Konten Media Partner

'Biduk Lancar', Kompetisi Perahu di Sungai Musi yang Semakin Sepi

17 Juni 2019 17:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah peserta Perahu Bidar di Sungai Musi, Palembang, saat perayaan HUT Kota Palembang ke 1336 tahun. (foto: abp/urban Id)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah peserta Perahu Bidar di Sungai Musi, Palembang, saat perayaan HUT Kota Palembang ke 1336 tahun. (foto: abp/urban Id)
ADVERTISEMENT
Perlombaan Biduk (perahu) Lancar atau Bidar di Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan, selalu diselenggarakan setiap tahun untuk menyambut Hari Ulang Tahun Kota Palembang 17 Juni dan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus. Namun, dalam beberapa tahun terakhir perlombaan ini semakin sepi penonton.
ADVERTISEMENT
Budayawan Palembang, Vebri Al Lintani, mengatakan perlombaan Perahu Bidar sebenarnya sudah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Pada zaman itu banyak askar (tentara) kerajaan yang menggunakan perahu karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim. Saat itu namanya masih Perahu Pecalang untuk patroli menjaga daerah perairan.
"Sebagai hiburan, askar tersebut sering mengadakan lomba perahu di Sungai Musi," kata Vebri, Senin (17/6).
Namun, dia menjelaskan berdasarkan catatan sejarah, lomba Perahu Bidar pertama kali diselenggarakan saat zaman kolonial Belanda, tepatnya saat perayaan ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina, sekitar tahun 1898. Sejak itu masyarakat Palembang memandangnya sebagai warisan sejarah yang mesti dilestarikan.
"Ukuran Perahu Bidar ini lebih kecil spesifikasinya, panjang 29 meter dan lebar 1,5 meter, serta tinggi 80 sentimeter. Perahu Bidar jenis ini membutuhkan sekitar 51 orang untuk pendayungnya," jelasnya.
Para peserta perlombaan Perahu Bidar di Sungai Musi (foto: abp/Urban Id)
Bahkan, menurut Vebri, dulu sempat ada ritual yang dilakukan peserta lomba Perahu Bidar sebelum pelaksanaan lomba. Berdasarkan cerita turun-temurun, para peserta ini biasanya melakukan semacam ritual di tempat Prasasti Kedukan Bukit, Karang Anyar, Palembang.
ADVERTISEMENT
Menurut kepercayaan masyarakat saat itu, ada sosok gaib yang dikenal dengan nama Raden Tokak yang dipercaya sebagai sosok siluman buaya. Sehingga dengan menjalani ritual di tempat itu dipercaya dapat membantu peserta Perahu Bidar ini memenangi perlombaan.
"Tapi di era sekarang ini hal itu sudah tidak ada lagi," kata Vebri.
Vebri berpendapat saat ini perlombaan Perahu Bidar di Sungai Musi sudah tak terlalu diminati masyarakat untuk menyaksikannya. Kualitas lombanya pun dinilai sudah menurun dibandingkan pada tahun 1990-an. Dia menduga hal itu karena masyarakat tidak diikutsertakan dalam perlombaan tersebut.
"Peserta Bidar sendiri lebih banyak dari sponsor penyelenggaraan, baik itu perusahaan swasta, BUMN, dan BUMD," ucap Vebri.
Sejumlah peserta perahu bidar di Sungai Musi (foto: abp/Urban Id)
Vebri mengatakan peserta lomba seharusnya berasal dari masyarakat yang ada di kelurahan atau kecamatan di Palembang. Sehingga dengan demikian masyarakat dapat merasa memiliki tradisi itu dan antusias berpartisipasi.
ADVERTISEMENT
"Kan bisa saja tetap ada sponsor, tapi untuk pelaksanaan dan pesertanya diserahkan kepada masyarakat sehingga pelaksanaan lombanya akan lebih semarak," kata Vebri.
Dia menilai peran sponsor cukup dengan membantu pendanaan kepada kelompok masyarakat untuk mengikuti lomba tersebut. Dana itu pun digunakan untuk membuat Perahu Bidar dan operasional dari pendayungnya.
"Untuk sebuah Perahu Bidar dan pendayungnya membutuhkan biaya sekitar Rp 60 juta," ucap Vebri.
Antusias masyarakat untuk menonton perlombaan perahu bidar (foto: abp/Urban Id)
Dengan situasi tersebut, Verbri berharap pemerintah daerah bisa mengembalikan kebudayaan perlombaan Perahu Bidar itu dan membangkitkan lagi antusiasme masyarakat untuk menonton. Terlebih budaya itu dinilai punya potensi menarik wisatawan dari luar daerah karena menjadi agenda tahunan.
"Tak kalah pentingnya untuk tanggal agenda pelaksanaan perlombaan jangan berubah-ubah, atau diundur dengan waktu yang lama hanya untuk sebuah kepentingan tertentu. Kecuali jika memang tidak ada hal yang mendesak. Sebab hal ini merupakan sebuah kesakralan," pungkas Vebri. (abp/jrs)
ADVERTISEMENT