Kala Ratusan Bangunan Bersejarah di Palembang Dikuasai Swasta

Konten Media Partner
24 Juni 2019 19:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Rumah di Kampung Kapitan yang saat ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. (Foto: abp/Urban Id)
zoom-in-whitePerbesar
Rumah di Kampung Kapitan yang saat ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. (Foto: abp/Urban Id)
ADVERTISEMENT
Sebagai salah satu kota tertua di Indonesia, banyak peninggalan sejarah yang berada di Kota Palembang, khususnya sejumlah bangunan peninggalan di era kolonial Belanda dan Jepang.
ADVERTISEMENT
Namun, meski berstatus sebagai cagar budaya, pemerintah daerah tak mampu berbuat banyak untuk melestarikan warisan sejarah tersebut. Sebab, sebagian besar bangunan bersejarah yang ada, masih dimiliki individu atau masyarakat (swasta).
Kepala Bidang Cagar Budaya dan Permuseuman, Dinas Kebudayaan Kota Palembang, Abdul Gani, mengatakan ada 137 peninggalan bersejarah berupa bangunan yang tersebar di Kota Palembang. Dari jumlah tersebut 90 persen merupakan milik individu.
"Bangunan tersebut ada berupa rumah adat, gudang gudang tua, dan rumah dengan corak kolonial Belanda," katanya, Senin (24/6).
Sebagai contoh, yakni bangunan Jacobson Van Den Berg yang berada di Jalan Sekanak, gedung peninggalan Belanda tersebut tercatat dimiliki oleh warga keturunan Tionghoa di Palembang. Lalu ada juga rumah singgah Presiden RI pertama, Sukarno, di Jalan KH Azhari, kawasan 3-4 Ulu. Saat ini, rumah tersebut juga dimiliki oleh warga lokal secara turun-temurun.
Salah satu bangunan bersejarah di Palembang yang kini dijadikan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II oleh pemerintah daerah. (Foto : tama/Urban Id)
"Karena dimiliki oleh individu maka sejumlah bangunan bersejarah ini rentan akan renovasi yang bisa setiap saat bisa dilakukan individu tersebut sehingga membuat unsur sejarahnya hilang," katanya.
ADVERTISEMENT
Sementara Dinas Kebudayaan Kota Palembang hanya mampu untuk mendaftarkan bangunan tersebut sebagai cagar budaya dan memberikan sosialisasi mengenai Undang-Undang cagar budaya.
"Jadi setidaknya jika sudah terdaftar sebagai cagar budaya maka mereka dapat melaporkan kepada kami jika hendak merenovasi bangunan, sehingga kita bisa berkoordinasi agar renovasi yang dilakukan tidak menjadi kesalahan," katanya.
Menurut Abdul Gani, masalah keterbatasan anggaran menjadi faktor utama banyaknya bangunan sejarah di Palembang yang terabaikan. Bahkan, ada juga bangunan yang sudah dihancurkan oleh pemiliknya untuk kemudian didirikan bangunan baru, tanpa sepengetahuan Pemda.
"Sejumlah bangunan bersejarah tersebut memang ada yang memiliki surat kepemilikan yang sah ada juga yang tidak. Tapi karena merupakan bangunan yang sudah berdiri sejak lama, bangunan itu sudah ditinggali mereka secara turun temurun," katanya.
ADVERTISEMENT
Abdul Gani menceritakan, bahkan ada salah satu rumah adat Palembang yang bersejarah sempat dijual oleh pemiliknya, tapi karena nilai jual terlampau tinggi, Pemda juga tak sanggup untuk membelinya.
"Ada rumah limas, yang sudah berusia ratusan tahun sempat dijual sekitar Rp 15 miliar. Harga demikian, sulit bagi kami untuk bisa menyanggupinya," katanya.
Saat ini, Pemerintah Palembang sendiri belum memiliki payung hukum yang kuat untuk membidangi masalah cagar budaya ini. Oleh sebab itu, aturan yang dipakai masih mengacu pada UU No 11 tahun 2010 tentang cagar budaya.
Gedung Jacobson Van Den Berg merupakan bangunan peninggalan kolonial Belanda. (Foto: abp/Urban Id)
Lebih jauh dikatakan Abdul Gani, agar dapat menginventarisir seluruh peninggalan bersejarah tersebut, kini pihaknya sudah membentuk Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).
"Tim ini juga akan bertugas untuk mendata kelengkapan berkas mengenai kepemilikan surat kepemilikan dari sejumlah bangunan bersejarah tersebut," katanya.
ADVERTISEMENT
Terpisah, Abdul Rahman, pewaris rumah singgah Ir Sukarno di kawasan 3-4 Ulu, Palembang, mengatakan, rumah yang kini ditempatinya tersebut merupakan warisan dari sang kakek dan dibangun pada tahun 1938.
"Berdasarkan cerita dari orang tua, memang saat setelah diasingkan dari Bengkulu, Bung Karno sempat singgah di Palembang sekitar tahun 1941 atau sebelum kemerdekaan," katanya.
Abdul Rahman bilang, sang kakek yakni H Anang, merupakan salah satu tokoh pejuang kemerdekaan di Palembang dan sekaligus salah satu pendiri organisasi Muhammadiyah di Palembang.
"Rumah ini murni dibangun oleh kakek saya, dan arsitekturnya memang mengadopsi bangunan Belanda di Bandung," katanya.
Menurutnya, meski saat ini ditetapkan sebagai cagar budaya, namun pihaknya tak pernah mendapatkan bantuan dalam perawatan rumah. Pada dasarnya jika pun pemerintah hendak membelinya, ia bersama keluarga sangat terbuka untuk berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya memang ini merupakan warisan. Lalu, secara saudara hal itu juga sudah dibicarakan agar dapat menggugurkan hak waris ini. Akan tetapi dengan catatan jika pun dijual rumah ini jangan sampai dihancurkan, dan tetap dijaga," katanya. (abp/jrs)