor itu bukan tentang siapa yang paling sempurna, melainkan siapa yang paling sadar akan proses bertumbuh,” ujarnya.
Fatherless dan Luka yang Mengendap
Dalam pemaparannya, Dody menyampaikan fakta mencengangkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dalam hal fatherlessness, ketiadaan figur ayah, baik secara fisik maupun emosional, dalam kehidupan anak. Dampaknya tidak bisa dianggap sepele. Ketidakhadiran ayah dapat memengaruhi struktur kepribadian, kestabilan emosi, dan kemampuan membentuk relasi sehat.
Lebih lanjut, ia membahas bentuk-bentuk adverse childhood experiences (ACEs), yakni pengalaman masa kecil yang berdampak negatif terhadap tumbuh kembang psikologis individu. Ini termasuk pelecehan emosional, fisik, dan seksual. Selain itu juga kekerasan dalam rumah tangga, penyalahgunaan zat, hingga adanya gangguan mental dalam keluarga. Trauma yang bersumber dari pengalaman ini sering kali bersembunyi dalam diam, menjelma menjadi kecemasan kronis, kehilangan arah hidup, bahkan depresi yang sulit dikenali.
ADVERTISEMENT
Brain Rot: Ketika Pikiran Tergerus Era Digital
Dody memperkenalkan istilah “brain rot” sebagai kondisi penurunan fungsi kognitif, emosional, dan sosial akibat paparan digital yang berlebihan dan tidak sehat. Istilah ini populer di kalangan generasi muda dan secara metaforis menggambarkan “pembusukan otak” yang disebabkan oleh konten dangkal, overstimulasi dari media sosial, dan rendahnya kontrol diri.
Efek dari brain rot tidak hanya mengganggu fokus dan produktivitas, tetapi juga menurunkan empati, mengikis kemampuan refleksi, serta memicu kelelahan mental yang tak kentara. “Kita mungkin merasa sibuk dan terus ‘terhubung’, tetapi sebenarnya pikiran kita kehilangan arah dan kedalaman,” tutur Dody.
Strategi Penyembuhan: Dari Digital Detoks hingga Empati Sosial
Sebagai bentuk upaya preventif dan kuratif terhadap brain rot, Dody menyarankan beberapa langkah konkret yang bisa diterapkan oleh mahasiswa, terutama para konselor sebaya. Pertama, detoks digital secara berkala, yakni membatasi penggunaan gadget dan media sosial dalam waktu tertentu untuk memberi ruang bagi ketenangan mental. Meningkatkan literasi digital, agar mahasiswa tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi juga mampu memilah informasi yang bergizi secara psikologis. Kedua, olahraga teratur, sebagai sarana mengolah hormon stres dan memperkuat koneksi antara tubuh dan jiwa. Ketiga, mengutamakan interaksi sosial secara langsung, karena kehadiran fisik dan perhatian yang nyata jauh lebih menyembuhkan dibanding notifikasi digital. Keempat, membatasi konten hiburan yang bersifat impulsif, terutama yang tidak memberi makna atau menambah nilai dalam proses perkembangan diri.
ADVERTISEMENT
Konselor Sebaya: Pemulih yang Tumbuh Bersama
Dody menutup materinya dengan penekanan bahwa konselor sebaya adalah mitra bertumbuh, mereka tidak datang dengan semua jawaban, tetapi hadir dengan kesediaan untuk mendengarkan, memahami, dan berjalan bersama. Dalam dunia yang penuh luka tersembunyi dan distraksi tak berujung, konselor sebaya adalah simpul kecil dari harapan yang menyala. Sebagaimana disampaikannya, “Bantulah temanmu bukan karena kamu lebih hebat, tetapi karena kamu juga sedang belajar menjadi utuh. Dan dalam proses itu, kita semua sedang saling menyembuhkan.” (Mawar)