Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Rekonstruksi Keilmuan Islam dan Kaderisasi Muhammadiyah
11 Maret 2025 9:55 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari NEWS UAD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si., menyampaikan amanatnya dalam sebuah forum penting yaitu Pengajian Ramadan 1446 H PWM DIY di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang membahas tema “Transformasi Kader untuk Kemakmuran Bangsa”. Dalam paparannya, ia menyoroti peran strategis para elite dalam sejarah peradaban dunia serta urgensi kaderisasi bagi keberlanjutan perjuangan Muhammadiyah dan bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Menurut Prof. Haedar, sejarah dunia selalu ditentukan oleh individu-individu yang memiliki peran strategis dalam berbagai bidang. Ia mencontohkan peradaban Yunani kuno yang dikenang melalui tokoh-tokohnya seperti Plato dan Aristoteles, serta peradaban Islam yang diwakili oleh para pemikir besar seperti Ibnu Arabi, Al-Khawarizmi, Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al-Farabi, dan Ibnu Khaldun. Para tokoh tersebut menjadi pilar peradaban Islam selama hampir delapan abad, menjadikannya agama yang bersifat kosmopolitan dan memiliki pengaruh global.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia juga tidak lepas dari peran elite strategis. Mulai dari pahlawan nasional seperti Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar, hingga tokoh-tokoh kebangkitan nasional seperti Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo. Di kalangan Islam, nama-nama seperti H.O.S. Tjokroaminoto, K.H. Ahmad Dahlan, dan Agus Salim turut berperan besar dalam menggerakkan kebangkitan nasional.
ADVERTISEMENT
Prof. Haedar menekankan bahwa kebangkitan sebuah bangsa bergantung pada kualitas elite strategisnya. Begitu pula dalam perjalanan Muhammadiyah, yang sejak awal telah menyiapkan kader-kader terbaiknya. K.H. Ahmad Dahlan menyadari pentingnya kaderisasi dengan mendirikan Qismul Arqa, yang kemudian berkembang menjadi Mu’allimin dan Mu’allimat pada tahun 1922. Kesadaran ini menjadi kunci keberlanjutan Muhammadiyah yang kini telah berusia lebih dari satu abad.
Dalam konteks Muhammadiyah saat ini, organisasi ini telah berkembang pesat dengan memiliki 162 perguruan tinggi, 126 rumah sakit, lebih dari 300 klinik, serta ribuan sekolah dasar dan menengah. Oleh karena itu, Muhammadiyah membutuhkan kader-kader berkualitas yang tidak hanya memahami nilai-nilai organisasi tetapi juga memiliki keahlian di berbagai bidang agar dapat mengelola amal usaha sesuai dengan visi dan misinya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Prof. Haedar menjelaskan pentingnya peran ulama yang harus mampu memahami dan berinteraksi dengan berbagai dimensi ilmu. Ia menegaskan, ulama masa kini harus memiliki pendekatan bayani (teks), burhani (rasional), dan irfani (intuisi spiritual). Hal ini diperlukan agar pemahaman Islam tetap kontekstual dan mampu menjawab tantangan zaman.
Transformasi kader, menurutnya, adalah proses dinamis yang menyeimbangkan antara perubahan cepat dan lambat. Dalam dunia ekonomi, transformasi dilakukan oleh para manajer perusahaan untuk mengubah kondisi dari keterpurukan menjadi kesuksesan. Konsep serupa dapat diterapkan dalam kaderisasi Muhammadiyah agar tetap relevan dalam menghadapi tantangan zaman.
Ia mengutip pemikiran Muhammad Iqbal yang menyatakan bahwa umat Islam perlu melakukan rekonstruksi keilmuan dengan mengintegrasikan ilmu klasik, filsafat kalam, dan pengetahuan modern. Oleh karena itu, redefinisi ulama menjadi penting, karena dalam Al-Qur’an ulama tidak hanya merujuk pada ahli agama, tetapi juga mencakup para ilmuwan yang memahami berbagai disiplin ilmu.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarahnya, K.H. Ahmad Dahlan telah melakukan pembaruan sistem pendidikan Islam melalui madrasah diniyah Al-Islamiyah pada tahun 1919, yang kemudian menjadi cikal bakal sistem pendidikan Muhammadiyah. Ia mengkritik sistem pondok pesantren tradisional yang cenderung stagnan dan mendorong pendidikan Islam yang lebih modern, integratif, dan menyeluruh.
Prof. Haedar juga menekankan pentingnya memahami Al-Qur’an dengan pendekatan yang lebih dalam dan kontekstual. Ia mencontohkan tafsir Surah Al-Ma’un yang tidak hanya berbicara tentang kaum duafa, tetapi juga menyoroti peran orang kaya dalam membangun kesejahteraan umat. Hal ini berbeda dengan teori Marxisme yang melihat perjuangan kelas sebagai konflik antara kaum lemah dan kaum borjuis.
Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa kader Muhammadiyah harus terus belajar dan meningkatkan kualifikasi diri. Proses transformasi rohani merupakan perjalanan yang terus berjalan (on going process). Dalam menghadapi perkembangan zaman, kader Muhammadiyah harus memiliki wawasan luas dan fleksibilitas dalam berinteraksi dengan berbagai kalangan. Ia menegaskan, kaderisasi harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan agar Muhammadiyah tetap memiliki kader-kader terbaik di masa depan.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, Prof. Haedar mengajak seluruh kader Muhammadiyah, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merupakan pusat pergerakan Muhammadiyah, untuk terus bertransformasi dan melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Dengan begitu, Muhammadiyah dapat terus memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan bangsa dan umat manusia. (Lusi)