BHS Nilai Harga Gas Elpiji di Indonesia Tak Realistis

Konten Media Partner
12 Agustus 2023 13:18 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bambang Haryo Soekartono (BHS). (ist)
zoom-in-whitePerbesar
Bambang Haryo Soekartono (BHS). (ist)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pakar kebijakan publik, Bambang Haryo Soekartono, menilai harga gas elpiji di Indonesia sangat tidak realistis, dan karut-marut di bawah kelola manajemen Pertamina.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, sebagai penghasil gas terbesar di Asia, ia menduga ada pihak tertentu yang menginginkan masyarakat tetap menggunakan gas elpiji yang harganya bisa dipermainkan.
"Saat ini harga elpiji 3 kg tabung melon HET sudah mencapai Rp 25.000 di tahun 2023. Padahal di tahun 2014 harganya masih berada di Rp 13.500. Artinya terjadi kenaikan 85 persen selama kurun waktu tidak lebih dari 10 tahun. Ini tidak masuk akal," kata Bambang.
Anggota DPR-RI periode 2014-2019 ini menyebut, apalagi harga gas elpiji di sebagian besar luar Jawa bisa mencapai di atas Rp 40.000. Seperti di Sidrap, Sulawesi Selatan, mencapai Rp 40.000, dan Kutai Timur, Kaltim, mencapai Rp 50.000.
Padahal, Pertamina sebagai penyuplai gas elpiji dan bahan bakar secara monopoli mendapatkan subsidi pemerintah berupa PNM dari APBN sebesar Rp 82,3 triliun di tahun 2023.
ADVERTISEMENT
Seharusnya suplai elpiji ke seluruh Indonesia tidak boleh terkendala dari sisi biaya, apalagi saat ini juga ada tol laut yang bisa digunakan untuk pengiriman elpiji menjadi jauh lebih murah.
"Seharusnya tidak boleh ada disparitas harga di Jawa dan luar Jawa," kata BHS.
Alumni ITS Surabaya ini mengungkapkan, dari data BPS, elpiji 3 kg banyak digunakan oleh usaha mikro kecil, yang di Indonesia berjumlah sekitar 25 juta dan dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah yang berjumlah sekitar Rp 110 juta jiwa.
Maka dari itu, tentu sangat memberatkan masyarakat bawah dan bahkan untuk masyarakat menengah ke atas pun mereka diberikan beban penggunaan elpiji isi ulang 5,5 kg dengan harga sekitar Rp 110.000 dan 12 kg sebesar Rp 240.000.
ADVERTISEMENT
"Berbeda dengan di Malaysia, harga elpiji isi ulang 16 kg sebesar 25,8 ringgit atau setara dengan Rp 90.300, di Kota Kuala Lumpur, Perak, Pulau Pinang, Terengganu, Pahang, dan lain lain," katanya.
Sehingga harga elpiji di Malaysia per kilonya sebesar Rp 5.600. Bila ada elpiji 3 kg di Malaysia, maka harganya akan menjadi Rp 16.900, dan harga tersebut bukan subsidi di mana Malaysia mengikuti harga pasar internasional.
"Bahkan harga di Malaysia bagian Pulau Kalimantan di Kota Kinabalu dan Serawak sampai ke pelosok-pelosok harganya berbeda tidak lebih dari 1 ringgit. Sehingga hampir dikatakan harga adalah sama di seluruh wilayah Malaysia sampai ke pedalaman," katanya.
BHS yang juga mantan ketua bidang Infrastruktur KADIN Pusat ini menambahkan, Petronas sebagai perusahaan milik negara tidak diberikan satu monopoli dan semua penyuplai BBM yang ada di negara tersebut. Baik Shell, Petron, dan lain lain, mereka juga menjual gas kepada publik dengan harga yang sama seperti yang berlaku di perusahaan negara Petronas. Bahkan Petronas dan semua perusahaan penyuplai gas tersebut tidak mendapatkan subsidi dari negara.
ADVERTISEMENT
"Padahal Malaysia sendiri mengimpor gas elpiji dari negara yang sama dengan Indonesia. Yaitu dari; USA, Arab, Qatar, Angola, Kuwait, dan Singapura," katanya.
Di Malaysia, tabung elpiji 16 kg hanya digunakan oleh UMKM /usaha mikro makanan di kedai-kedai kecil di pasar tradisional termasuk pedagang kaki lima.
Sedangkan untuk semua pemukiman rakyat di sampai ke pelosok sudah teraliri dengan jaringan gas 100 persen dengan harga yang jauh lebih murah dari penggunaan elpiji, bahkan mendekati gratis karena hanya membayar service charge saja dengan penggunaan gas yang tidak dibatasi.
"Sedangkan di Indonesia, hampir 100 persen pemukiman masih belum difasilitasi jaringan gas, sehingga mereka harus menggunakan tabung elpiji untuk kebutuhan rumah tangganya," katanya.
BHS bilang, jaringan gas yang sudah dibangun oleh pemerintahan Hindia Belanda masuk ke sebagian besar perumahan perumahan di kota-kota besar, seperti; Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan lain-lain sudah tidak difungsikan dan bahkan jaringan gas saat ini di Indonesia baru menjangkau tidak lebih dari 1 persen jumlah rumah penduduk di Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Padahal Indonesia bisa dikatakan penghasil gas terbesar di Asia dan bahkan China, Jepang, Korea, Singapura pun memasok gas dari Indonesia," katanya.
Maka dari itu, ironis manajemen Pertamina dan PGN di bawah Kementerian BUMN dan ESDM termasuk bisa dikatakan gagal dalam menyediakan jaringan gas ke perumahan perumahan dan industri di Indonesia yang tentu berdampak besar terhadap ekonomi di Indonesia.
Lalu, lebih memprihatinkan lagi keberadaan tabung elpiji 3 kg yang harganya sudah seperti tidak subsidi lagi, itu pun sulit didapat di daerah daerah, seharusnya elpiji subsidi 3kg tidak boleh dibatasi di Indonesia karena harga elpiji tersebut sebenarnya sudah jauh lebih mahal dari harga di Malaysia yang tanpa subsidi.
"Dan bila elpiji 3 kg di Indonesia dibatasi, maka akan berdampak besar terhadap ekonomi dan tentu akan sangat merugikan masyarakat," katanya. (Advertorial)
ADVERTISEMENT