Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Ketaatan, Keadilan, dan Kepemimpinan dalam Islam
21 April 2025 11:16 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari NEWS UAD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ada yang berbeda dalam suasana Jumat, 18 April 2025, di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Ratusan jamaah memenuhi ruang utama masjid dengan antusiasme yang tinggi. Mereka tidak sekadar datang untuk melaksanakan kewajiban salat Jumat, tetapi juga untuk menyimak khutbah yang disampaikan oleh tokoh nasional dan intelektual Muhammadiyah, Dr. Immawan Wahyudi, M.H., yang juga merupakan anggota Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
ADVERTISEMENT
Ia membuka khutbahnya dengan seruan yang menyentuh kalbu, ajakan untuk senantiasa bersyukur atas nikmat Allah dan meningkatkan ketakwaan sebagai bentuk penghambaan yang sejati. Ia menegaskan bahwa dua hal mendasar tersebut merupakan fondasi utama bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan, baik sebagai individu yang beriman maupun sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas.
Pemaknaan Ketaatan kepada Ulil Amri
Dalam khutbahnya, ia mengangkat Surah An-Nisa ayat 59 sebagai pokok bahasan utama yang memiliki relevansi mendalam dalam kehidupan sosial dan kebangsaan. Ayat tersebut mempunyai arti: “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad), serta ulil amri di antara kamu. Jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 59)
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan bahwa sejumlah ulama menganggap ayat ini sebagai landasan utama penyelenggaraan pemerintahan dalam Islam. Bahkan, apabila tidak ada satu pun ayat lain dalam Al-Qur’an yang mengatur tentang kepemimpinan atau pemerintahan, ayat ini sudah cukup menjadi rujukan yang komprehensif. Namun, ia juga menekankan bahwa pemaknaan terhadap ayat tersebut tidak tunggal, dan berbeda-beda dalam pandangan para ulama.
Ada yang berpendapat bahwa ketaatan kepada ulil amri bersifat mutlak, sementara sebagian lain berpandangan bahwa ketaatan kepada ulil amri bersifat relatif, berbeda dari ketaatan absolut kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, ketaatan kepada pemimpin (ulil amri) harus memenuhi syarat-syarat normatif dan ideologis, yaitu bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, serta berlandaskan perjanjian atau konsensus sosial dalam sebuah bangsa atau negara.
ADVERTISEMENT
Untuk memperkuat argumentasinya, Immawan Wahyudi juga mengutip Surah An-Nisa ayat 58, yang artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa konsep ketaatan kepada ulil amri hanya sah jika ulil amri menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh manusia yang berada dalam lingkup kekuasaannya. Keadilan dan penegakan amanat menjadi syarat utama untuk legitimasi kepemimpinan dalam Islam.
“Tidak cukup hanya menduduki jabatan kekuasaan, tetapi harus dijalankan dengan keadilan dan tanggung jawab terhadap amanat umat. Di sinilah pentingnya pemimpin yang tidak hanya sah secara legal, tetapi juga secara moral dan spiritual,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Waspada terhadap Kepemimpinan yang Menyimpang
Lebih lanjut, Immawan Wahyudi menegaskan bahwa tidak semua pemerintahan berpihak pada kepentingan umat Islam, bahkan tidak semua berpihak pada rakyat secara keseluruhan. Dalam hal ini, ia mengutip Surah Al-An’am ayat 123, yang artinya: “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap negeri pembesar-pembesar yang jahat agar mereka melakukan tipu daya di negeri itu, dan mereka tidak menipu melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya.” (QS. Al-An’am: 123)
Ia menjelaskan bahwa fenomena tipu daya dalam politik sering dianggap lumrah, bahkan dibenarkan dengan anggapan bahwa “politik adalah seni menipu”. Padahal, menurut Islam, Allah tidak menghendaki pejabat menjadi penjahat. Oleh karena itu, masyarakat muslim harus cerdas dalam menyikapi dan memilih pemimpin.
ADVERTISEMENT
Syariat Islam mewajibkan umat untuk memilih kepemimpinan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, yang menjunjung tinggi keadilan, kejujuran, dan kesejahteraan bersama. Dalam hal ini, ia mengutip pemikiran Imam Al-Ghazali yang menyatakan bahwa tidak penting bentuk negara itu republik atau kerajaan, yang terpenting adalah bagaimana pemimpinnya menjalankan keadilan dan menyejahterakan rakyat.
“Negara boleh beragam bentuknya, tetapi nilai keadilan dan tanggung jawab kepada rakyat adalah esensi utama dalam syariat. Pemimpin bukan hanya dipilih karena jabatan, tetapi karena amanah dan komitmen moral kepada rakyat,” ujar Immawan Wahyudi dalam khutbahnya.
Mimbar sebagai Sarana Pendidikan Politik dan Etika Publik
Khutbah ini bukan hanya menyentuh sisi spiritualitas, tetapi juga menjadi refleksi atas tanggung jawab umat Islam dalam memahami tata kelola pemerintahan, serta pentingnya etika politik yang Qur’ani. Masjid, dalam hal ini, tidak hanya menjadi tempat ibadah ritual, tetapi juga sebagai pusat pendidikan politik dan nilai-nilai kepemimpinan Islam yang adil dan berintegritas.
ADVERTISEMENT
Acara ini merupakan bagian dari agenda rutin Masjid Islamic Center UAD yang selalu menghadirkan pemikir-pemikir progresif dalam Islam. Keilmuan yang berpadu dengan spiritualitas menjadi warna khas khutbah kali ini, mengajak jamaah untuk tidak hanya menjadi muslim yang taat secara ritual, tetapi juga kritis, adil, dan bertanggung jawab dalam kehidupan sosialnya. (Mawar Ledya Serli)