Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Marketing Intelligence Berbasis Big Data pada Facebook hingga Bukalapak
1 Januari 2023 21:42 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Universitas Paramadina tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Oleh: Ade Irma Setya Negara*)
ADVERTISEMENT
“Saat aku membangun situs ini, aku tak pernah berpikir bahwa Facebook akan tumbuh menjadi situs yang bisa menghubungkan miliaran orang di seluruh dunia. Aku sudah berpikir bahwa hal seperti ini dibutuhkan oleh orang-orang, tapi saya berpikir bahwa ide untuk menghubungkan orang-orang akan dilakukan oleh orang lain dan bukan aku."
ADVERTISEMENT
(Mark Zuckerberg, 2020)
CEO Meta, Mark Zuckerberg tentunya tidak mengira bahwa Facebook yang dibangunnya dari dalam kamar asrama bisa sebesar sekarang. Awalnya Facebook hanya ditujukan untuk menghubungkan mahasiswa-mahasiswa di lingkungan Harvard University. Namun, kini Facebook menjelma menjadi perusahaan raksasa teknologi dunia dengan pendapatan mencapai Rp 408,80 triliun pada kuartal I tahun 2022 (kurs Rp 14.581). Sementara itu, pengguna aktif bulanan media sosial yang didirikan pada tahun 2004 ini mencapai 2,93 miliar pengguna.
Kisah sukses Facebook itu tampaknya membuat para pakar teknologi dan internet berlomba-lomba untuk menciptakan platform media sosial serupa. Pada Maret 2006, platform Twitter diluncurkan pertama kali dengan format unggahan tulisan (cuitan) yang lebih terbatas. Berselang 12 tahun setelah kemunculan Facebook dan 10 tahun setelah kemunculan Twitter, platform media sosial dengan format video pendek bernama TikTok diluncurkan di China.
ADVERTISEMENT
TikTok yang masih seumur jagung namun dengan pertumbuhan pengguna yang signifikan terbukti menjadi competitor paling diperhitungkan oleh para raksasa teknologi lainnya. Bahkan, para petinggi Instagram (Anak perusahaan Meta) disebut-sebut diminta untuk bekerja lebih ekstra agar bisa menyaingi pertumbuhan TikTok. Baik Facebook, Twitter, Instagram dan TikTok sebenarnya tak punya produk riil yang bisa diubah menjadi profit untuk menopang keberlangsungan perusahaan.
Masyarakat yang ingin menggunakan media-media sosial ini nyatanya tidak pernah dipungut bayaran sepeser pun. Sumber penghasilan raksasa teknologi dunia ini justru datang dari lini bisnis yang berbeda, yaitu di bidang periklanan. Raksasa-raksasa media sosial, khususnya facebook awalnya hanya ditujukan untuk menghubungkan semua orang dalam internet. Ringkasnya, Facebook menjadi rumah bagi orang-orang di dunia untuk bertukar pikiran, berekspresi dan menunjukkan minatnya terhadap isu maupun bidang tertentu.
Hal itu kemudian membuat sistem yang dibangun facebook dan media sosial sejenisnya dapat merekam profil para penggunanya. Baik itu umur, minat, jam aktif dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh mantan ilmuwan Google, Seth Stephens dalam bukunya berjudul Every Body Lies: Big Data, New Data and What The Internet Reveals About Who We Really Are, bahwa manusia akan lebih jujur ketika berada di internet. Dengan kata lain, apa yang ingin diketahui seseorang dapat tergambar jelas dalam kata yang diketikkannya dalam mesin pencari.
ADVERTISEMENT
Data-data yang terakumulasi menjadi big data serta algoritma inilah yang kemudian diubah oleh Mark Zuckerberg dan kawan-kawan menjadi potensi cuan. Pengguna yang melihat dan menyukai konten-konten olahraga secara otomatis disimpulkan menjadi target yang sempurna bagi brand-brand olahraga. Bahkan melalui big data, pengguna dapat diketahui seberapa lama dan sering seseorang melihat konten tersebut.
Apa yang dilakukan oleh Mark Zuckerberg dan kawan-kawan ini dalam dunia pemasaran bisa disebut sebagai marketing intelligence. Marketing intelligence adalah kemampuan untuk mengerti, menganalisis, dan menilai lingkungan internal dan eksternal yang berhubungan dengan konsumen, pesaing, pasar, dan industri untuk mendukung proses pengambilan keputusan (Aaker, 2007).
Alasan kenapa Sebuah brand membutuhkan sistem marketing intelligence adalah karena seringkali sebuah brand memiliki kontak yang sangat sedikit dengan konsumennya. Sehingga hal ini berdampak pada minimnya informasi mengenai perilaku konsumen tersebut. Padahal laku atau tidaknya sebuah produk yang diluncurkan haruslah dengan mengetahui segmentasi pasar yang disasar.
ADVERTISEMENT
Marketing intelligence terdiri atas dua bagian yaitu marketing research dan customer relationship marketing/ database marketing. Marketing research berfokus pada menganalisis situasi, sementara itu customer relationship marketing/database marketing berfokus kepada pengolahan data dalam sebuah database. Marketing Intelligence ini jugalah yang dipakai oleh marketplace-marketplace di Indonesia dalam menopang stabilitas perusahaan, di mana salah satunya adalah Bukalapak.
Berdiri pada tahun 2010, Bukalapak terus berinovasi untuk mencari model bisnis yang profitabilitas bagi perusahaan. Berawal dari bisnis marketplace yang menghubungkan penjual online dengan konsumen langsung, Bukalapak sejak tahun 2017 gencar memperluas layanan dan jaringan bisnisnya. Bukalapak saat ini telah memiliki beragam jenis layanan seperti Mitra Bukalapak, produk investasi, pengadaan logistik, pembukaan rekening bank digital hingga e-grocery.
ADVERTISEMENT
Bukalapak juga memiliki Allo Fresh, unit usaha patungan yang didirikan bersama CT Corp (pemilik dari ritel hypermarket Transmart). Mudahnya bagi Bukalapak maupun perusahaan teknologi serupa mengembangkan lini bisnis maupun layanannya bukannya tanpa sebab. Kemudahan ini didapat karena Bukalapak sejak awal menerapkan Marketing Intelligence di mana mereka telah memiliki basis data pengguna dan jaringan. Sejak didirikan tahun 2010, sulit menghitung berapa banyak data dan perilaku konsumen yang dipegang oleh Bukalapak.
Big data yang dimiliki oleh Bukalapak inilah yang menjadi salah satu pemicu tingginya pertumbuhan lini bisnis baru mereka yang bernama Mitra Bukalapak. Mitra
Bukalapak adalah sebuah aplikasi online-to-offline (O2O) yang membantu pengusaha warung dalam memasok barang dagangannya. Melalui aplikasi Bukalapak, para pemilik warung dapat melihat produk mana saja yang banyak dicari oleh pelanggan. Begitu juga dengan Bukalapak sendiri, di mana mereka dapat melihat mana saja produk yang banyak dipesan oleh pengusaha warung. Model bisnis Mitra Bukalapak ini sangat berbeda dengan bisnis marketplace Bukalapak di awal-awal kemunculannya.
ADVERTISEMENT
Bisnis ini bekerja sama dengan pengusaha ritel mikro offline untuk mengatasi permasalahan dari bisnis mereka, di mana salah satunya ialah soal digitalisasi penawaran. Profit yang didapatkan oleh Bukalapak adalah saat mereka berhasil menjual produk dari produsen FMCG (Fast-Moving Consumer Goods) kepada Mitra Bukalapak. Selain itu juga penjualan produk virtual, seperti voucher gim, pulsa prabayar dan kuota data.
Model bisnis Bukalapak ini memiliki burn rate lebih rendah karena tak harus mensubsidi sebagaimana bisnis marketplace seperti gratis ongkos kirim, promo dan sebagainya. Riset dari BNI Sekuritas memaparkan bahwa saat ini Mitra Bukalapak menjadi penyumbang pendapatan perusahaan terbesar yakni 57 persen. Pada akhir 2024 jumlah ini diperkirakan akan naik menjadi 69 persen.
Bukalapak juga telah berhasil memangkas apa yang selama ini menjadi kesulitan oleh sebagian besar perusahaan produsen FMCG. Melalui kontak yang erat di aplikasinya, Bukalapak telah berhasil mengerti dan menganalisis perilaku konsumen dan pasar. Ketika data sudah dimiliki maka sangat mudah bagi Bukalapak untuk mengembangkan unit bisnis-bisnisnya yang lain. Oleh karena itu, bagi perusahaan-perusahaan sudah saatnya menerapkan marketing intelligence dalam mengembangkan bisnisnya. Karena strategi marketing intelligence merupakan strategi pemasaran yang layak diperhitungkan sampai saat ini maupun di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
*) Mahasiswa Universitas Paramadina, Jakarta, Peserta Terbaik Ketiga Lomba Penulisan Ilmiah Populer Kategori S2, FEB Universitas Paramadina.