Konten dari Pengguna

"Libau Anak Ningkan 1800-1870" Antar Mirza Juara Penulisan Puisi Asia Tenggara

NEWS UAD
Informasi terkini Universitas Ahmad Dahlan
2 Oktober 2021 13:23 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari NEWS UAD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mirza Arief Sastroatmodjo, merupakan lulusan PBSI UAD yang meraih juara I pada Sayembara Cipta Puisi HUT Kemerdekaan Malaysia Gabungan Komunitas Sastra Asia Tenggara (Gaksa) (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Mirza Arief Sastroatmodjo, merupakan lulusan PBSI UAD yang meraih juara I pada Sayembara Cipta Puisi HUT Kemerdekaan Malaysia Gabungan Komunitas Sastra Asia Tenggara (Gaksa) (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mirza Arief Sastroatmodjo alumnus UAD meraih juara I pada Sayembara Cipta Puisi Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Malaysia Gabungan Komunitas Sastra Asia Tenggara (Gaksa).
ADVERTISEMENT
Mirza lebih akrab dikenal dengan nama Mirza Sastroatmodjo lahir pada 25 Maret 1988. Ia merupakan sastrawan berkebangsaan Indonesia lulusan Program Studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Bapak satu orang anak itu meraih juara I pada Sayembara Cipta Puisi Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Malaysia.
Judul puisi yang Mirza tulis yakni “Libau Anak Ningkan 1800‒1870”. Pelaksanaan lomba pada 4 September 2021. Puisinya hanya terdiri atas tiga bait. Peserta lomba beberapa dari negara Asia Tenggara, tapi kebanyakan dari sastrawan Malaysia. Peserta sayembara diberi waktu 24 jam dan harus selesai menulis puisi sedangkan Mirza hanya butuh sekitar 15 menit untuk menulis puisi. Baginya, proses paling lama hanya mencari sumber dan mempelajarinya. Melalui puisinya itu, ia ingin menyampaikan kepada publik bahwa ada pahlawan kemerdekaan Malaysia yang dari suku Dayak. Lewat tokoh itu pembaca bisa meneladani keteguhan, prinsip hidup, kesabaran, dan istikamah.
ADVERTISEMENT
Mirza menulis sejak 2012. Pada mulanya, ia fokus dalam penulisan cerpen, baru pada 2013 mencoba belajar menulis puisi. Pendiri sekaligus editor di Penerbit Belantara Buku Yogyakarta itu belajar menulis mula-mula otodidak, dari membaca koran bekas kiloan di pasar. Sebab, itu satu-satunya bacaan yang ia dapat dan murah. Baginya, puisi bisa melatih kepekaan terhadap apa pun.
“Bagi saya, inspirasi itu dicari, bukan ditunggu. Seorang penulis ibarat kata harus ‘jemput bola’. Kalau nulis nunggu inspirasi, sulit untuk bisa produktif. Berhubung ini perlombaan, saya coba mencari hal yang jarang dikulik khalayak. Setelah ketemu, baru saya cari sumber sebanyak-banyaknya,” pesannya.
Mirza menambahkan, “Saya tetap menulis dengan bahasa Indonesia, karena kecil kemungkinan saya bisa menulis dengan bahasa Malaysia. Kabar baiknya, bahasa Indonesia sekarang bisa diterima di mana saja. Menurut saya, masa depan bahasa dan sastra Indonesia bagus, buktinya, banyak sastrawan kita yang mendapatkan penghargaan.” (Dew)
ADVERTISEMENT